Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pandangan dari hanoi

Pimpinan hanoi dalam menghadapi situasi internasional tentang konflik vietnam-kamboja-cina, tertuang dalam buku putih hanoi dengan judul: suatu kebenaran mengenai hubungan vietnam: cina selama 30 th terakhir.

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROF. J.A.C. Mackie, dari The Australian National University, Canberra, mengirimkan tulisan ini untuk TEMPO. Versi Inggrisnya pernah muncul di Sydney Morning Herald. Ini adalah kesan-kesannya dari Hanoi, yang dikunjunginya bersama bekas PM Australia Whitlam. SEBELUM pergi ke Hanoi November lalu, Whitlam dan saya mengunjungi seluruh ibukota ASEAN kecuali Manila. Kami ingin mempelajari bagaimana para pemimpin Asia Tenggara melihat problem yang timbul dari konflik Vietnam-Kambodia-Cina, sebelum mencoba mendapatkan pandangan Hanoi. Menjadi sangat jelas bagi kami bahwa meskipun timbul ketegangan antara pemerintah ASEAN dan Vietnam pada pertengahan tahun lalu mengenai mengalirnya pengungsi, dan kemudian mengenai masalah apakah rezim Pol Pot atau rezim eng Samrin yang harus diakui di PBB, di situ ada keinginan yang kuat dari pihak ASEAN untuk tidak memihak dalam hubungan konflik Vietnam dan Cina. Masih ada kecurigaan yang cukup besar terhadap Vietnam di kalangan ASEAN. Itu bukan karena mereka khawatir Vietnam akan menyerbu Muangthai atau merencanakan ekspansi wilayah ke Asia Tenggara, melainkan karena mereka merasa bahwa Vietnam telah mengabaikan keprihatinan bangsa ASEAN mengenai keamanan dan stabilitas di kawasan ini dalam hal arus pengungsi. Mereka juga memprotes bahwa Perdana Menteri Pham Van Dong telah mengelabui mereka dengan mulut manis ketika berkunjung ke berbagai negara ASEAN pada tahun 1978. Dalam waktu yang sama pemerintahnya tentu telah mempersiapkan diri untuk menyerbu ke Kambodia. Namun, kami melihat bahwa para pemimpin Vietnam berhasrat memperbaiki hubungan mereka dengan kelompok ASEAN. Tetapi keadaan politik internasional mengenai masalah pengakuan terhadap pemerintahan Heng Samrin dari Republik Rakyat Kambodia membuat hal ini menjadi agak sulit. Meskipun begitu, kami telah diyakinkan oleh PM Pham Van Dong, yang mengatakan bahwa. "Kami ingin mengadakan hubungan baik dengan seluruh negara di kawasan ini. Kami juga menginginkan hal yang sama dengan Cina. Kami berkepentingan dengan kemerdekaan dan perdamaian. Kami membutuhkan perdamaian setelah bertahun-tahun berperang." Secara umum pernyataan itu dapat dianggap suatu retorika yang kurang berarti, tapi ucapan yang santai dan tak dogmatik itu rupanya menunjukkan hasrat untuk meredakan ketegangan yang menyeluruh, walaupun bukan jaminan abadi. Deputi menlu Hoang Bich Son lebih sigap, lebih menekankan pengaruh jahat dari Cina dalam seluruh konflik di kawasan ini. Dia juga mengatakan keinginan untuk hubungan baik dengan ASEAN dan percaya bahwa itu bisa dicapai, tapi dia menambahkan bahwa hubungan itu menjadi buruk karena niat jahat Cina. Beberapa pemimpin ASEAN menghargai perjuangan Vietnam dalam memelihara keamanan dan stabilitas di kawasan ini dengan melawan rencana ekspansionis Cina, katanya, tapi yang lain (diduga Singapura) tidak. Dia mengharapkan bahwa hubungan antara Vietnam dan ASEAN akhirnya akan berkembang ke arah terciptanya zone damai, bebas, netral, merdeka, stabil dan makmur di kawasan ini. Ke-6 sila ini adalah formulasi Vietnam dalam menjawab trisila ASEAN, yaitu konsep ZOPFAN tahun 1971 tentang zone damai, merdeka dan netral. Tapi untuk mencapai ini, katanya, kita semua mesti melawan ekspansionis Cina. Saya sedikit terpesona oleh intensitas kecurigaan Hoang terhadap tujuan Cina, tapi penilaian Vietnam tentang politik internasional di kawasan ini akan lebih mudah dipahami bila kita menempatkan kecurigaan sedemikian itu dalam perhitungan. Hoang pernah memimpin delegasi Vietnam dalam perundingan dengan Cina pada tahun 1978-1979 mengenal masalah-masalah yang muncul di antara mereka. Pengalamannya tentu saja memberikan warna dalam sikapnya terhadap Cina. Seperti yang diuraikannya, Cina sudah mencoba menguasai Kambodia dengan memperuncing permusuhan Pol