PROF. J.A.C. Mackie, dari The Australian National University,
Canberra, mengirimkan tulisan ini untuk TEMPO. Versi
Inggrisnya pernah muncul di Sydney Morning Herald. Ini adalah
kesan-kesannya dari Hanoi, yang dikunjunginya bersama bekas PM
Australia Whitlam.
SEBELUM pergi ke Hanoi November lalu, Whitlam dan saya
mengunjungi seluruh ibukota ASEAN kecuali Manila. Kami ingin
mempelajari bagaimana para pemimpin Asia Tenggara melihat
problem yang timbul dari konflik Vietnam-Kambodia-Cina, sebelum
mencoba mendapatkan pandangan Hanoi.
Menjadi sangat jelas bagi kami bahwa meskipun timbul ketegangan
antara pemerintah ASEAN dan Vietnam pada pertengahan tahun lalu
mengenai mengalirnya pengungsi, dan kemudian mengenai masalah
apakah rezim Pol Pot atau rezim eng Samrin yang harus diakui di
PBB, di situ ada keinginan yang kuat dari pihak ASEAN untuk
tidak memihak dalam hubungan konflik Vietnam dan Cina.
Masih ada kecurigaan yang cukup besar terhadap Vietnam di
kalangan ASEAN. Itu bukan karena mereka khawatir Vietnam akan
menyerbu Muangthai atau merencanakan ekspansi wilayah ke Asia
Tenggara, melainkan karena mereka merasa bahwa Vietnam telah
mengabaikan keprihatinan bangsa ASEAN mengenai keamanan dan
stabilitas di kawasan ini dalam hal arus pengungsi. Mereka juga
memprotes bahwa Perdana Menteri Pham Van Dong telah mengelabui
mereka dengan mulut manis ketika berkunjung ke berbagai negara
ASEAN pada tahun 1978. Dalam waktu yang sama pemerintahnya tentu
telah mempersiapkan diri untuk menyerbu ke Kambodia.
Namun, kami melihat bahwa para pemimpin Vietnam berhasrat
memperbaiki hubungan mereka dengan kelompok ASEAN. Tetapi
keadaan politik internasional mengenai masalah pengakuan
terhadap pemerintahan Heng Samrin dari Republik Rakyat
Kambodia membuat hal ini menjadi agak sulit.
Meskipun begitu, kami telah diyakinkan oleh PM Pham Van Dong,
yang mengatakan bahwa. "Kami ingin mengadakan hubungan baik
dengan seluruh negara di kawasan ini. Kami juga menginginkan hal
yang sama dengan Cina. Kami berkepentingan dengan kemerdekaan
dan perdamaian. Kami membutuhkan perdamaian setelah
bertahun-tahun berperang." Secara umum pernyataan itu dapat
dianggap suatu retorika yang kurang berarti, tapi ucapan yang
santai dan tak dogmatik itu rupanya menunjukkan hasrat untuk
meredakan ketegangan yang menyeluruh, walaupun bukan jaminan
abadi.
Deputi menlu Hoang Bich Son lebih sigap, lebih menekankan
pengaruh jahat dari Cina dalam seluruh konflik di kawasan ini.
Dia juga mengatakan keinginan untuk hubungan baik dengan ASEAN
dan percaya bahwa itu bisa dicapai, tapi dia menambahkan bahwa
hubungan itu menjadi buruk karena niat jahat Cina. Beberapa
pemimpin ASEAN menghargai perjuangan Vietnam dalam memelihara
keamanan dan stabilitas di kawasan ini dengan melawan rencana
ekspansionis Cina, katanya, tapi yang lain (diduga Singapura)
tidak.
Dia mengharapkan bahwa hubungan antara Vietnam dan ASEAN
akhirnya akan berkembang ke arah terciptanya zone damai, bebas,
netral, merdeka, stabil dan makmur di kawasan ini. Ke-6 sila ini
adalah formulasi Vietnam dalam menjawab trisila ASEAN, yaitu
konsep ZOPFAN tahun 1971 tentang zone damai, merdeka dan netral.
Tapi untuk mencapai ini, katanya, kita semua mesti melawan
ekspansionis Cina.
Saya sedikit terpesona oleh intensitas kecurigaan Hoang terhadap
tujuan Cina, tapi penilaian Vietnam tentang politik
internasional di kawasan ini akan lebih mudah dipahami bila
kita menempatkan kecurigaan sedemikian itu dalam perhitungan.
Hoang pernah memimpin delegasi Vietnam dalam perundingan dengan
Cina pada tahun 1978-1979 mengenal masalah-masalah yang muncul
di antara mereka. Pengalamannya tentu saja memberikan warna
dalam sikapnya terhadap Cina. Seperti yang diuraikannya, Cina
sudah mencoba menguasai Kambodia dengan memperuncing permusuhan
Pol Pot terhadap Vietnam pada tahun 1975-1978. Mereka juga
berharap mencaplok Laos, dengan tujuan akhir menguasai seluruh
daerah aliran sungai Mekong dan menjadikannya bagian dari Cina.
Dalam waktu yang tepat, mereka ingin menguasai seluruh wilayah
Asia Tenggara, tukas Hoang. Tetapi Vietnam telah mengecewakan
mereka dalam strategi ini dengan menghancurkan kewibawaan mereka
atas Kambodia dan mencegah usaha mereka di Laos dalam
memanipulir kelompok reaksioner, seperi Vang Po. Namun adalah
penting bagi rakyat di Asia Tenggara jika rakyat Kambodia bisa
menundukkan antek Beijing, klik Pol Pot-Ieng Sary, ujarnya,
sebagai sumbangan terhadap kemenang bersama dalam perjuangan
menegakkan perdamaian dan stabilitas di kawasan ini.
Saya meraba-raba seberapa jauh dia percaya terhadap semua ini,
atau seberapa jauh itu hanya pengembangan logika yang lebih
didasarkan atas kecurigaan terhadap tujuan Cina ketimbang suatu
bukti yang kuat. Tapi orang juga harus mengakui bahwa kecurigaan
ataupun kekhawatiran terhadap Cina itu, meskipun mungkin itu
berlebihan, bukanlah sesuatu yang tanpa dasar.
Bisa dipedebatkan orang apakah Cina akan mclancarkan invasi
lagi terhadap Vietnam atau 'memberinya pelajaran kedua'. (Cina
berbicara banyak tentang memberikan pelajaran sementara Vietnam
mengatakan, "tapi kami bukanlah murid yang baik"). Namun sedikit
kesangsian bahwa Cina akan meneruskan tekanan terhadap Vietnam
untuk masa lama di bidang politik, psikologi, militer dan
ekonomi, dengan harapan membuat Vietnam 'menderita' di Kambodia
dan Laos, sampai dia memutuskan hubungannya dengan blok Soviet
dan menyesuaikan hubungannya dengan Cina. Bahkan jika Cina
sekali lagi menguasai Kambodia ataupun Laos (terutama yang
belakangan), Vietnam hanya akan merasakan ancaman yang paling
buruk.
Dalam keadaan demikian, adalah kurang realistis mengharapkan
Vietnam untuk menarik pasukannya dari seluruh Kambodia,
sementara masih ada kemungkinan besar bahwa Pol Pot atau
kelompok Khmer yang berorientasi dengan Cina berusaha
menggulingkan pemerintahan Heng Samrin. (Secara kebetulan, makin
bertambah bukti bahwa Republik Rakyat Kampuchea mendapat
dukungan luas dari orang Kambodia dan bahwa ia pemegang
kekuasaan yang bukan sekedar boneka yang dimanipulir dari
Hanoi). Vietnam berulang kali mengatakan bahwa mereka bersedia
keluar dari Kambodia bila kekuatan Pol Pot sudah dikalahkan.
Dan jawaban mereka cukup kuat terhadap orang yang skeptis akan
hal itu. Sudah dua kali, yaitu sebelum tahun 1954 dan pada
tahun 1970-1975, mereka mengirimkan pasukan ke Kambodia guna
mendukung perjuangan revolusioner, dan dalam dua kesempatan itu
mereka kemudian menarik pasukan kembali.
Alasan kecurigaan Vietnam terhadap Cina akhir-akhir ini begitu
kompleks dan mendalam. Beberapa gelagat yang memberikan petunjuk
muncul dalam Buku Putih yang baru-baru ini diterbitkan di Hanoi,
dengan judul 'Suatu kebenaran mengenai hubungan Vietnam-Cina
selama 30 tahun terakhir'. Ini mungkin perlu dibaca oleh setiap
orang yang secara serius ingin memahami jalan yang ditempuh
pimpinan Hanoi dalam melayani situasi internasional akhir-akhir
ini.
Jika orang membandingkan kebencian yang terungkap dalam dokumen
itu dengan apa yang termuat dalam 2 dokumen yang terbit
sebelumnya yaitu mengenai 'Hoakiaw di Vietnam', perbedaannya
sangat menyolok. Jelas sikap mereka terhadap Cina selama 18
bulan terakhir ini bertambah keras. Sebagian karena penyerbuan
Cina pada Februari 1979 di perbatasan Vietnam. Sebagian karena
perkembangan apa yang mereka sebut poros
Beijing-Washington-Tokyo, yang mereka lihat sebagai memusuhi
Vietnam.
Hoakiaw (keturunan Cina) di Vietnam telah secara kejam terseret
dalam pertentangan yang disebabkan polarisasi politik ini.
Kemudian mengalir para pengungsi karenanya. Demi alasan
kemanusiaan dan politik, kita mesti berharap bahwa
negara-negara, seperti kelompok ASEAN, Jepang dan Australia akan
melihat bahaya dari membiarkan polarisasi demikian. Yang semakin
keras dan permanen. Perlu ada jalan ke arah terbukanya pilihan
bagi Vietnam, tanpa melanjutkan isolasi dan memojokkan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini