Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, yang jatuh pada 10 Desember 2024, kita mungkin pantas berkaca pada Suciwati, istri (almarhum) Munir Said Thalib. Ia menyebutkan harapan soal penegakan HAM di negeri ini terasa kian menipis, tapi hal itu tak lantas membuatnya berhenti berbuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suciwati, dalam wawancara dengan Tempo, menyatakan situasi saat ini tidaklah baru. Perempuan 56 tahun itu mengungkapkan, bahkan pada 2001 Munir juga sudah menulis soal menipisnya harapan penegakan HAM di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu perbandingan dan rentang waktu yang menarik untuk dijadikan renungan. Munir, pejuang HAM yang konsisten dan vokal, terbunuh karena diracun pada 7 September 2004. Hingga kini pengusutan kasusnya belum tuntas. Komnas HAM telah membentuk tim ad hoc pada 2022, tapi penyelidikannya tak juga menemukan titik terang karena saksi yang akan diperiksa sering mangkir.
Kasus Munir hanyalah satu dari banyak tunggakan kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Sebanyak 12 pelanggaran HAM berat masa lalu sudah diakui Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023. Di dalamnya antara lain ada kasus pembunuhan massal 1965-1966, penembakan misterius (1982-1985), kerusuhan Mei 1998, Trisakti serta Semanggi I dan II (1998-1999), serta kasus penghilangan orang secara paksa (1997-1998).
Penyelesaian semua kasus itu belum jelas atau belum mampu memberikan keadilan bagi korban. Selama 10 tahun memimpin, Presiden Jokowi, yang lengser pada 20 Oktober 2024, gagal menuntaskannya. Kini perkara-perkara itu beralih ke Prabowo Subianto. Namun kehadiran penguasa baru sama sekali tak memberikan harapan baru. Mengingat masa lalunya, justru muncul keraguan besar bahwa penanganan yang lebih baik akan bisa dilakukan Prabowo.
Salah satu kasus pelanggaran HAM berat tersebut adalah penghilangan paksa sejumlah aktivis dan mahasiswa, yang melibatkan Komando Pasukan Khusus yang kala itu dipimpin Prabowo. Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada Agustus 1998 menyimpulkan bahwa Prabowo telah memerintahkan anggotanya menangkap dan menahan sembilan aktivis.
Dalam pidato inaugurasinya sebagai presiden, 20 Oktober 2024, Prabowo sama sekali tidak menyebutkan frasa “hak asasi manusia” atau menyampaikan komitmennya untuk menjaga HAM. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu juga tak masuk dokumen visi-misi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka atau dokumen Asta Cita.
Prabowo memang telah membuat langkah baru dalam penyusunan kabinetnya yang gemuk dengan membentuk Kementerian HAM, memisahkannya dari Kementerian Hukum. Namun langkah ini justru memicu lebih banyak kekhawatiran. Pengisian posisi wakil menteri dengan penunjukan Mugiyanto Sipin, aktivis mahasiswa 1998 yang juga merupakan korban penculikan, dinilai seperti upaya cuci tangan Prabowo atas peristiwa penghilangan paksa aktivis.
Dengan pemilihan wakil menteri itu, Prabowo seolah-olah ingin mengesankan bahwa kasusnya sudah selesai. Langkah itu dikhawatirkan akan disusul upaya lain dengan menjadikan kementerian tersebut sebagai alat membuat berbagai kebijakan untuk memutihkan kasus-kasus pelanggar HAM, termasuk dengan cara rekonsiliasi melalui kompensasi dan rehabilitasi.
Kondisi yang terjadi selama masa akhir kepemimpinan Jokowi, yang disusul naiknya Prabowo ke tampuk kekuasaan, membuat 2024 menjadi tahun muram dari aspek penegakan HAM. Berdasarkan kajian Setara Institute, Indeks HAM Indonesia 2024 menurun jika dibandingkan dengan Indeks 2023. Skor rata-rata untuk seluruh variabel pada Indeks HAM 2024 adalah 3,1 atau turun 0,1 dari tahun sebelumnya.
Dalam situasi tak menjanjikan harapan seperti ini, laku Suciwati pantas kita tengok. Ia terus gigih berbuat. Ia terlibat aktif dalam Aksi Kamisan, gerakan perjuangan keluarga korban pelanggaran HAM. Sejak 18 Januari 2007 hingga sekarang, mereka masih konsisten menggelar aksi di depan Istana Negara setiap Kamis. Bagi Suciwati, usaha untuk membangkitkan harapan perlu terus dilakukan, terutama untuk menyasar anak muda, yang akan menjadi penerus republik ini.
Dengan semangat serupa, Prabowo sebagai kepala negara semestinya bertanggung jawab untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memberi dia mandat untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Prabowo seharusnya menjalankan amanat undang-undang itu untuk memberikan keadilan kepada korban pelanggaran HAM.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme hukum harus diutamakan ketimbang lewat rekonsiliasi melalui kompensasi dan rehabilitasi. Tanggung jawab penyelesaian HAM bukan sebatas untuk korban. Negara juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsa sebagai bentuk jaminan supaya kasus serupa tidak berulang.
Selain menuntaskan kasus-kasus besar HAM masa lalu, pemerintahan Prabowo idealnya memiliki kemauan politik untuk memperkuat aspek kelembagaan. Perubahan undang-undang perlu dilakukan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada Komisi Nasional HAM agar keputusannya bisa mengikat terhadap pemerintah. Jangan sampai rekomendasi komisi itu hanya masuk laci, kemudian dilupakan, seperti yang sering terjadi selama ini.
Menilik rekam jejaknya, kurang realistis untuk terlalu menyandarkan harapan soal penyelesaian tunggakan kasus pelanggaran HAM kepada Prabowo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini merupakan editorial Tempo.