Pot terhadap Vietnam pada tahun 1975-1978. Mereka juga berharap mencaplok Laos, dengan tujuan akhir menguasai seluruh daerah aliran sungai Mekong dan menjadikannya bagian dari Cina. Dalam waktu yang tepat, mereka ingin menguasai seluruh wilayah Asia Tenggara, tukas Hoang. Tetapi Vietnam telah mengecewakan mereka dalam strategi ini dengan menghancurkan kewibawaan mereka atas Kambodia dan mencegah usaha mereka di Laos dalam memanipulir kelompok reaksioner, seperi Vang Po. Namun adalah penting bagi rakyat di Asia Tenggara jika rakyat Kambodia bisa menundukkan antek Beijing, klik Pol Pot-Ieng Sary, ujarnya, sebagai sumbangan terhadap kemenang bersama dalam perjuangan menegakkan perdamaian dan stabilitas di kawasan ini. Saya meraba-raba seberapa jauh dia percaya terhadap semua ini, atau seberapa jauh itu hanya pengembangan logika yang lebih didasarkan atas kecurigaan terhadap tujuan Cina ketimbang suatu bukti yang kuat. Tapi orang juga harus mengakui bahwa kecurigaan ataupun kekhawatiran terhadap Cina itu, meskipun mungkin itu berlebihan, bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Bisa dipedebatkan orang apakah Cina akan mclancarkan invasi lagi terhadap Vietnam atau 'memberinya pelajaran kedua'. (Cina berbicara banyak tentang memberikan pelajaran sementara Vietnam mengatakan, "tapi kami bukanlah murid yang baik"). Namun sedikit kesangsian bahwa Cina akan meneruskan tekanan terhadap Vietnam untuk masa lama di bidang politik, psikologi, militer dan ekonomi, dengan harapan membuat Vietnam 'menderita' di Kambodia dan Laos, sampai dia memutuskan hubungannya dengan blok Soviet dan menyesuaikan hubungannya dengan Cina. Bahkan jika Cina sekali lagi menguasai Kambodia ataupun Laos (terutama yang belakangan), Vietnam hanya akan merasakan ancaman yang paling buruk. Dalam keadaan demikian, adalah kurang realistis mengharapkan Vietnam untuk menarik pasukannya dari seluruh Kambodia, sementara masih ada kemungkinan besar bahwa Pol Pot atau kelompok Khmer yang berorientasi dengan Cina berusaha menggulingkan pemerintahan Heng Samrin. (Secara kebetulan, makin bertambah bukti bahwa Republik Rakyat Kampuchea mendapat dukungan luas dari orang Kambodia dan bahwa ia pemegang kekuasaan yang bukan sekedar boneka yang dimanipulir dari Hanoi). Vietnam berulang kali mengatakan bahwa mereka bersedia keluar dari Kambodia bila kekuatan Pol Pot sudah dikalahkan. Dan jawaban mereka cukup kuat terhadap orang yang skeptis akan hal itu. Sudah dua kali, yaitu sebelum tahun 1954 dan pada tahun 1970-1975, mereka mengirimkan pasukan ke Kambodia guna mendukung perjuangan revolusioner, dan dalam dua kesempatan itu mereka kemudian menarik pasukan kembali. Alasan kecurigaan Vietnam terhadap Cina akhir-akhir ini begitu kompleks dan mendalam. Beberapa gelagat yang memberikan petunjuk muncul dalam Buku Putih yang baru-baru ini diterbitkan di Hanoi, dengan judul 'Suatu kebenaran mengenai hubungan Vietnam-Cina selama 30 tahun terakhir'. Ini mungkin perlu dibaca oleh setiap orang yang secara serius ingin memahami jalan yang ditempuh pimpinan Hanoi dalam melayani situasi internasional akhir-akhir ini. Jika orang membandingkan kebencian yang terungkap dalam dokumen itu dengan apa yang termuat dalam 2 dokumen yang terbit sebelumnya yaitu mengenai 'Hoakiaw di Vietnam', perbedaannya sangat menyolok. Jelas sikap mereka terhadap Cina selama 18 bulan terakhir ini bertambah keras. Sebagian karena penyerbuan Cina pada Februari 1979 di perbatasan Vietnam. Sebagian karena perkembangan apa yang mereka sebut poros Beijing-Washington-Tokyo, yang mereka lihat sebagai memusuhi Vietnam. Hoakiaw (keturunan Cina) di Vietnam telah secara kejam terseret dalam pertentangan yang disebabkan polarisasi politik ini. Kemudian mengalir para pengungsi karenanya. Demi alasan kemanusiaan dan politik, kita mesti berharap bahwa negara-negara, seperti kelompok ASEAN, Jepang dan Australia akan melihat bahaya dari membiarkan polarisasi demikian. Yang semakin keras dan permanen. Perlu ada jalan ke arah terbukanya pilihan bagi Vietnam, tanpa melanjutkan isolasi dan memojokkan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus