Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMOKRASI adalah sistem kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Untuk itu, kekuasaan harus diawasi dan dibatasi agar tidak dijalankan secara sewenang-wenang. Sebab, seperti kata sejarawan Inggris, Lord Acton (1833-1902), kekuasaan cenderung menyimpang dan kekuasaan yang bersifat absolut tanpa pengawasan dan pembatasan sudah pasti menyeleweng. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam negara demokrasi, pembatasan kekuasaan diatur dalam hukum tertinggi negara, yaitu konstitusi. Karena itu, konstitusi harus memastikan pengawasan dan pembatasan terhadap kekuasaan. Perkembangan demokrasi belakangan ini menciptakan sesuatu yang menakutkan, sebagaimana digambarkan dalam buku How Democracies Die (2018) yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, bahwa mimpi buruk proses demokrasi adalah lahirnya demagog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamus bahasa Indonesia mendefinisikan demagog sebagai pemimpin yang dipilih rakyat tapi kemudian menggunakan kekuasaannya untuk menghasut dan membangkitkan semangat rakyat guna memperoleh kekuasaan lebih demi kepentingan pribadi.
Tren berbahaya dalam kematian demokrasi adalah ancaman yang muncul dari pemimpin populis, mereka yang dipilih melalui sistem pemilihan umum yang demokratis. Pemimpin populis berkuasa melalui sistem demokrasi, tapi mereka tidak memiliki komitmen memperkuat demokrasi. Pemimpin populis membajak demokrasi dengan cara yang konstitusional sehingga publik tidak menyadari bahwa demagog telah tercipta dan rakyat merasa negara masih dalam kepemimpinan yang demokratis.
Kepemimpinan itu berbeda dengan kepemimpinan militer yang menggunakan kekuatan koersif untuk kepentingan kekuasaan dengan mengesampingkan segala perangkat dan proses demokrasi. Otokrasi atau kekuasaan absolut kepemimpinan militer mudah dikenali. Sedangkan otokrasi para demagog sulit terlihat sejak awal. Untuk mengenali penyimpangan kekuasaan demokratis ini, diperlukan kesadaran dini elite dan publik.
Munculnya kepemimpinan populis di Indonesia terlihat saat Joko Widodo menjadi presiden melalui Pemilihan Umum 2014. Naiknya pemimpin populis dipicu kebutuhan mendesak rakyat Indonesia akan “kerja nyata” yang diartikan sebagai tindakan. Tindakan ini mengantar pesan kepada publik bahwa aktornya adalah figur yang mampu mewujudkan gagasan sederhana secara nyata yang bisa langsung dirasakan oleh rakyat.
Presiden Jokowi pada saat itu dianggap sebagai antitesis Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dipandang publik memiliki kekurangan akan realisasi gagasan sederhana yang menjadi hasil kerja nyata. Jokowi berselancar menunggangi momentum gelombang hasrat publik tersebut dengan brilian, memenangi pemilihan secara telak dan mutlak.
Sepanjang periode pertama lima tahun masa kepemimpinannya, Jokowi melakukan apa yang masyarakat inginkan dari seorang presiden. Ia mengeksekusi gagasan sederhana dan membuahkan hasil nyata, yaitu pembangunan beragam infrastruktur di semua wilayah Indonesia. Pembangunan jalan tol lintas Jawa, jalan tol lintas Sumatera, jalan Trans Papua, kereta api Trans-Sulawesi, serta peningkatan dan perbaikan infrastruktur dan sistem pelayanan transportasi darat, laut, dan udara di seluruh Indonesia, khususnya di Ibu Kota Jakarta, adalah kerja-kerja nyata Presiden Jokowi yang mengukuhkan anggapan bahwa pilihan masyarakat kepadanya tepat.
Kerja nyata pembangunan fisik membutuhkan modal yang selama masa kepemimpinan Jokowi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ataupun sumber-sumber swasta baik dalam negeri maupun asing. Mempercepat eksekusi kerja nyata membutuhkan kebijakan khusus untuk mempermudahnya. Semua proses ini dengan mulus dijalankan di periode pertama kepemimpinannya.
Memasuki periode kedua, preferensi terhadap sumber modal di satu sisi dan rekayasa perangkat pemerintah dan negara untuk melancarkan eksekusi kerja di sisi lain menciptakan sebuah rezim dengan sistem kekuasaan struktural (structural power). Menurut sastrawan Kanada, Shadiya Aidid, “structural power refers to the ways in which power (such as authority, wealth, and other privileges) is arranged in order to influence the norms of society, institutions, and our interpersonal relationships”. Pengertian ini mewakili apa yang terjadi dengan kepemimpinan Jokowi. Lingkar pemilik modal tertentu mendapat keistimewaan atau kekhususan perlakuan. Sedangkan perangkat pemerintah dan negara direkayasa melalui seleksi kepemimpinan organisasi lembaga-lembaga tersebut untuk kepentingan kekuasaan.
Di masa akhir pemerintahan Jokowi, ada kepentingan besar bahwa “structural power” harus diamankan, dilanjutkan, dan dilestarikan. Pembajakan demokrasi melalui pembajakan lembaga-lembaga negara dan elemen-elemen demokrasi terjadi dengan menempatkan lembaga-lembaga penting dan vital berada di bawah kontrol penguasa. Pemilihan pemimpin semua lembaga pemerintahan, juga institusi penegak hukum, dilakukan melalui proses normal sistem demokrasi sehingga transisi suksesi kelembagaan terjustifikasi secara demokratis. Lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung, bahkan Mahkamah Konstitusi, turut menjadi target pengamanan otokrasi.
Gelagat dan hasrat rezim otokrasi makin jelas hari-hari ini. Pemilihan umum sebagai medium mengoreksi kepemimpinan nasional juga digunakan untuk melanjutkan kekuasaan absolut. Dalam sistem demokratis, ini pula kesempatan publik untuk menghentikan pembajakan demokrasi tersebut. Masyarakat harus berani dan jeli tidak memilih pemimpin yang melanggar hukum dan hak asasi manusia, yang telah mempermainkan Mahkamah Konstitusi, dan merusak serta membajak demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pembajakan Demokrasi dan Bahaya Rezim Otokrasi"