DI Swedia, hampir semua orang mengenalnya dengan sebutan
ringkas, P.G. Tak mengherankan: Pehr Gylenhammar, seperti pernah
ditulis orang, punya segalanya.
Dia pandai memainkan gitar. Dia olahragawan layar tingkat dunia.
Dia penulis tiga buku tentang masyarakat, industri dan masa
depan. Dia punya sekelompok teman dekat intelektual yang
menarik. Istrinya -- seorang pekerja sosial --cantik bagaikan
tokoh dalam film Ingemar Bergman. Dan dalam umurnya yang 47, dia
masih nampak muda, dengan blazer biru dan celana jean yang
dikenakannya di akhir pekan.
Tapi lebih dari semua itu: Gyllenhammar alias P.G. adalah
pemimpin sebuah perusahaan dengan 65.000 buruh -- bernama Volvo.
Suatu hari, dia menyuruh sejumlah insinyur untuk berkonsultasi
dengan para buruh dan juga ahli ilmu jiwa. Tujuannya, seperti
dituliskan Gyllenhammar sendiri, ialah mendisain tempat kerja,
yang "memungkinkan tiap buruh, ketika melihat sebuah Volvo biru
meluncur di jalan, berkata pada dirinya sendiri, 'Aku yang
membuat mobil itu'."
Dengan kata lain, P.G. ingin membebaskan para pekerja agar tak
digerogoti rasa terasing dari proses kerjanya, dan bergerak
tanpa harga diri seperti Charlie Chaplin dalam film Time
Machine. Dibangun di Kalmar, eksperimen Volvo pun termasyhur ke
seluruh dunia.
Dalam hanyak hal, "revolusi" P.G. berhasil Pabrik di Kalmar itu
20% lebih produktif ketimbang pabrik Volvo lain yang
konvensional, seperti yang terdapat di Torslanda. Dan seperti
dinyatakan P.G. sendiri, alasannya memang ekonomis. Dia memang
bersimpati kepada ide untuk mengubah kerja menjadi sesuatu yang
merangsang perkembangan manusia, suatu ide sosialis, tapi dia
punya juga argumentasi "kapitalistis". Di Swedia, Volvo harus
bersaing untuk memperoleh buruh yang jumlahnya terbatas. Padahal
tenaga kerja punya pendidikan yang kian tinggi, dan mereka kian
enggan mengerjakan pekerjaan yang monoton.
Akhirnya, Gyllenhammar memperoleh kedua-duanya: kemajuan baru
Volvo dan kemasyhuran sebagai pemimpin yang mau ambil risiko
untuk perbaikan buruhnya. Karena itulah Michael Maccoby datang
kepadanya dan menokohkannya dalam bukunya yang baru, The Leader.
Kita tahu bukunya yang terdahulu, The Gamesman, jadi bahan
bacaan para manajer dan eksekutif di seluruh dunia.
Apa yang dikemukakan The Leader, yang terbit di tahun 1981,
memang tak sesegar seperti yang dikemukakan The Gamesman yang
terbit lima tahun sebelumnya. Namun cara Maccoby, seorang
psikiater, menyajikan tokohnya memang memikat: ada detail dan
wawasan mendalam, ada sikap simpati. bahkan kekaguman. Tapi juga
tetap kritis.
Dia misalnya bukannya tak melihat kekurangan dalam sistem di
Kalmar. Di tahun 1974 ia menemukan bahwa buruh-buruh di sana
nampak pasif. Dalam tim, mereka nyaris membisu satu sama lain.
Demokrasi yang konon diperkenalkan rupanya cuma terbatas pada
masuknya wakil buruh dalam dewan direksi. Di tingkat bawah
pabrik, partisipasi para pekerja tak cukup diundang. Waktu itu,
Volvo agaknya belum meniru apa yang dilakukan di Jepang.
Tapi di tahun 1979 Kalmar telah memperbaiki diri. Contoh yang
ada di sana bahkan ditiru oleh pabrik-pabrik lain, terutama di
daerah pedesaan Swedia. Di Vara, misalnya, sebuah pabrik mesin
samodra bahkan membiarkan buruhnya menentukan, misalnya,
bagaimana mengatur disiplin kerja: perlukah seorang mandor?
Hasilnya: produksi di Vara terus meningkat. Demokrasi, ternyata,
tak selamanya merepotkan.
DALAM hubungan inilah Maccoby agaknya berbicara tentang satu
ciri dari para pemimpin yang ia tampil dalam The Leader. Yakni,
mereka merasa cukup aman untuk mengundang kritik. Mereka tak
takut mempertahankan suatu sikap yang tak populer. Mereka tak
cepat curiga, dan berprasangka, karena yakin akan perkembangan
manusia. Sebab, tulis Maccoby, "tiap pemimpin yang digambarkan
dalam buku ini, berjuang melawan cacat dalam wataknya sendiri."
Suatu prestasi yang mengagumkan. Bukankah Henry Kissinger pernah
mengatakan bahwa "suatu jangka waktu berada di kedudukan tinggi
akan memakan modal intelektual kita, dan bukannya menciptakan
modal itu"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini