Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Para Raja

Pararaton adalah drama di mana raja-raja dibunuh. Kekuasaan tampak sekilas sebagai sebuah tempat, tapi ia sebenarnya anti-tempat.

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Tumapel dan Singasari kita mengenal kekuasaan dan raja-raja—hal-hal yang tak pernah ditakdirkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kisah lama yang menyebar di masyarakat Jawa—historiografi yang dirawat teater rakyat dari dusun ke dusun—kita bertemu dengan Ken Angrok. Dia, kata yang empunya cerita, seorang luar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata “luar” ini berlipat ganda. Ken Angrok tak jelas garis keturunannya, tak jelas asal tempatnya; ia disebut sebagai bayi yang diketemukan terbuang di sebuah makam. Ketika dewasa ia hidup di luar tatanan sosial: pembegal yang merampok di jalan. Ia kemudian jadi penguasa Tumapel dengan membunuh akuwu yang mempekerjakannya, Tunggul Ametung, dan menggantikannya.

Ken Angrok tak pernah jadi tertuduh dalam kasus itu. Yang dihukum seorang lain. Pararaton diperkirakan ditulis pada 1481, satu abad setelah peristiwa yang dikisahkan (dengan banyak imbuhan cerita ajaib) itu terjadi, dan siapa pun penggubahnya, ia tak kenal kerja investigasi. Pararaton, hikayat raja-raja, lebih bergerak di dalam bayang-bayang kekuasaan, bukan gugatan dan pertanyaan.

Jika ditelaah sekarang, kitab tipis ini pada dasarnya sebuah sejarah politik yang berpolitik; ia disusun dan dikukuhkan orang-orang yang sedang hendak memberi legitimasi sebuah kekuasaan pecundang.

Dari segi ini Pararaton sebuah teks “modern”.

Di dalamnya tebersit perspektif politik yang mungkin tak dilihat Benedict Anderson dalam The Idea of Power in Javanese Culture. Dalam Pararaton, ide tentang kekuasaan itu bisa dilihat bukan sesuatu yang eksotis “khas Jawa”: ia juga dikenal di abad ke-21. Pararaton menunjukkan kekuasaan tak berpusat di mana pun dan di siapa pun juga. Terkenal kata-kata Claude Lefort tentang zaman demokrasi: setelah Revolusi Prancis abad ke-18 ada “pengertian baru”, bahwa tempat kekuasaan adalah “tempat yang suwung”, lieu du pouvoir comme lieu vide.

Dengan kata lain, raja-raja tak pernah dilihat a priori sebagai penghuninya. Kekuasaan selalu diperebutkan, bukan takdir—dengan hasil yang serba mungkin.

Yang pasti kekuasaan bukan endemik pada diri seorang raja. Bukan juga pada Ken Angrok yang kemudian, pada 1222, bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi dan konon menurunkan penguasa-penguasa di Jawa sampai setelah masa Islam.

Pararaton—dan kemudian juga Babad Tanah Jawi berpuluh tahun setelahnya—adalah drama di mana raja-raja dibunuh dan digantikan dengan raja-raja lain yang kemudian juga dibunuh. Kekuasaan tampak sekilas sebagai sebuah tempat, tapi ia sebenarnya anti-tempat.

Maka para raja di Jawa duduk di mahligai dalam kecemasan politik. Kita lihat bagaimana sejarah Jawa, setidaknya semasa Islam, tiap kali tercabik-cabik “perang suksesi”—bentrok memperebutkan posisi pemegang kekuasaan.

Para penguasa pun mengatasi keadaan yang tak tenteram itu dengan simbol kekukuhan dan stabilitas—dengan gelar, misalnya. Mereka menjuluki diri “Amangkurat” (sang pemangku jagat), “Paku Buwono” (pasak benua-benua), “Hamengku Buwono” (sang pemangku buana), atau “Paku Alam”. Orang ingin dibikin percaya kepada kata sebagaimana orang kuno meyakini mantra, bahwa yang verbal punya daya membentuk realitas. Nama diyakini akan sanggup membuat X jadi Z. 

Mereka juga mencoba melanjutkan diri dengan dinasti. Dasarnya “trah”, garis keturunan—meskipun mudah diketahui bahwa fondasi genetik tak menjamin keberlanjutan. Dalam Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 yang ditulis M.C. Rickfels kita baca bagaimana Sultan diduga meracuni anaknya yang juga putra mahkotanya. Dalam Babad Tanah Jawi kita tahu ketegangan dan perbedaan politik antara Amangkurat I dan Amangkurat II.

Maka para raja pun membangun mithologi yang mempertautkan diri mereka dengan kekuatan supernatural yang langgeng: mereka hidupkan kepercayaan bahwa raja-raja Mataram—siapa pun, kapan pun—bertakhta seraya menikahi Nyai Roro Kidul, penguasa gaib Laut Selatan.

Saya punya cerita tambahan. Menurut saya, kekuasaan paling pas diperlihatkan Pararaton dalam wujud keris Empu Gandring.

Keris ini sebuah legenda dan simbol tersendiri. Ia diraut Empu Gandring yang sakti. Ken Angrok menggunakan keris itu sebelum rampung—untuk membunuh sang empu. Kemudian keris itu pula yang ditikamkan ke tubuh Tunggul Ametung. Pada gilirannya anak tiri Ken Angrok, Anusapati, juga menikam ayahnya dengan senjata itu. Menurut legenda ini pula putra Ken Angrok yang lain, Tohjaya, menghabisi nyawa Anusapati dengan senjata yang sama.

Kekuasaan tak pernah ada dalam bentuk sempurna. Ia justru tanda ada sesuatu yang kurang, tapi efektif karena melahirkan pelaku utama yang bisa berbeda-beda tapi berhasrat satu: mengatasi perasaan kurang itu.

Si pelaku bukan pemilik yang selesai. Ia mungkin ingin jadi locus tunggal kekuasaan—misalnya dengan membangun dinasti. Tapi kita sudah tahu dinasti sebuah ilusi. Pelajaran Pararaton: dari Tumapel dan Singasari kita mengenal kekuasaan dan raja-raja—hal-hal yang tak pernah ditakdirkan.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus