Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Solo, Jawa Tengah, satu kali dalam seminggu saya menyempatkan diri berlari laun di kompleks Stadion Manahan. Tak seperti kawan saya yang sanggup lima putaran, saya hanya mampu tiga putaran. Dalam pemilihan umum (pemilu), imajinasi “putaran” tak sebatas rutinitas lari. Kita diajak berpikir bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden dapat dilakukan dalam satu atau dua putaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata putaran sebetulnya janggal dalam perbincangan politik pemilu. Ada unsur paksaan di sana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mutakhir, kita mendapat tiga makna putaran, yakni gerakan berputar, pusingan, kitaran, atau kisaran; alat untuk memutar; dan sesuatu yang diputar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada putaran dalam pemilihan presiden, berarti tak mungkin juga ada pemilihan presiden satu putaran. Istilah yang lebih tepat sebenarnya adalah pemilihan kembali. Hal tersebut berdasarkan pada Undang-Undang Pemilihan Umum yang juga menyebutkan bahwa pemilihan kembali dilakukan bila pada pemilihan pertama tidak ada pasangan calon presiden-wakil presiden yang memenuhi syarat terpilih, yakni memperoleh 50 persen dari jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Mengapa bukan putaran? Bayangkan Anda sedang menyaksikan kompetisi balap MotoGP di Sirkuit Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Antara satu pembalap dan lainnya beradu kecepatan dalam sejumlah putaran lintasan. Istilah yang lebih populer adalah lap, yang juga berarti “putaran”. Konsep putaran pada kompetisi balap sepeda motor, sepeda, hingga mobil itu bertaut antara satu dan lainnya sebagai akumulasi jarak dan capaian waktu.
Pengertian putaran dalam lomba semacam itu tidak sesuai dengan proses pemungutan suara dalam pemilu. Pemilihan kembali dalam pemilu dilakukan terhadap dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak. Konsep eliminasi ini tidak terdapat dalam kompetisi balapan.
Dulu putaran menjadi kata yang menentukan pada abad XVI yang dimunculkan astronom Italia, Galileo Galilei. Dengan teropong yang dia kembangkan, Galileo membuktikan bahwa yang berputar itu bumi beserta planet lain terhadap matahari (heliosentris). Teori ini membantah keyakinan Gereja bahwa bumi-lah yang dikelilingi matahari dan benda langit lain di sekitarnya (geosentris).
Dalam Kamus Fisika (2007) susunan Liek Wilardjo dan Dad Murniah, kata putaran adalah padanan dari rotasi, yang diserap dari bahasa Inggris rotation. Kamus itu menerangkannya sebagai “gerak benda tegar yang satu atau semua titiknya terletak di suatu garis lurus dan dipertahankan tetap di tempatnya”.
Istilah putaran dalam pemilu selama ini adalah gejala berbahasa yang serampangan dan membuat kita pusing. Para politikus tampaknya tak ambil pusing, tapi pelan-pelan telah merusak bahasa Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Ada Pemilihan Presiden Satu Putaran"