Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBITNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan sedimen di laut menyentak banyak pihak, terutama mereka yang bergelut dalam isu keberlanjutan sumber daya pesisir dan laut. Aturan ini bak dinamit yang merontokkan harapan serta pertahanan usaha-usaha menjaga keberlanjutan pengelolaan laut yang dicoba ditegakkan dalam 20 tahun terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sentakan itu makin kuat mengingat regulasi tersebut sonder dukungan data ilmiah. Tak ada informasi tentang sebaran data sedimen, potensi luas, deposit, jenis komposisi, dan karakteristiknya dalam kajian ilmiah yang menjadi dasar aturan ini. Juga bentuk-bentuk aktivitas pemanfaatan sumber daya sedimen laut yang perlu mendapatkan penjelasan, baik untuk reklamasi, rehabilitasi, maupun pemenuhan kebutuhan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data teknis lain adalah sumber daya di area potensi sedimen, seperti ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang, kawasan penangkapan ikan dan sosial-ekonomi masyarakat sekitar lain. Selama ini belum ada data nasional tentang luas padang lamun yang acap disebut sebagai penyimpan karbon biru yang besar. Dalam telaah yang lebih dalam, penting bagi kita mengupas beberapa hal penting tentang isi PP Nomor 26 Tahun 2023 ini.
Pertama, PP Nomor 26 Tahun 2023 absen dalam mempertimbangkan tujuan pembangunan perikanan. Setidaknya ada tujuan pembangunan perikanan dan kelautan, di antaranya soal kesejahteraan nelayan, perluasan pekerjaan, keberlanjutan serta pendapatan negara, dan daya saing bangsa. PP Nomor 26 Tahun 2023 tak mencantumkan tujuan pembangunan ini secara berimbang dengan tujuan tertentu lain. Peraturan ini juga tak menyitir pembangunan sebuah sistem yang bisa memastikan semua itu tercapai secara merata. Peraturan ini bahkan absen dalam menempatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai wasit dalam investasi sektor kelautan, terutama pemanfaatan pasir laut.
Kedua, titik lemah PP Nomor 26 Tahun 2023 ada pada peran menteri yang menjadi representasi presiden dalam urusan perizinan penambangan pasir laut. Peran menteri dalam memberikan izin dalam PP ini menempatkannya setara dengan investor. Posisinya rawan jika terjadi “dispute” dalam investasi. Menteri akan duduk sebagai pesakitan di pengadilan.
Seharusnya PP ini pertama-tama membentuk dulu lembaga investasi semacam badan investasi kelautan. Tanpa lembaga ini, menteri akan berhadapan langsung dengan investor. Sebagai wasit, semestinya representasi negara lebih tinggi dibanding pengusaha.
Ketiga, Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya menjaga sinergi kebijakan pemanfaatan sumber daya laut dengan kebijakan lain. Awal 2023, pemerintah sudah menunjukkan keseriusan dalam pembangunan ekonomi biru (blue economy). Prinsip dasar ekonomi biru adalah mendorong setiap kegiatan usaha ekonomi kelautan dan perikanan secara berkelanjutan dengan memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan bagi semua pihak.
PP Nomor 26 Tahun 2023 tak memakai pendekatan keberlanjutan dalam ekonomi biru. PP ini hanya mengatur pemanfaatan sehingga kesejahteraan akan sulit terdistribusikan sampai masyarakat secara langsung. Efeknya, manfaat dan rasa keadilan sosial sulit tercipta. Aktivitas kapal tidak hanya akan mengisap lumpur, tapi juga mendorong terisapnya biota dasar dan ekosistem yang hidup di dasar perairan sehingga penambangan pasir akan melepaskan karbon yang menjadi penyebab krisis iklim.
Karena itu, keempat, PP Nomor 26 Tahun 2023 menjadi kontradiktif dengan usaha menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31 persen di sektor kelautan yang tertuang dalam nationally determined contribution 2030. Penambangan pasir akan merusak padang lamun, mendekomposisi fitoplankton, serta menghancurkan fungsi lamun sebagai perangkap sedimen dan karbon.
Kelima, problem sosial dan ekonomi dari eksploitasi pasir laut. Studi Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University (2003) menunjukkan biaya pemulihan lingkungan kerusakan laut sebesar 5 persen tiap 1 persen pendapatan eksploitasi pasir laut. Soalnya, bukan hanya ekosistem laut, hilang pula lokasi penangkapan ikan serta terjadi perubahan pola arus, struktur sedimen, dan abrasi dari akresi. Persoalan sosial akan mencuat akibat operasi pembersihan sedimen dan pasir laut wilayah perairan kita.
Kita harus melihat apa yang terjadi di Serang, Banten. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus hak pemanfaatan dan pengelolaan pesisir berupa konsesi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada 2004 membuat nelayan Lontar kembali bersemangat. Penghapusan konsesi laut ini membuat nelayan bisa kembali mendapatkan ruang hidup mereka. Dengan hadirnya PP Nomor 26 Tahun 2023, para nelayan akan kembali kehilangan mata pencarian karena lingkungan laut akan rusak oleh perahu-perahu isap pasir laut.
Kajian PKSPL IPB dan Dinas Lingkungan Hidup Banten menunjukkan indikasi kekeruhan laut meningkat tiga kali lipat di lokasi sekitar pengerukan pasir laut dibanding wilayah lain yang tak dikeruk. Kondisi oseanografi di sekitar area penambangan pasir juga menghasilkan pola arus campuran dominan harian tunggal. Artinya, periode pasang surut 25 jam dan aliran massa air yang bergerak ke satu arah sekitar 12 jam 30 menit. Dengan begitu, jarak tempuh aliran massa air di wilayah penambangan pasir ini diperkirakan 11,25-24,75 kilometer.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kawasan lindung di perairan Teluk Banten harus jauh dari aktivitas manusia dalam radius 11,25-24,75 kilometer dari tepi kawasan tersebut. Artinya, selain berisiko terhadap daerah sensitif secara ekologis, penambangan pasir laut berisiko terhadap dasar perairan karena menimbulkan cekungan.
Cekungan tersebut secara alami akan diisi oleh material pasir dari tempat lain. Secara berkesinambungan, material pengisi akan datang dari pantai sebagai abrasi. Abrasi akibat penambangan pasir ini akan menambah kedalaman laut. Bertambahnya kedalaman perairan akan mendorong energi gelombang yang mencapai pantai bertambah besar sehingga menggerus material pantai hingga terjadi abrasi. Kejadian seperti ini terlihat di sekitar pantai Sepatan, Kosambi, Teluk Naga, Cikupa, dan Cisauk. Itulah kenapa penambangan pasir laut berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Penambangan pasir laut juga mengganggu secara permanen habitat perairan. Penambangan pasir dengan teknik penyedotan (suction dredge) atau isap adalah mengambil sedimen di dasar perairan yang menjadi habitat ikan, moluska, udang, dan kepiting. Jika pasir diisap, nelayan akan kehilangan daerah tangkapan. Studi PKSPL pada 2004 menunjukkan jumlah tangkapan nelayan di lokasi penambangan pasir menurun dari 45-75 kilogram per trip per kapal menjadi 5 kilogram per trip per kapal.
Untuk mencegah dampak buruk implementasi PP Nomor 26 Tahun 2023 perlu upaya penegakan hukum preventif dengan melindungi daerah penangkapan nelayan dari perusakan dan pencemaran berlebih akibat penambangan pasir laut. Tanpa usaha pencegahan, daya rusak PP itu terlihat nyata karena ada pengalaman di masa lalu akibat penambangan pasir laut yang tak ramah lingkungan dan berkelanjutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo