Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Antara stabilitas dan kepemimpinan

Kepemimpinan agaknya suatu dimensi yang jarang kita susuri hubungannya dengan pembangunan. dalam pembangunan ia berfungsi sebagai "penghidup mesin". stabilitas diperlukan, tapi tak selalu menguntungkan pembangunan

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU kita memang berniat mengetahui bagaimana sampai Mao begitu berhasil menggerakkan rakyat Tingkok . . . kita harus menjelajahi dunia perasaannya untuk menemukan dinamika dari hubungan psikisnya dengan orang hanyak" demikian Lucian W. Pye menulis dalam Political Sicience Quarterly (Summer 1976 dengan judul "Mao Tseung's Leadership Style". Kepemimpinan, agaknya, adalah suatu dimensi yang jarang sekali kita susuri hubungannya dengan pembangunan. Sementara itu sama dengan stabilitas, kepemimpinan juga merupakan suatu faktor kunci dalam sukses atau tidaknya pembangunan. Bagaikan motor, pembangunan tidak hanya memerlukan jalan lempeng yang bernama stabilitas melainkan juga 'penghidup mesin' yang bernama kepemimpinan. Tapi seberapa jauhkah arti kepemimpinan itu? KESENYAWAAN Kepemimpinan adalah kesanggupan buat membimbing suatu komunitas ke arah perwujudan prospeknya yang terbaik. Ia adalah suatu potensi dan bukan pribadi. Begitulah maka seorang pemimpin berbeda dengan seorang pejabat dalam beberapa hal mendasar. Kalau pejabat lahir dari suatu aturan permainan yang sah atau yang dianggap sah, pemimpin lahir dari suatu proses organis yang riil di tengah-tengah masyarakat. Kalau pejabat diangkat oleh kekuasaan, pemimpin diangkat oleh karisma. Dengan demikian, berhadapan dengan rakyat, seorang pejabat memiliki keabsahan dan seorang pemimpin memiliki kesenyawaan -- dua hal yang semestinya bisa dipadukan buat menciptakan puncak efisiensi. Kekhawatiran bahwa mengangkat para pemimpin dari mayarakat ke panggung pemerintahan berarti memancing fragmentasi mungkin sekali sudah menjadi suatu kekhawatiran kadaluwarsa, yang tak memperhitungkan perkembangan kesadaran politik bangsa ini dalam sepuluh tahun terakhir. Sekarang, dengan terciptanya berbagai kenyataan objektif, fragmentarisme telah kehilangan momentum. Karena itu tak ada lagi alasan yang sah untuk mengekang kepemimpinan dari bawah. Kita memiliki banyak pemimpin di masa Revolusi Kemerdekaan, dan kita akan membuat kemerdekaan ini sesuatu yang gersang, bila kita tidak merangsang lahirnya para pemimpin! Kita memang memerlukan stabilitas demi pembangunan. Tetapi barangkali kita lalai bahwa tidak semua jenis stabilitas menguntungkan pembangunan. Di samping itu, semakin lama dunia semakin belajar dari kenyataan bahwa prinsip stabilitas tak perlu diberi tempat yang kelewat tinggi. Di Amerika, misalnya, prinsip ini bahkan dikecam sebagai sumber yang memungkinkan pemerintah melakukan berbagai kejahatan yang tak termaafkan. Mulai dari penghalalan cara dalam pemilihan umum hingga ke pemboman langsung ke daerah-daerah pemukiman penduduk di Vietnam, yang sesungguhnya sangat ditentang oleh rakyat Amerika sendiri. Dengan judul "Security", Saturday Review hampir setahun y.l. menulis: "Kejahatan yang disebarkan ke seluruh dunia atas nama 'keamanan' dewasa ini tak terperikan". Tentu saja penilaian tidak usah segamblang itu di negeri kita. Cukup kalau kita berkata bahwa penyebab sejumlah kasus mengecewakan dalam proses pembangunan kita tidaklah terletak pada kurangnya stabilitas, melainkan pada kurang berlakunya sistim checks and balances -- suatu gejala yang harus juga dicari pangkalnya pada kemungkinan tak cukup diikut-sertakannya para pemimpin yang berakar dalam kehidupan masyarakat, atau pada tak cukup didengarkannya suara-suara mereka sebelumnya. Kita bisa terlempar ke suatu pusaran yang tanpa hasil karena suatu sikap ganda, yakni sikap menghendaki partisipasi masyarakat tapi menolak partisipasi para pemimpinnya. Padahal masyarakatpun berarti sekumpulan manusia yang senantiasa membutuhkan idols, membutuhkan tokoh-tokoh ke mana mereka berkiblat. ALADIN Pembangunan selamanya adalah suatu kerja kolektif. Dalam sejarah, tak satupun negeri yang makmur dan jaya hanya karena seorang Aladin. Hsuan Tsung, Pericles dan Iskandar Zulkarnain yang telah menciptakan zaman keemasan bagi Tiongkok, Athena dan Masedonia pada kesempatan sqarah mereka masing-masing pastilah bukan barisan Aladin. Begitu juga dengan semua kerajaan Nusantara dimasa lampau yang dalam struktur feodal hanya terlatih merekam raja-raja. Maka adalah sangat bijaksana kalau kita mengesampingkan setiap kecenderungan buat membatasi kepemimpinan pada satu atau beberapa pribadi, dan sebaliknya membuka kesempatan seluas-luasnya bagi sebanyak mungkin pribadi buat mendukungnya. Untuk iu, tak ada jeleknya kalau secara ajeg kita menjaga stabilitas, namun tidaklah salah kalau kita tidak usah terlalu kerap mencanangkannya dalam isyu-isyu 'politik'. Ada saatnya masyarakat kenyang isyu. Suatu saat mereka menyadari bahwa bukan hanya orang-orang Komunis yang bisa menyebarkan fitnah. Suatu saat mereka sanggup menarik nalar bahwa kalau ada stabilitas semu, pasti ada juga ketegangan semu. Kewaspadaan bukanlah suatu monopoli. Ia sudah merupakan sifat naluriah dari semua warganegara yang sungguh-sungguh menghayati dirinya sebagai warga dari suatu negara, warga dari konsekwensi-konsekwensi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus