Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Philip Roth meninggal 22 Mei yang lalu, dan saya teringat adegan ini: di hari dingin Februari 1968, gadis gagap itu, Merry, memasang sebuah bom di kantor pos kota. Ledakannya membunuh seseorang yang kebetulan berdiri di dekat gedung kecil itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak itu Merry menghilang. Lima tahun kemudian ayahnya, Seymour Levov, pemilik pabrik kaus tangan di Newark, menemukannya dalam persembunyian di bagian kumuh kota. Di sana anaknya mengakuiia tak gagap lagitelah meledakkan beberapa bom dan membunuh tiga orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam novel American Pastoral Philip Roth ini, tak ada satu pun penjelasan tentang kenapa kehendak destruktif timbul pada Merry, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berada dan stabil. Gadis ini, seperti ribuan anak muda segenerasinya, memang dengan sengit menentang Amerika dalam Perang Vietnam, yang baginya tindakan sewenang-wenang terhadap sebuah negeri kecil yang jauh. Tapi Merry adalah biografi yang tak lurus-tokoh ideal Roth untuk novel-novelnya. "Tokohku mesti berada dalam satu keadaan perubahan yang jelas, atau tercerabut secara radikal," katanya dalam salah satu esai. Transformasi itu tidak saja menarik sebagai cerita, tapi juga menunjukkan suatu pandangan ethis: manusia tak boleh terpenjara dalam satu identitas yang sebenarnya tak pernah jelas.
Seymour, bapak Merry, seorang Levov, Yahudi. Tapi ia berambut pirang bermata biru dan dipanggil "Swede", seakan-akan ia seorang Swedia di Newark, kota di New Jersey, yang di tahun 1960-an berpenduduk sekitar 400 ribu, 75 persen berkulit putih. "Swede" masuk ke komunitas ini, larut di dalamnya, dengan begitu wajar dan lumrah ("the regular American-guy way"), berderap mengikuti "American Dream". Ia menikahi seorang perempuan Katolik yang molek, bekas Ratu New Jersey, dan tinggal di rumah batu yang dibangun semasa Revolusi Amerika. Hidupnya dikisahkan Zuckerman, seorang novelis keturunan Yahudi yang mengenalnya sejak kecil, mengaguminya, seraya mencoba menjawab: di mana "yahudi"-nya si Swede ini?
Tapi orang ini "bukan Yahudi, bukan Katolik Irlandia, bukan Kristen Protestan". Menarik, sebenarnya. Tapi "aku-dalam-proses" itu kemudian ia kunci. Ia melihat dirinya "Johnny Appleseed", tokoh legendaris sejarah Amerika, seorang misionaris yang menaburkan benih apel di mana-mana-membangun kesejahteraan.
Swede seakan-akan ikut menciptakan Amerika.
Yang tak dilihatnya: Amerika yang satu, utuh, padu-yang kontinu sejak kemerdekaan sampai dengan Perang Vietnam-tak pernah ada. Merry, si anak tunggal, menyaksikan itu. Ia dibesarkan dengan persona yang bisa berubah seperti dalam pentas, ia serba mungkin-dan apa yang di luar ikut membentuknya, termasuk dalam meniadakannya.
Di masa kecil ia menghias kamarnya dengan patung Bunda Maria dan gambar Yesus, mengikuti ibunya. Ayahnya mengatakan ia boleh memasang apa saja di kamar itu, tapi juga berpesan agar lambang-lambang Katolik itu dicopot tiap kali kakek-neneknya yang Yahudi berkunjung.
Hubungan emotif yang kukuh antara icon dan diri pada saat seperti itu terganggu, terutama bagi seorang anak. Lambang suci hanya seperti stimulus untuk mengubah wajah. Ada yang gerowong dalam eksistensinya.
Dalam hal itu ia mirip Seymour. Ayah ini mengira dasar hidupnya solid, dengan membayangkan diri sebagai Johnny Appleseed, tauladan kebaikan yang mengikuti nilai-nilai yang umum. Tapi sikap itu bukan lahir dari pergulatan batin yang intens; ia tak pernah mengalami konflik dalam dirinya, orang sukses yang merasa hidupnya ada di dunia yang pastoral, sopan dan tenteram.
Sebuah ilusi, tentu saja. Newark bukan rumah batu bersejarah yang apik; ketegangan rasial, ketimpangan antara si putih kaya dan si hitam miskin membayanginya, dan akhirnya meledak selama empat hari setahun sebelum bom yang dipasang Merry. Sebanyak 28 orang tewas. Penduduk kelas menengah, khususnya yang Yahudi, hijrah.
Merry di tengah itu: ia bukan shiksa, wanita non-Yahudi, tapi juga ia bukan Yahudi. Ia adalah khaos. Ia, yang pernah jadi pengikut Jainisme yang tak mau mengancam kehidupan makhluk apa pun, akhirnya menyatakan tak mau lagi berkehendak, tak mau lagi menegaskan diri. Ia menampik identitas, ia menolak menegaskan subyektivitas. Tapi tak selalu, tak selamanya. Ia-yang mengikuti berita kebrutalan Perang Vietnam di televisi, termasuk reportase seorang biksu yang memprotes Amerika dengan membakar diri sampai mati-akhirnya menjelmakan diri dalam perlawanan. Bukan sebagai seorang Jain.
Saya tak kenal semua karya Roth, tapi dengan ruang fiksinya yang terbatas ("Newark, Newark, Yahudi, Yahudi," katanya sendiri), saya agak bisa melihat apa yang merisaukannya: "identitas" adalah lorong yang rumit, mungkin punya satu cerita, mungkin entah. Seorang tokoh American Pastoral berkata: di mana-mana orang pada berdiri dan berseru, "Ini aku! Ini aku!" tapi sebaiknya mereka bilang, "Ini bukan aku! Bukan aku!"
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo