Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Biennale Venesia 2017, Paviliun Nasional Singapura yang diwakili seniman Zai Kuning mengolah isu yang selama ini lebih diyakini sebagai "milik Indonesia", yaitu sejarah dan peninggalan Sriwijaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang tidak bisa dimungkiri pengaruh Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-6 dan ke-7 sedemikian luas di seluruh Semenanjung Malaka, bahkan di beberapa bagian wilayah Indocina. Jika kemudian paviliun yang secara resmi dikelola pemerintah Singapura itu membawa isu dan konteks Sriwijaya dengan begitu megah, apakah berarti ada semacam upaya politik untuk mengajukan klaim atas identitas Sriwijaya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Venesia, pameran"Dapunta Hyang: The Transfer of Knowledge" beberapa minggu ini dipamerkan di Singapura, tepatnya di gedung TheaterWorks. Dapunta Hyang dalam dunia arkeologi dianggap sebagai pendiri kedatuan Sriwijaya. Namanya tertera dalam Prasasti Kedukan Bukit bertarikh 682 Masehi yang ditemukan di Palembang. Apakah digelarnya pameran di Venesia adalah sebuah upaya diplomasi Singapura atas Sriwijaya? Dan, kemudian, apakah pameran di TheaterWorks adalah pameran pulang kampung untuk menggugah masyarakat Singapura sendiri?
Zai Kuning, seniman yang mewakili Singapura, sesungguhnya telah lama bekerja dalam isu ini, setidaknya 20 tahun. Pada awalnya saya mengira bahwa ia, sebagai orang Singapura, mempunyai garis keturunan Melayu sehingga seperti berkeinginan melacak jejak leluhurnya. Rupanya, saya salah. Zai Kuning justru punya leluhur orang Bugis sehingga tidak secara langsung berhubungan dengan akar Melayu. Ia hanya ingin mencari orang Singapura pertama. Begitu ia nyatakan dalam buku setelah pameran.
Proses kreatif Zai bermula dari pencariannya terhadap komunitas Orang Laut melalui perjalanan ke Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya bersama seorang pengemudi kapal yang beroperasi di antara pulau-pulau tersebut. Zai kemudian membangun rumah perahunya sendiri. Ia menghabiskanwaktu berbulan-bulan di sana untuk dapat bertemu dengan Orang Laut. Ketika akhirnya bertemu, Zai meminta izin untuk mengikuti kehidupan sehari-hari mereka.Beberapa kali Zai ikut dalam perjalanan mereka sembari merekamnya dengan kamera tangan, jauh dari kesan pembuatan film dokumenter profesional.
Film tentang Orang Laut pertama kali ia presentasikan di Fukuoka Asian Art Museum pada 2003, dan telah bertumbuh menjadi beberapa versi hingga kini. Pertemuandengan Orang Laut membuat Zai makin tergerak untuk memasuki kompleksitas sejarah Melayu, dan hal tersebut membawanya menelusuri jejak Sriwijaya. Pada 2015-2016, ia mengunjungi Bukit Seguntang, situs yang menyimpan makam figur-figur penting Sriwijaya, terutama keturunan Dapunta Hyang. Di bukit suci inilah masyarakat percaya bahwa Sang Sapurba turun ke dunia. Raja Dapunta Hyang dan Parameswara (pendiri Kesultanan Malaka) sangat sering mengunjungi Bukit Seguntang karena mereka adalah keturunan Sang Sapurba. Di kompleks makam itulah Zai menemukan "nisan" dengan citra gambar daun tapi memberi imaji serupa perahu.
Selain mencari situs para leluhur di Seguntang, Zai mengunjungi situs-situs lain, seperti kompleks Candi Muaro Jambi. Dapunta Hyang adalah penguasa yang pernah menjalani siddhayatra (perjalanan suci) melintasi Selat Malaka bersama 20 ribu personel pasukan untuk melakukan penaklukan-penaklukan. Imaji inilah yang kemudian mendesak Zai Kuning membangun sebuah prototipe kapal, yang selalu menjadi simbol pencarian dan perjalanan.
Kesan visual yang pertama kali terasa dari karya ini adalah monumental. Zai Kuning menciptakan dan menghadirkan replika perahu Orang Laut di ruang pameran dengan ukuran yang masif: lebih dari 12 meter. Meski begitu, Zai memilih hanya menampilkan rangka perahu sehingga karya itu lebih terasa sebagai imajinasi ketimbang realitas. Dengan rotan sebagai material, rangka perahu raksasa ini justru memunculkan kesan tentang batas-batas yang terlintasi, pertemuan dunia di dalam perahu dan di luarnya, serta persentuhan pandang mata kita dengan garis cakrawala. Di bawah perahu itu terhampar lembaran stainless steel, yang menjadi seperti permadani penutup lantai.
Dengan pencahayaan yang cukup dramatis di TheaterWorks, hamparan perak itu menjadi seperti gambaran dari lautan yang luas dan memberi refleksi yang sangat dalam atas bentuk perahu. Di bawah rangka perahu, Zai meletakkan buku-buku kuno yang sebagian telah rusak, lalu ia tutup dengan lilin berwarna kuning pucat yang memberi kesan sesuatu yang purba. Tidak banyak simbol atau artefak yang dimunculkan Zai Kuning dalam karya instalasinya, mengingat pencariannya selama 20 tahun ini. Tapi kesederhanaan yang masif ini begitu menyerap, masuk ke dalam ingatan para penonton, dalam gerak yang menyergap sekaligus menyelinap diam-diam. Ia tampak teguh sekaligus indah, jaya sekaligus rapuh.
Di ruangan itu, Zai memutar rekaman pertunjukan tradisi Melayu mak yong yang dibawakan kelompok pimpinan Pak Khalid, yang telah beberapa kali ia undang untuk bermain dan menghidupkan kembali seni pertunjukan berbasis opera yang hampir mati ini. Berbeda dengan di Venesia, dalam pameran di Singapura ini Zai Kuning menampilkan peta persebaran budaya Melayu di sekitar Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, hingga Taiwan. Peta ini memang menjadi konteks yang penting bagi penonton untuk menarik relevansi yang lebih langsung dari kisah tentang Sriwijaya, mengingat narasi ini bukanlah narasi yang cukup populer bagi masyarakat setempat.
Tiga kata kunci utama sekaligus narasi inti dalam pameran ini: Orang Laut, Sriwijaya, dan mak yong, dijukstaposisi dengan cara yang menarik oleh Zai Kuning. Mereka tak segera menjadi satu kesatuan, melainkan seperti dirakit atau dijahit satu per satu hingga membentuk pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana satu sama lain berkait. Bagi saya, hal yang menarik dari proyek ini adalah bagaimana Zai Kuning mampu bertahan dalam sebuah obsesi dan ambisi atas konteks sejarah, bahkan narasi antropologis tertentu, hingga dua dekade. Persentuhan dengan komunitas Orang Laut dan kelompok mak yong, kunjungan ke situs-situs sejarah, serta penelusuran artefak yang dilakukannya bagi saya tidak mesti dilihat melulu sebagai upaya mendokumentasikan sejarah, tapi juga pencarian yang sangat personal atas sebuah entitas yang membentuk suku, komunitas, kelompok etnis, bahkan sebuah bangsa.
Kembali ke pertanyaan awal, tentang dihadirkannya pameran ini dalam Biennale Venesia, mengapa pemerintah Singapura secara resmi memilih tema narasi tentang Sriwijaya, yang akar geografisnya jelas lebih terkait dengan Indonesia. Memang obyek seni rupa kontemporer senantiasa lintas batas. Tapi penampilannya dalam sebuah paviliun resmi bisa dibaca sebagai keinginan representasi. Ingat beberapa tahun silam, pemerintah Singapura membeli artefak kapal karam di kawasan Bangka Belitung dan kemudian memamerkannya.
Daud Aris Tanudirjo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, menyebutkan kecenderungan Singapura yang tampak agresif dalam memburu artefak dan menampilkan Melayu sebagai bagian dari narasi kebangsaannya tidak selalu berkaitan dengan gagasan politik identitas. Barangkali Malaysia lebih punya strategi ke arah politik identitas. Kalau Singapura, lebih sebagai bahan kajian dan koleksi pengetahuan, ucapnya.
Dalam kasus Sriwijaya ini, Daud melihat bahwa sesungguhnya yang mewarisi watak kosmopolitanisme memang Singapura. Sriwijaya dulu tumbuh sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan di kawasan sepanjang Samudra Hindia serta Asia, dan peran itu sekarang dijalankan Singapura.
Alia Swastika, pengamat seni rupa
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo