PADA saya baru-baru ini dilaporkan bahwa ada sekelompok orang
Indonesia menentang pemugaran Borobudur. Penghamburan uang untuk
menegakkan bangkai, begitu katanya. Padahal rakyat kita sekarang
butuh ini dan itu ensopor. Dan saya bilang, itu biasa.
Mengenai banyak hal yang menyangkut banyak sekali uang orang
memang tidak sepakat. Jangankan mengenai Borobudur. Di negeri
kita sangat banyak kaum terpelajar juga berkata "buat apa
membaca?" Raja dan jenderal dan rektor bahkan sampai menitahkan
pembakaran buku. Perpustakaan Aleksandria yang maha hebat itu
dihancur-leburkan oleh Julius Caesar, Aurelianus, Theodosius dan
Umar Ibn al-Khattab. Tahun 240 kaisar Che-hoang membakar segala
naskah di Cina yang berbau sejarah, filsafat dan ilmu falak.
Hampir segala tulisan bangsa Inca jadi mangsa keganasan
Francisco Toledo sekitar tahun 1566. Di Indonesia dulu ada saja
perguruan tinggi yang membuat api unggun dari gunungan "buku
asing". Kata rektornya yang bertitel Prof. dan M.A., itu demi
"perjuangan nasional". Aha! Dan pemerintah bersorak "ya hut".
BERLUMURAN DARAH
Terus terang saja, saya sering kurang mengerti apa yang diobral
sebagai "perjuangan nasional" ini. Suatu hari saya diundang ke
bioskop Nusantara. Di situ Sitor Situmorang berpidato mengenai
jahatnya film Amerika-Serikat. Sesudah pidato kami disuguhi film
Jepang. Besoknya saya tulis di Harian Karya bahwa di Nusantara
diputar film jahat tentang penjahat-penjahat Jepang. Mereka
berhasil membuat seluruh film merah berlumuran darah dan
bolong-bolong oleh berondongan peluru. Karuan saja para
nasionalis dalam klub PAPFIAS lantas mengangkat saya sebagai
orang kontra -revolusioner.
Tapi itu jaman dulu. Sekarang gayanya dirubah sedikit. Kalau
saya misalnya tidak suka nonton film produksi Marsinem atau
Marsudi, maka dianggap saya tidak suka nonton film "nasional".
Maklumlah, sekarang maupun dulu sembarang orang bebas mencatut
istilah "nasional". Masih bagus kalau tidak ada sastrawan yang
menyebut karyanya "sajak nasional". Sam Bimbo juga tidak pernah
menyebut segala lagunya "musik nasional", bahkan Sadali tidak
tahu apa itu yang disebut "lukisan nasional".
Baiklah. Lantas saya juga disebut sebagai penonton yang "tidak
baik". Dan ini belum apa-apa. Orang film seperti Sudewo bahkan
bisa dipastikan akan "meragukan kebangsaan" saya. Itulah
sebabnya maka saya pernah terdorong untuk berkata kepada
tetangga saya: "Kalau anda tidak suka makan sambel saya, maka
anda bukan orang baik dan bukan bangsa Indonesia. Soalnya, ini
sambel kan saya ulek sendiri. Maka itu anda harus menganggap
sambel saya ini sebagai tuan rumah anda".
Bisa segera dipastikan bahwa saya bohong besar. Sebab saya
sendiri tahu betul, yang tuan rumah itu tentu bukan sambelnya.
Sambel itu seumpama bendera Merah-Putih saja di belakang mana
saya mau main-main seenak perut saya. Memang harus diakui bahwa
cara ini sudah rada usang. Seharus nya saya pasang bendera
"Pembangunan".
"KOK ENAK .... !
Mengenai hal-ihwal yang bercap "asing" tadi, saya punya cerita
yang pernah terjadi di kepala saya. Katakanlah, baru terjadi di
kepala saya.
Malaysia dan Singapura dan Muangthai melarang film-film
Indonesia masuk di negeri mereka, kecuali yang menang d Festival
Berlin. Kata mereka, atas dasar "perjuangan nasional" serta
teori "tuan rumah". Negeri-negeri lain juga mengumumkan larangan
serupa.
Dan ini ternyata masih belum apa-apa. Mereka juga melarang
masuknya penyanyi, penari, pemusik, lukisan, patung batik dan
buku Indonesia. Suatu tajuk rencana dalam suatu harian di
Bandung tahun lalu (dan ini bukan dongeng, tapi sungguhan)
menyebut suatu contoh dari negeri seperti ini, yakni Jepang
sekarang. Ini Jepang melarang masuknya kebudayaan asing, jadi
Jepang perlu kita contoh, begitu katanya. Tapi bukan ini yang
paling hebat. Jepang bahkan meng-ekspor kebudayaannya sendiri ke
seluruh dunia, misalnya judo dan karate dan mengarang bunga
ensopor-ensopor. Itulah yang terutama dikagumi pengarang tajuk.
"Opo ora enak!" (enak ya), kata orang Jawa. Maaf, artinya tidak
sama dengan "kok enak' meskipun anda boleh saja menyambut dengan
"kok enak. .. !"
Untuk melawan segala larangan yang melumpuhkan ekspor budaya
Indonesia itu, maka Indonesia lalu melancarkan "aksi penyadaran
dunia" ke seluruh dunia, yang pada hakekatnya ialah suatu ajaran
moral.
MENGUAP
Di situ diuraikan tentang hidup bersahabat di dunia, tentang
perdamaian dunia, tentang saling mengerti dan saling menghargai
antara segala bangsa di dunia, tentang toleransi tentang
tukar-menukar kebudayaan dan sebagainya. Umat manusia harus
belajar dari segala pengalaman pahit di masa lalu, kata semua
pejabat tinggi Indonesia kepada semua dutabesar asing.
Mudah-mudahan sikap dunia bisa mencair, sebab kita sangat butuh
itu rupiah yang kita dapat dari ekspor film Indonesia. Kita
sangat butuh mempropagandakan kebudayaan Indonesia di luar
negeri supaya jutaan turis asing masuk ke Indonesia dan
membelanjakan ratusan juta rupiah tentunya. Ensopor-ensopor
termasuk yang tidak berbau rupiah. Yang kita maui begini: dunia
menerima dan mengagumi dan mengimpor kebudayaan Indonesia, dan
kita menolak kebudayaan asing masuk Indonesia. Ini bisa disebut
suatu politik kebudayaan.
Saya ceritakan dongeng ini kepada kawan saya. Lantas kata kawan
saya sambil menguap: "Kita ini rupanya mau menangnya sendiri
saja . . . ".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini