Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARTIKEL reportase The New York Times 3 November 2019 ditulis dengan judul mencolok, “'Chile Woke Up': Dictatorship’s Legacy of Inequality Triggers Mass Protests”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koran ini menulis demonstrasi dan keberhasilan rakyat Cile mengubah konstitusi yang tak adil. Protes yang tangguh itu pas dengan seruan lama warga kulit hitam Amerika untuk dirinya, woke! Lebih dari sekadar terjaga, woke—pelesetan dari kata awake—mengingatkan kita pada gerakan hak sipil kulit hitam melawan rasisme. Perjuangan mereka seperti tanpa akhir. Sejak era perbudakan di Amerika, bangkitnya Martin Luther King, sampai kini dalam Black Lives Matter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata woke menyimpan emosi yang panjang. Bukan amuk, melainkan desakan untuk tetap sadar. Penyanyi soul Erykah Badu mempopulerkannya, “I stay woke”. “Dalam juang dan gelutmu agar tetap sehat, aku terus terjaga/Di tiap bentuk dan tempat, ada hitam dan putih, aku terus terjaga”. Kita ingat seruan James Baldwin, “Di negeri ini, berkulit hitam dan sadar diri berarti gusar tanpa henti.”
Cile rusuh karena presidennya menaikkan harga tiket kereta api 30 peso (Rp 500). Sejak 18 Oktober 2019, mahasiswa dan masyarakat menolak. Chile woke up, seru mereka, “Bukan 30 peso, melainkan 30 tahun!” Protes yang terjadi menjadi tanda emosi yang terjaga selama 30 tahun. Mereka mengingat kudeta atas Allende, munculnya militerisme Pinochet, yang kini berlanjut dalam ekonomi neoliberal.
Gerakan sosial belakangan ini makin penuh emosi. Di Spanyol, mereka menamainya Los Indignados, “Kami warga biasa yang geram”—yang melihat sistem politik tak lagi menyelesaikan masalah keseharian sehingga, walau legal, tapi tidak legitim. Maka yang muncul adalah Indignez-vous! Time for Outrage! Politik tak mewakili rakyat kebanyakan, No Nos Representan!
Sejak Mei 2011, kelompok “muda tanpa masa depan”, Jóvenes sin Futuro, menggelar protes di Spanyol. Ini menjadi bagian dari gerakan Occupy global, yang marah terhadap pendudukan ekonomi oleh sebagian elite melalui sistem finansial yang canggih—yang diaku sebagai satu-satunya yang berlaku.
Gerakan sosial-politik yang makin bermuatan emosi ini dianggap sebagian kalangan sebagai kemunduran, tanda tidak ada lagi alternatif. Bahkan bisa melorot menjadi politik identitas, atas nama ras, atas nama kaum prekariat, atau atas nama perempuan yang dirundung, yang memakai logo #MeToo.
Adalah Martha Nussbaum yang melihatnya lebih kritis: emosi menyingkap dimensi penting kehidupan sosial. Mengapa masalah sosial masih berkutat pada kebencian terhadap kaum pendatang, atau menguatnya populisme di berbagai penjuru dunia, sampai pengusiran “mereka” yang dianggap tidak asli sebagai penduduk suatu bangsa seperti yang dialami etnis Rohingya?
Ada emosi yang bekerja di situ, yang tak cukup disingkap untuk bisa diatasi. Dalam bukunya, Political Emotions (2013), Nussbaum membahas pergulatan Immanuel Kant tentang bercokolnya “radical evil” dalam diri manusia, yang membuat manusia, walau tahu dan paham, tetap saja benci dan tidak punya hormat kepada sesamanya. Bagi Nussbaum, sebabnya bukan hal radikal apalagi metafisis, melainkan psikologis.
Manusia jijik akan tahinya, resah akan bau di lipatan-lipatan badannya, karena hal itu tanda-tanda bahwa ia mirip dengan binatang. Semua kotoran kita itu, pertama-tama, mencerminkan kebinatangan manusia dan, kedua, kelapukan dan mortalitasnya. Manusia yang jijik akan ekskresinya itu menunjukkan bahwa ia menolak kedua realitas itu. Binatang tidak jijik akan segala yang keluar dari dirinya, tapi manusia menajiskan kotoran-kotoran. Rasa jijik itu lantas diproyeksikan secara sosial. Merekalah kaum yang najis, dalit untouchable, gay menular! Kami murni, lebih putih, ras Arya yang unggul, umat terpilih! Jangan ikut makan semeja dengan mereka, agar tak tercemar!
Karena emosi selalu akan mewarnai kehidupan sosial, selain perlu memahami atau menyibak sisi gelapnya seperti proyeksi sosial rasa jijik tadi, bagi Nussbaum, kita perlu mengembangkan kekuatan emosi tersebut. Emosi muncul sebagai respons evaluatif atas peristiwa yang menerpa seseorang. Ia juga hasil pertimbangan kognitif. Tak ada emosi tanpa obyek penting dan baik yang menjadi perhatian seseorang. Maka selalu ada hal etis di setiap emosi.
Di Kompas TV pada 2 November 2023, Goenawan Mohamad menangis. Ia berharap tak terulang lagi kekerasan rasial, bentrok ideologis yang mematikan pada 1965, dan otoritarianisme politik Soeharto. Ia berharap suksesi berjalan demokratis. Tapi harapannya kini buyar.
Kesedihan, atau emosi yang muncul dalam gerakan sosial atau politik, adalah tanda bahwa ada yang tengah menerpa kita dengan kuat. Sedemikian kuatnya sehingga kita merasa rentan. “Tanah air itu nasib,” kata Goenawan dengan mata berkaca-kaca. Kesedihan juga muncul karena hal yang etis, yang jadi perhatian tapi yang diguncang dan dirundung. “Tapi tanah air adalah juga amanah,” Goenawan melanjutkan.
Maka, seperti seruan Erykah Badu, stay woke!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Woke!"