Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UMUR bumi, kata fisikawan Stephen Hawking pada 2016, tinggal 100 tahun lagi. Dengan 73 tahun usia harapan hidup rata-rata manusia menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), waktu manusia tinggal di bumi cuma sekitar dua generasi lagi.
Sekiranya Hawking benar, apa yang mesti manusia persiapkan? Apakah manusia akan selamat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak ada bantahan serius terhadap perkiraan Hawking. Namun kesibukan menghadapi kemungkinan kiamat bumi ini hanya kelihatan di tempat dan oleh pihak tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang kaya, para miliuner negara maju, misalnya, mempersiapkan transportasi antariksa untuk berkelana mencari planet baru di luar bumi. Di pihak lain, para pemikir dan aktivis berpendapat: ketimbang berlomba-lomba kabur dari bumi, lebih baik bekerja mempertahankan kehidupan bumi dari kerusakan akibat pemanasan global, pandemi, dan populasi yang berlebihan. Adapun di negara-negara tempat tambang, kayu, dan pasir masih jadi andalan kemajuan, ramalan Hawking nyaris tak digubris.
Sebelum Hawking, kiamat secara implisit sudah dipostulatkan oleh banyak pemikir. Horkheimer dan Adorno jauh hari sebelum Hawking sudah memperingatkan bahwa di dalam progresivitas pencerahan, ada eskatologi yang mendekam. Modernitas melahirkan optimisme bahwa manusia mampu mengatasi nasib dan belenggu alam melalui sains dan teknologi. Namun sains dan teknologi kemudian menghasilkan manufactured risk, bencana non-alamiah seperti pemanasan global, overpopulasi, dan pandemi yang secara paradoksal justru akan mengakhiri kehidupan di planet ini.
Ahli kimia Inggris, James Lovelock, dan mikrobiologis Amerika, Lynn Marguliss, mengajukan Hipotesis Gaia—nama yang diambil dari Dewi Bumi Yunani Kuno. Teori Gaia menyatakan biogeokimia bumi adalah sistem kontrol aktif dan adaptif yang mengatur diri sendiri (self regulating) dan karena itu mampu menciptakan kondisi sempurna bagi kehidupan untuk dapat berkembang.
Sayangnya, menurut Lovelock, manusia telah sedemikian rupa merusak dan mendesak Gaia hingga ke batas akhir. Ia khawatir, jika tiba saatnya bumi mengatur ulang dirinya, manusia sudah terlambat untuk selamat. Kecuali manusia segera melakukan perubahan drastis.
Dalam wawancara dengan The Economist pada 2019, Lovelock mengajukan empat postulat: pertama, pemanasan global mungkin merupakan ancaman terbesar yang dihadapi manusia. Upaya untuk mengurangi emisi karbon, katanya, terlalu kecil untuk mengurangi jumlah CO2.
Ia berpikir teknologi pengontrol iklim yang disebut geoengineering, semacam kelambu surya, bisa menjadi jawaban. Kelambu surya bekerja mirip seperti abu vulkanis. Pada 1991, letusan gunung api di Filipina berdampak baik bagi planet bumi. Awan gas yang dihasilkannya mencapai stratosfer dan mendinginkan bumi sebanyak 0,5 derajat Celsius selama empat tahun.
Kedua, selain energi terbarukan, kita mesti menerima nuklir untuk menggantikan bahan bakar fosil. Ketiga, mengoptimalkan artificial intelligence atau kecerdasan buatan untuk menghemat banyak hal. Keempat, manusia hidup di kota yang dibangun vertikal dalam upaya mereservasi hutan dan lahan hijau.
Pada 2050, diperkirakan jutaan orang akan dipaksa bermigrasi karena perubahan iklim. Lovelock percaya lahan yang tidak dapat dihuni harus ditinggalkan sekarang. Manusia harus mundur ke kota, hidup dengan efisien dan aman serta dengan iklim yang terkendali.
Pada awalnya Hipotesis Gaia diremehkan. Belakangan, ia dipakai terutama oleh para pejuang lingkungan dan pakar filsafat.
Bruno Latour mengembangkan Hipotesis Gaia di lingkup ilmu sosial. Kata Latour, modernitas memilah dan memisahkan manusia/kultur dari alam. Antroposentrisme menempatkan manusia superior atas alam sekaligus mewariskan cara pandang keilmuan yang terbelah: sains untuk memahami alam dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia serta kebudayaan.
Ilmu-ilmu alam mengklaim diri lebih murni karena steril dari nilai-nilai, kebudayaan, dan politik. Sementara itu, ilmu sosial-humaniora mengklaim bisa lebih memahami “pengalaman dalam” manusia dibanding ilmu-ilmu alam.
Ilmu alam mengusir manusia sebagai aktor, ilmu sosial-humaniora seperti sosiologi dan politik tidak memposisikan virus, pohon, batu, dan gunung sebagai aktor yang secara setara menjalin relasi bersama aktor lain.
Latour mengambil kisah Pasteur, ilmuwan Prancis. Orang sering hanya mengagungkan Pasteur sebagai penemu antraks dan distilasi yang mengubah glukosa menjadi alkohol, tapi melupakan fakta bahwa perang juga ikut mendorong ditemukannya antraks dan teknologi fermentasi untuk mengawetkan makanan.
Dengan kata lain, bakteri dan ragi fermentasi tak kalah pentingnya dibanding Pasteur sendiri. Pelbagai aktor (manusia ataupun nonmanusia) terlibat dalam tiap revolusi sosial ataupun sains, dengan itu pemisahan antara ilmu sosial dan sains atau pendivisian antara manusia dan nonmanusia sudah tak relevan lagi.
Suatu saat malah kita harus berani memberikan tempat bagi “benda” dan makhluk hidup lain untuk mewakili dirinya di lembaga-lembaga politik kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gaia"