Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permainan Tuti Hartati cukup mengesankan. Di akhir pertunjukan, aktingnya sebagai sosok siluman yang memilih menjadi istri seorang manusia terasa pas. Penonton bisa jatuh hati kepada sosok lelembut penyayang dan penuh pengorbanan yang diperankannya itu.
Di panggung yang sama (Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki), 21 tahun lalu, Sari Madjid memerankan perempuan ular putih berhati mulia itu. Ia berakting dengan Budi Ros. Akting mereka membuat pertunjukan Teater Koma hidup dan dipuji. Kini Tuti Hartati dan Ade Firman Hakim, aktor-aktor muda Teater Koma, menggantikan Sari-Budi. Mereka sebelumnya menjadi "pasangan" di lakon Sie Jin Kwie, Di Negeri Sihir dan Sam Pek Ing Tay.
Opera Ular Putih adalah kisah cinta di antara dua makhluk yang berbeda "derajat": manusia dan siluman. Tradisi kita banyak memiliki koleksi folklor perkawinan manusia dan perempuan jadi-jadian. Beberapa waktu lalu, dunia seni kita digegerkan oleh "performance" Kodok Ibnu Sukodok, 63 tahun. Eks aktor Bengkel Teater Rendra itu melakukan perkawinan dengan peri Roro Setyawati, makhluk halus penunggu Alas (hutan) Ketonggo, Ngawi. Pesta perkawinan itu dilangsungkan khidmat di sebuah rumah kuno di Ngawi di Desa Sekaralas, Kecamatan Widodaren, milik "junior"-nya di Bengkel Teater dulu, Bramantyo. Kursi pengantin perempuan kosong. Tapi "ngunduh mantu" itu dihadiri ribuan tamu. Ini membuktikan mite perkawinan peri-manusia masih dipercayai sebagian masyarakat kita.
Tak syak legenda Cina juga kaya akan kisah demikian. Berabad-abad, dari dinasti ke dinasti, Cina dipenuhi cerita interaksi antara binatang, dunia siluman, arwah, dan manusia. Dari sekian sutradara kita, Nano Riantiarno yang punya sensibilitas terhadap cakrawala fiksi-fiksi demikian. Nano dikenal menyelami khazanah cerita klasik Cina baik asli maupun peranakan. Tak mengherankan bila kisah Dua Siluman Ular atau Ouw Peh Coa merangsangnya. Ini cerita populer dalam kultur Cina peranakan tentang perempuan ular yang mengawini seorang asisten tukang obat bernama Kohanbun. Berabad-abad ia bersemadi memohon kepada dewa agar dirinya menjadi manusia. Akhirnya ia menjadi perempuan cantik bernama Tinio. Adapun adiknya, siluman ular hijau, menjadi perempuan ayu bernama Siaocing.
Babak pertama, panggung menyajikan profil keluarga Kohanbun (Ade Firman Hakim/Dodi Gustaman) serta kakak-adik siluman ular putih dan hijau, yang awalnya masih ditampilkan mengesot-ngesot. Bagian ini bergulir agak lambat. Porsi perkenalan Tinio dan Kohanbun terlalu panjang. Watak Tinio dan Siaocing kontras. Karakter Tinio lembut, halus, dan tenang. Adapun Siaocing meledak-ledak galak, tak sabaran, dan kesal mengetahui kakaknya jatuh cinta kepada seorang manusia. Tokoh Siaocing dipercayakan kepada Andhini Putri. Andhini sebelumnya lebih banyak menjadi pemain pendukung. Permainannya tak kalah dengan akting Rita Matu Mona, yang pada 1994 berperan sebagai Siaocing.
Durasi pentas ini empat jam. Adalah mengasyikkan menyaksikan siasat-siasat pergantian set yang dilakukan Nano Riantiarno. Adegan mengalir dari ruang tamu, ke vihara, ke pertarungan, ke ranjang, ke pesta. Nano master dalam transisi. Adegan pemindahan set berlangsung cepat dan kerap dibumbui ilustrasi kor, turunnya lampion-lampion, dan ledakan petasan, yang mengalihkan perhatian penonton terhadap adanya pergantian set.
Dibanding pentas Sie Jin Kwie, dekor dan properti pentas ini lebih sederhana. Nano mempersingkat cerita dengan taktik menghadirkan perkawinan Tinio dan Kohanbun dalam bentuk adegan wayang-wayangan. Tiba-tiba Tuti Hartati dan Ade Firman Hakim memanggul wayang potehi tinggi-besar. Dalang, yang diperankan Budi Ros, membuat cair suasana. Sayang, garapan wayang raksasa ini kurang menarik. Wajahnya kaku. Kurang magis. Selain menghadirkan boneka potehi raksasa di atas, Nano memunculkan boneka raksasa siluman ular, kepiting, dan kuda laut. Tapi, persoalannya, semua unsur spectacle itu hanya bagaikan ondel-ondel lewat. Wujud ular-ularan putih juga menggelikan.
Inti konflik lakon ini terjadi ketika peramal Gowi (Adri Prasetyo) mengetahui bahwa istri Kohanbun adalah siluman. Dia menganggap sang siluman penyebab wabah penyakit. Ia menghasut Bahai (Rangga Riantiarno), pendeta sakti, untuk menghukum Tinio. Tapi dewa justru melindungi Tinio. Di sini Nano seolah-olah ingin menggunakan adegan ini untuk cermin: betapa banyak tokoh agama kita-yang dianggap suci di masyarakat-justru pemikirannya kerap tak toleran dan penuh prasangka. "Siluman tetap saja siluman, tak berhak mendapatkan ampunan," kata pengikut Bahai.
Adegan di pertengahan yang membuat penonton bangkit dari kantuknya adalah tatkala Gowi berusaha meyakinkan Kohanbun bahwa istrinya penjelmaan siluman. Ia menyuruh Kohanbun menyemburkan air rapalan ke tubuh sang istri. Ia meminta Kohanbun meminumkan arak kuning kepada istrinya tepat pada hari malam perayaan Peh Cu agar bisa mengetahui wujud aslinya: ular. Adegan ini cukup memancing penonton mengetahui apa yang bakal terjadi di panggung.
Nano Riantiarno agaknya sadar bahwa unsur Buddhisme tertanam kuat dalam kisah ini. Beberapa kali layar transparan dengan gambar wajah besar Buddha diturunkan di panggung. Mata welas asih Sidharta Gautama seolah-olah melihat peristiwa asmara antara siluman dan manusia itu. Dalam buku acara, Jacob Sumardjo menulis bahwa legenda Siluman Ular Putih berkembang di Cina setelah agama Buddha masuk pada zaman Dinasti T'ang (618-906 Masehi).
Adalah menarik menghubung-hubungkan konsep kelahiran kembali dalam Buddha dengan legenda ini. Seperti diketahui, sebelum menjadi seorang yang tercerahkan, Sidharta Gautama mengalami beberapa kali kehidupan. Dalam kitab Jatakamala dikisahkan bahwa Sidharta Gautama sebelum menjadi Buddha memiliki 34 kehidupan masa silam. Ia pernah menjadi apa saja. Dari pedagang sampai binatang. Setiap kali ia berbuat kebaikan, derajat hidupnya pada kelahiran berikutnya naik.
Di titik ini, siluman dalam Ouw Peh Coa bisa ditafsirkan dengan pandangan reinkarnasi Buddha, yaitu sebagai satu titik dalam tahap mata rantai siklus tumimbal kelahiran kembali suatu makhluk. Kelak, dalam kehidupan berikutnya, siluman bisa saja menjadi manusia. Unsur filsafat ini sesungguhnya ditangkap oleh Nano, tapi tidak diberi porsi besar. Dia menghindar dari yang berat-berat. Yang ditonjolkan adalah unsur cinta makhluk dan manusia. Juga yang menyenggol-nyenggol situasi aktual negara: siapa yang abu-abu? Siapa baik? Siapa jahat?
Yang ramai, mengharukan, semarak, dan agak-agak politis memang "estetika" Nano. Simaklah pertempuran antara Tinio, yang tengah mengandung anak manusia, dan Bahai. Syahdan, sejak pertama kali naskah ini dipentaskan oleh opera derma Soei Ban Lian di Batavia pada 1911 dengan bahasa Melayu Pasar, bagian ini adalah inti yang ditunggu-tunggu penonton. Di sini penonton menginginkan kemenangan ada di pihak siluman. Di sini ulama dan pengikut-pengikutnya menjadi sosok antagonis. Penonton benci kepada orang-orang kudus yang tak mengerti esensi kasih sayang. Kebenaran moral ada di tangan siluman.
Tontonan ini sanggup menyajikan sebuah hiburan dengan "H" besar. Di sana-sini memang bertebaran adegan slapstick khas Koma yang klise. Toh, kita dipaksa merenungkan mengapa dalam legenda Cina kisah kawin antarmakhluk berbeda dimensi itu bisa mengharukan. Siluman ternyata memiliki kesetiaan dan ketulusan cinta lebih daripada manusia.
Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo