KALAU kita memang berniat mengetahui bagaimana sampai Mao begitu
berhasil menggerakkan rakyat Tingkok . . . kita harus
menjelajahi dunia perasaannya untuk menemukan dinamika dari
hubungan psikisnya dengan orang hanyak" demikian Lucian W. Pye
menulis dalam Political Sicience Quarterly (Summer 1976 dengan
judul "Mao Tseung's Leadership Style".
Kepemimpinan, agaknya, adalah suatu dimensi yang jarang sekali
kita susuri hubungannya dengan pembangunan. Sementara itu sama
dengan stabilitas, kepemimpinan juga merupakan suatu faktor
kunci dalam sukses atau tidaknya pembangunan. Bagaikan motor,
pembangunan tidak hanya memerlukan jalan lempeng yang bernama
stabilitas melainkan juga 'penghidup mesin' yang bernama
kepemimpinan.
Tapi seberapa jauhkah arti kepemimpinan itu?
KESENYAWAAN
Kepemimpinan adalah kesanggupan buat membimbing suatu komunitas
ke arah perwujudan prospeknya yang terbaik. Ia adalah suatu
potensi dan bukan pribadi. Begitulah maka seorang pemimpin
berbeda dengan seorang pejabat dalam beberapa hal mendasar.
Kalau pejabat lahir dari suatu aturan permainan yang sah atau
yang dianggap sah, pemimpin lahir dari suatu proses organis yang
riil di tengah-tengah masyarakat. Kalau pejabat diangkat oleh
kekuasaan, pemimpin diangkat oleh karisma. Dengan demikian,
berhadapan dengan rakyat, seorang pejabat memiliki keabsahan dan
seorang pemimpin memiliki kesenyawaan -- dua hal yang semestinya
bisa dipadukan buat menciptakan puncak efisiensi.
Kekhawatiran bahwa mengangkat para pemimpin dari mayarakat ke
panggung pemerintahan berarti memancing fragmentasi mungkin
sekali sudah menjadi suatu kekhawatiran kadaluwarsa, yang tak
memperhitungkan perkembangan kesadaran politik bangsa ini dalam
sepuluh tahun terakhir. Sekarang, dengan terciptanya berbagai
kenyataan objektif, fragmentarisme telah kehilangan momentum.
Karena itu tak ada lagi alasan yang sah untuk mengekang
kepemimpinan dari bawah. Kita memiliki banyak pemimpin di masa
Revolusi Kemerdekaan, dan kita akan membuat kemerdekaan ini
sesuatu yang gersang, bila kita tidak merangsang lahirnya para
pemimpin!
Kita memang memerlukan stabilitas demi pembangunan. Tetapi
barangkali kita lalai bahwa tidak semua jenis stabilitas
menguntungkan pembangunan.
Di samping itu, semakin lama dunia semakin belajar dari
kenyataan bahwa prinsip stabilitas tak perlu diberi tempat yang
kelewat tinggi. Di Amerika, misalnya, prinsip ini bahkan dikecam
sebagai sumber yang memungkinkan pemerintah melakukan berbagai
kejahatan yang tak termaafkan. Mulai dari penghalalan cara dalam
pemilihan umum hingga ke pemboman langsung ke daerah-daerah
pemukiman penduduk di Vietnam, yang sesungguhnya sangat
ditentang oleh rakyat Amerika sendiri. Dengan judul "Security",
Saturday Review hampir setahun y.l. menulis: "Kejahatan yang
disebarkan ke seluruh dunia atas nama 'keamanan' dewasa ini tak
terperikan".
Tentu saja penilaian tidak usah segamblang itu di negeri kita.
Cukup kalau kita berkata bahwa penyebab sejumlah kasus
mengecewakan dalam proses pembangunan kita tidaklah terletak
pada kurangnya stabilitas, melainkan pada kurang berlakunya
sistim checks and balances -- suatu gejala yang harus juga
dicari pangkalnya pada kemungkinan tak cukup diikut-sertakannya
para pemimpin yang berakar dalam kehidupan masyarakat, atau pada
tak cukup didengarkannya suara-suara mereka sebelumnya.
Kita bisa terlempar ke suatu pusaran yang tanpa hasil karena
suatu sikap ganda, yakni sikap menghendaki partisipasi
masyarakat tapi menolak partisipasi para pemimpinnya. Padahal
masyarakatpun berarti sekumpulan manusia yang senantiasa
membutuhkan idols, membutuhkan tokoh-tokoh ke mana mereka
berkiblat.
ALADIN
Pembangunan selamanya adalah suatu kerja kolektif. Dalam
sejarah, tak satupun negeri yang makmur dan jaya hanya karena
seorang Aladin. Hsuan Tsung, Pericles dan Iskandar Zulkarnain
yang telah menciptakan zaman keemasan bagi Tiongkok, Athena dan
Masedonia pada kesempatan sqarah mereka masing-masing pastilah
bukan barisan Aladin. Begitu juga dengan semua kerajaan
Nusantara dimasa lampau yang dalam struktur feodal hanya
terlatih merekam raja-raja. Maka adalah sangat bijaksana kalau
kita mengesampingkan setiap kecenderungan buat membatasi
kepemimpinan pada satu atau beberapa pribadi, dan sebaliknya
membuka kesempatan seluas-luasnya bagi sebanyak mungkin pribadi
buat mendukungnya.
Untuk iu, tak ada jeleknya kalau secara ajeg kita menjaga
stabilitas, namun tidaklah salah kalau kita tidak usah terlalu
kerap mencanangkannya dalam isyu-isyu 'politik'. Ada saatnya
masyarakat kenyang isyu. Suatu saat mereka menyadari bahwa bukan
hanya orang-orang Komunis yang bisa menyebarkan fitnah. Suatu
saat mereka sanggup menarik nalar bahwa kalau ada stabilitas
semu, pasti ada juga ketegangan semu. Kewaspadaan bukanlah suatu
monopoli. Ia sudah merupakan sifat naluriah dari semua
warganegara yang sungguh-sungguh menghayati dirinya sebagai
warga dari suatu negara, warga dari konsekwensi-konsekwensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini