Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada banyak “buta” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tapi tak ada “buta tanaman”.
Menyoalkan “buta tanaman” dapat membantu bumi pulih.
KBBI dapat berperan karena bahasa membentuk persepsi dan relasi kita dengan alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA banyak “buta” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tapi tak ada “buta tanaman”. Tak ada juga “melek tanaman”. Menyoalkannya bisa membantu bumi pulih di masa perubahan iklim sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KBBI dapat berperan. Bahasa membentuk persepsi dan relasi kita dengan alam. Namun buta di KBBI menampakkan bahwa bahasa Indonesia masih agak buta akan alam.
Ada tiga buta di KBBI. Pertama, buta; 1. “Tidak dapat melihat karena rusak matanya, tunanetra”; 2. “Tidak tahu (mengerti) sedikit pun tentang sesuatu”. Ada sebelas buta kiasan: buta aksara, buta ayam, buta bahasa, buta hati, buta hukum, buta huruf, buta kayu, buta malam, buta politik, buta siang, buta warna. Kedua, buta yang berarti raksasa. Ketiga, tributa, yaitu “tiga buta (buta aksara, buta bahasa Indonesia, dan buta pendidikan dasar)”.
Buta-buta itu lebih banyak bertalian dengan kemampuan baca-tulis. Pertalian tributa dengan itu kuat. Tanpa pendidikan dasar dan tanpa kemampuan berbahasa Indonesia, hanya orang istimewa yang dapat membaca dan menulis teks berbahasa Indonesia. Buta kayu pun buta huruf.
Huruf, aksara, harus diakui, penting. Perannya besar dalam pengadaban, apalagi setelah penyangga terkuatnya, buku, dibuat pertama kali di Mesopotamia, sekitar 5.300 tahun lalu. Jorge Luis Borges menulis: dari berbagai instrumen manusia, tak pelak lagi yang paling mencengangkan adalah buku. Yang lain perpanjangan ragamu. Mikroskop dan teleskop perpanjangan penglihatan; telepon perpanjangan suara; lalu kita punya bajak dan pedang, perpanjangan lengan. Namun buku berbeda: buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi.
Dengan ingatan dan imajinasi yang memanjang karena tulisan, bahasa-bahasa, ilmu pengetahuan, dan teknologi terus berkembang. Manusia kian dapat memungkinkan masa lalu menjadi suar masa kini dan sekaligus pemungkin manusia merencanakan masa depan.
Maka haruslah buta aksara dimusnahkan dan melek aksara ditumbuhkan. Namun Jared Diamond menulis, penemuan aksara dimulai dengan domestikasi tanaman. Domestikasi ini melahirkan pertanian dan mengakhiri budaya nomaden. Makanan sehat bertambah. Populasi berlipat. Lahan pertanian meluas. Pembagian kerja dibuat. Surplus setiap panen meningkat. Pencatatan menjadi dibutuhkan. Dari situlah lahir tulisan.
Memang mulanya dan puluhan abad sesudahnya, orang menulis di tablet, cangkang kerang, daun lontar, dan lain-lain. Namun, sejak pertama kali kertas dibuat di Cina dan di Sumeria, sampai hari ini budaya tulis identik dengan kertas.
Bahan kertas, apa pun jenisnya, dari tanaman. John Hermanson, seorang peneliti di Fakultas Ilmu Lingkungan dan Hutan University of Washington, Amerika Serikat, mengatakan, “Satu buku catatan bisa dibuat dari kayu dari delapan negara di tiga benua—sampul keras, pagina depan, dan pagina dalam semuanya bisa berbeda.” (National Geographic, 10 Maret 2022)
Kecuali itu, Karen Armstrong mengungkap, agama-agama, terlebih agama-agama kuno, menanamkan bahwa semua tanaman berjiwa. Ahli ekologi juga kian bertambah yang membuktikan bahwa semua tanaman bisa mengingat, berpikir, berkomunikasi, dan saling memberi. Manusia selalu menerima pemberian mereka.
Mereka memberi oksigen, makanan, dan air yang kita butuhkan serta obat-obatan baik yang langsung maupun yang lebih dulu diolah. Mereka memungkinkan dibangunnya rumah, rumah sakit, rumah ibadah, sekolah, kantor, stasiun, dan bangunan lain. Mereka menjadi kursi, meja, lemari, tudung saji, dipan, kapstok, dan sebagainya.
Mereka juga teknologi yang kian relevan. Mereka menyerap dan menyimpan karbon dioksida, sang penyebab pemanasan global, yang membuat bumi kian sakit, dan membuat umat manusia kian terkepung berbagai bencana. Galiblah jika Bujang Tan Domang, tambo orang Petalangan, Riau, tidak hanya menganggap hutan sebagai sumber makanan, nafkah, dan apotek terbuka, tapi juga sumber hukum dan tunjuk ajar.
Itulah, tutur Amitav Ghosh, yang dilupakan minoritas orang Eropa ketika datang ke wilayah-wilayah yang kemudian dijadikan jajahan mereka di Asia, Australia, Afrika, dan Amerika. Sama seperti orang-orang dan hewan-hewan di wilayah-wilayah tersebut, sekalian tanaman dipandang mereka sebagai sumber daya ekonomi-politik belaka. Inilah, dan berbagai organisasi sosial-politik-ekonomi yang terbentuk dengan tulang punggungnya, yang hingga kini terus beroperasi, yang merupakan pemungkin utama pemanasan global.
Mahabencana yang melahirkan kenaikan suhu, gelombang panas, kekeringan, kebakaran hutan, mencairnya gletser, pengasaman, naiknya permukaan laut, banjir, dan sebagainya itu terjadi bukan di sana dan kelak, tapi di sini dan kini. Dan ini semua, Ghosh menegaskan, dimulai oleh komodifikasi pala kepulauan Banda oleh penjajah Belanda.
Apa yang ditegaskan Ghosh memang masih kontroversial. Namun kita tak mesti memperdebatkan perlu-tidaknya melek tanaman. Kita ingat pepatah, “Tak kenal, maka tak sayang.” Bahkan bagi anak tujuh tahun jelas pesannya. Jika kita kenal tanaman, sayang akan mereka bertumbuh, mereka akan tumbuh bersama kita menempuh salah satu jalan menuju pemulihan bumi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo