Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mau enaknya sendiri

Kita sangat butuh mempropagandakan kebudayaan indonesia di luar negeri supaya dikenal. kita menginginkan agar dunia menerima dan mengagumi kebudayaan kita. juga kita hendaknya menolak kebudayaan asing.

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA saya baru-baru ini dilaporkan bahwa ada sekelompok orang Indonesia menentang pemugaran Borobudur. Penghamburan uang untuk menegakkan bangkai, begitu katanya. Padahal rakyat kita sekarang butuh ini dan itu ensopor. Dan saya bilang, itu biasa. Mengenai banyak hal yang menyangkut banyak sekali uang orang memang tidak sepakat. Jangankan mengenai Borobudur. Di negeri kita sangat banyak kaum terpelajar juga berkata "buat apa membaca?" Raja dan jenderal dan rektor bahkan sampai menitahkan pembakaran buku. Perpustakaan Aleksandria yang maha hebat itu dihancur-leburkan oleh Julius Caesar, Aurelianus, Theodosius dan Umar Ibn al-Khattab. Tahun 240 kaisar Che-hoang membakar segala naskah di Cina yang berbau sejarah, filsafat dan ilmu falak. Hampir segala tulisan bangsa Inca jadi mangsa keganasan Francisco Toledo sekitar tahun 1566. Di Indonesia dulu ada saja perguruan tinggi yang membuat api unggun dari gunungan "buku asing". Kata rektornya yang bertitel Prof. dan M.A., itu demi "perjuangan nasional". Aha! Dan pemerintah bersorak "ya hut". BERLUMURAN DARAH Terus terang saja, saya sering kurang mengerti apa yang diobral sebagai "perjuangan nasional" ini. Suatu hari saya diundang ke bioskop Nusantara. Di situ Sitor Situmorang berpidato mengenai jahatnya film Amerika-Serikat. Sesudah pidato kami disuguhi film Jepang. Besoknya saya tulis di Harian Karya bahwa di Nusantara diputar film jahat tentang penjahat-penjahat Jepang. Mereka berhasil membuat seluruh film merah berlumuran darah dan bolong-bolong oleh berondongan peluru. Karuan saja para nasionalis dalam klub PAPFIAS lantas mengangkat saya sebagai orang kontra -revolusioner. Tapi itu jaman dulu. Sekarang gayanya dirubah sedikit. Kalau saya misalnya tidak suka nonton film produksi Marsinem atau Marsudi, maka dianggap saya tidak suka nonton film "nasional". Maklumlah, sekarang maupun dulu sembarang orang bebas mencatut istilah "nasional". Masih bagus kalau tidak ada sastrawan yang menyebut karyanya "sajak nasional". Sam Bimbo juga tidak pernah menyebut segala lagunya "musik nasional", bahkan Sadali tidak tahu apa itu yang disebut "lukisan nasional". Baiklah. Lantas saya juga disebut sebagai penonton yang "tidak baik". Dan ini belum apa-apa. Orang film seperti Sudewo bahkan bisa dipastikan akan "meragukan kebangsaan" saya. Itulah sebabnya maka saya pernah terdorong untuk berkata kepada tetangga saya: "Kalau anda tidak suka makan sambel saya, maka anda bukan orang baik dan bukan bangsa Indonesia. Soalnya, ini sambel kan saya ulek sendiri. Maka itu anda harus menganggap sambel saya ini sebagai tuan rumah anda". Bisa segera dipastikan bahwa saya bohong besar. Sebab saya sendiri tahu betul, yang tuan rumah itu tentu bukan sambelnya. Sambel itu seumpama bendera Merah-Putih saja di belakang mana saya mau main-main seenak perut saya. Memang harus diakui bahwa cara ini sudah rada usang. Seharus nya saya pasang bendera "Pembangunan". "KOK ENAK .... ! Mengenai hal-ihwal yang bercap "asing" tadi, saya punya cerita yang pernah terjadi di kepala saya. Katakanlah, baru terjadi di kepala saya. Malaysia dan Singapura dan Muangthai melarang film-film Indonesia masuk di negeri mereka, kecuali yang menang d Festival Berlin. Kata mereka, atas dasar "perjuangan nasional" serta teori "tuan rumah". Negeri-negeri lain juga mengumumkan larangan serupa. Dan ini ternyata masih belum apa-apa. Mereka juga melarang masuknya penyanyi, penari, pemusik, lukisan, patung batik dan buku Indonesia. Suatu tajuk rencana dalam suatu harian di Bandung tahun lalu (dan ini bukan dongeng, tapi sungguhan) menyebut suatu contoh dari negeri seperti ini, yakni Jepang sekarang. Ini Jepang melarang masuknya kebudayaan asing, jadi Jepang perlu kita contoh, begitu katanya. Tapi bukan ini yang paling hebat. Jepang bahkan meng-ekspor kebudayaannya sendiri ke seluruh dunia, misalnya judo dan karate dan mengarang bunga ensopor-ensopor. Itulah yang terutama dikagumi pengarang tajuk. "Opo ora enak!" (enak ya), kata orang Jawa. Maaf, artinya tidak sama dengan "kok enak' meskipun anda boleh saja menyambut dengan "kok enak. .. !" Untuk melawan segala larangan yang melumpuhkan ekspor budaya Indonesia itu, maka Indonesia lalu melancarkan "aksi penyadaran dunia" ke seluruh dunia, yang pada hakekatnya ialah suatu ajaran moral. MENGUAP Di situ diuraikan tentang hidup bersahabat di dunia, tentang perdamaian dunia, tentang saling mengerti dan saling menghargai antara segala bangsa di dunia, tentang toleransi tentang tukar-menukar kebudayaan dan sebagainya. Umat manusia harus belajar dari segala pengalaman pahit di masa lalu, kata semua pejabat tinggi Indonesia kepada semua dutabesar asing. Mudah-mudahan sikap dunia bisa mencair, sebab kita sangat butuh itu rupiah yang kita dapat dari ekspor film Indonesia. Kita sangat butuh mempropagandakan kebudayaan Indonesia di luar negeri supaya jutaan turis asing masuk ke Indonesia dan membelanjakan ratusan juta rupiah tentunya. Ensopor-ensopor termasuk yang tidak berbau rupiah. Yang kita maui begini: dunia menerima dan mengagumi dan mengimpor kebudayaan Indonesia, dan kita menolak kebudayaan asing masuk Indonesia. Ini bisa disebut suatu politik kebudayaan. Saya ceritakan dongeng ini kepada kawan saya. Lantas kata kawan saya sambil menguap: "Kita ini rupanya mau menangnya sendiri saja . . . ".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus