HAMPIR dua tahun sudah kapal Tampomas II tenggelam di dasar laut
bersama lebih 600 penumpangnya. Tapi perkaranya nampaknya masih
di permukaan. Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat 17 Juli lalu
melimpahkan berkas perkara "penyelewengan jual-beli "Tampomas
II" pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Jaksa Agung Ismail Saleh dua pekan lalu, ada empat
berkas perkara menyangkut empat tertuduh yang diserahkan
Direktur Utama PT PANN Nuzwari Chatab, Direktur Pembelian PT
PANN J. Mandagi, Direktur Utama Komodo Marine Santoso Sumarli
alias Lie Kian Liong, dan Kepala Perwakilan Komodo Marine di
Jakarta Gregorius Hendra.
Dalam jual-beli Tampomas II itu, PT PANN (Pengembangan Armada
Niaga Nasional) adalah yang membeli, sedang Komodo Marine yang
menjual.
Menurut Ismail Saleh, sejauh ini baru empat orang tersebut yang
dianggap cukup kuat untuk diajukan ke pengadilan. "Tapi bukan
mustahil nanti ada orang lain yang disidangkan lagi," ujarnya.
Menurut rencana, 26 orang termasuk Sekretaris Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut J.E. Habibie akan diajukan sebagai
saksi dalam perkara tersebut.
Ada tiga segi yang diteliti menyangkut tenggelamnya Tampomas II.
Penyebab tenggelamnya kapal ini ditangani oleh Mahkamah
Pelayaran yang Juni 1981 telah menjatuhkan keputusannya. Yang
bertalian dengan keuangan diperiksa oleh Badan Pemeriksaan
Keuangan dan hasilnya sudah diserahkan kepada kejaksaan, sedang
aspek yuridis diusut oleh Kejaksaan Agung.
Lika-liku pembelian Tampomas II selama ini memang belum jelas
benar. Kapal berbobot 2.500 ton ini Mei 1971 selesai dibangun
oleh perusahaan Mitsubishi Heavy Industries di Shimonoseki,
Jepang. Kapal ini kemudian dibeli oleh Arimura Sangyo, Okinawa,
yang menggunakannya sebagai car-ferry (feri pengangkut mobil)
dengan nama Central VI.
Dengan nama Emerald, kapal berukuran panjang 128,595 dan lebar
22 meter ini kemudian dijual pada Hayashi Marine, suatu
perusahaan broker Jepang, yang kemudian mengoperkannya pada
Komodo Marine. Tanggal 2 3 Februari 1980, ditanda tangani
Memorandum of Agreement pembelian kapal tersebut seharga US$ 8,3
juta antara PT PANN dan Komodo Marine.
Pengusutan Tim Peneliti Kasus Tampomas II Kejaksaan Agung
mengungkapkan, tatkala diserahkan ternyata kapal ini tidak
sesuai dengan perjanjian. Misalnya: kapal seharusnya dikelaskan
NK dengan notasi Passenger & Car Ferry. Selain itu banyak
kekurangan lain. Misalnya tak dipasang pesawat TV dan SSB. Juga
life jacket l:ak diganti dan alat pemadam kebakaran portable tak
disertakan.
PT PANN juga dianggap tidak mengindahkan beberapa persyaratan
yang telah ditentukan Dirjen Perla: sebelum diserahkan kapal
harus diperiksa lebih dahulu oleh Inspektur Pemerintah RI. Namun
ternyata kapal telah diserahkan sebelum Inspektur Pemerintah
selesai melakukan pemeriksaan. Kondisi teknis kapal juga tidak
sesuai dengan data. Terdapat sekitar 25 kekurangan, misalnya:
tangga monyet untuk sekoci penolong, alat apung dengan kapasitas
200 orang, pemadam api tipe Froth belum pernah dicoba dan kamar
penumpang belum dilengkapi fire detector.
Walau terdapat bermacam kekurangan tersebut, PT PANN ternyata
tidak membatalkan pembelian kapal. Perusahaan itu malah
menandatangani Protocol of Delivery (berita acara penyerahan)
pada 21 Mei 1980. Di sana antara lain disebutkan bahwa kapal
diserahkan "dalam keadaan baik, sesuai dengan persyaratan
memorandum pembelian tertanggal 23 Februari".
Pembelian Great Emerald itu dibiayai pemerintah. Dana diperoleh
dari pinjaman Bank Dunia US$ 5,8 juta, serta hibah pemerintah
Norwegia US$ 2,5 juta. Berdasar ini Nuzwari Chatab dan J.
Mandagi -- yang menandatangani berita acara penyerahan --
dituduh telah merugikan keuangan negara. Mereka dituduh menerima
penyerahan kapal yang tidak sesuai dengan perjanjian jual beli.
UNTUK notasi lclas NK Passenger & Vehicle Ferry Komodo Marine
telah menerima US$350.000. Namun ternyata perusahaan ini hanya
meminta notasi kelas NK Vehicle Ferry yang hanya memakan biaya
US$ 150.000. Selain itu PT Pelni harus mengeluarkan hampir Rp 8
juta untuk melengkapi perlengkapan yang seharusnya menjadi
tanggung jawab Komodo Marine.
Berdasar hal-hal tersebut keempat terdakwa dituduh secara
primer: memperkaya diri atau korupsi dan pemalsuan. Mereka
dituntut berdasar UU No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi
yang diancam dengan hukuman maksimal seumur hidup.
Persidangan Nuzwari Chatab akan dimulai 9 Agustus. Majelis hakim
akan diketuai Soedijono, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.Pembela Nuzwari adalah Azwari Karim. Sedang George Hendra
akan diadili mulai Rabu 11 Agustus dengan Hakim Ketua Kustrini.
Ia akan dibela oleh pembela kawakan yang juga Ketua Peradin
Harjono Tjitrosubono, yang sekaligus akan membela Santoso
Sumarli pula.
Banyak yang menunggu hasil persidangan ini. Musibah Tampomas II
adalah kecelakaan laut terbesar di Indonesia selama ini. Bahwa
Kejaksaan Agung merasa yakin melakukan penuntutan, merupakan
peristiwa menarik. Sebab Menteri Rusmin Nuryadin sendiri dalam
penjelasannya di DPR tahun lalu menegaskan: tidak ada manipulasi
dalam pembelian Tampomas II.
Mungkin karena itu para tertuduh tampaknya siap menghadapi
sidang pengadilan. Nuzwari Chatab dan Mandagi sehari-hari terus
bertugas di kantol PT PANN yang terletak di Gedung Granada. Dan
di rumahnya di Menteng Dalam, Jakarta, George Hendra tampak
tenang. Walau kelihatan tambah kurus, pria kelahiran Ternate,
berusia 39 tahun ini tampak segar. "Saya yakin saya tidak
bersalah. Yang dapat saya lakukan kini hanya berdoa," katanya.
Sekretaris Ditjen Perla J.E. Habibie, yang pernah
didesas-desuskan akan dituntut, tapi kali ini ternyata jadi
saksi, mengomentari sidang ini dengan bahasa ibarat: "Batu dadu
sudah kita lemparkan. Marilah kita tunggu dalam kabar."
Kabar yang baru barulah tentang nasib Direktur Utama PT Pelni,
Husseyn Umar. Ia kabarnya akan diganti dari jabatannya pekan
ini. Penggantinya adalah Moh. Hasjim Harunsjah yang kini
menjabat Direktur Keagenan dan Terminal PT Djakarta Lloyd.
Penggantian menjelang sidang ini disesalkan anggota DPR dari
F-KP Sugiharso. Sebab, katanya, itu berarti Husseyn Umar akan
jadi saksi tidak lagi dalam posisi Dir-Ut. "Padahal negosiasi
pembelian Tampomas II dan tenggelamnya kapal itu terjadi tatkala
ia menjadi Dir-Ut Pelni, sehingga dia bertanggungjawab secara
operasional," kata Sugiharso. Itu tak berarti, hanya dia yang
bertanggungjawab atas seluruh tragedi bulan Januari 1981 itu.
Siapa tahu peradilannya nanti akan mengungkapkan banyak hal yang
memperjelas perkara. Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini