Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONTROVERSI Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut menuai kontroversi karena tanpa kajian ilmiah yang mendalam. Aturan ini membuka kembali keran ekspor pasir laut yang ditutup sejak 2003. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan aturan itu akan mendorong potensi keuntungan yang besar bagi negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada jurnalis Tempo, Fery Firmansyah, Erwan Hermawan, dan Yogi Eka Sahputra, Menteri Trenggono memaparkan sejumlah alasan ia menerbitkan regulasi ini. Dalam wawancara di Hotel AP Premier Batam, Kepulauan Riau, ia didampingi Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan Inspektur Jenderal Victor Gustaf Manoppo, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Laksamana Muda Adin Nurawaluddin, serta Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik Wahyu Muryadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa latar belakang penerbitan PP tentang sedimen laut ini?
Sejak menjadi menteri, saya menandatangani banyak proposal mengenai reklamasi. Reklamasi ini kan marak di mana-mana. Kami lihat yang menjadi bahan atau material reklamasi itu pasir laut. Saya berpendapat, pemakaian material reklamasi dari pasir laut akan merusak lingkungan. Karena itu, saya stop (penambangan pasir) di Pulau Rupat (Riau). Pulau di situ habis, ada beting karang yang hilang. Lalu dari mana sumber material reklamasi jika pasir tidak boleh lagi? Ada yang namanya pulau timbul. Ini sedimen akibat peristiwa oseanografi seperti arus laut. Itu saja yang dipakai.
Bukankah jika sedimen laut dikeruk, pasir juga terkeruk?
Kalau pasir laut diizinkan, yang di pantai bisa habis. Sedimen ini timbunan. Kalau memang untuk kepentingan dalam negeri, kenapa dilarang? Karena itu juga bisa bermanfaat untuk kepentingan bangsa. Kebutuhan material untuk reklamasi tidak kurang dari 20 miliar kubik di dalam negeri.
Benarkah untuk menghindari kontroversi nama aturan ini diubah dari pemanfaatan pasir laut menjadi pengelolaan hasil sedimentasi laut?
Itu yang saya koreksi. Yang benar adalah sedimentasi. Kalau pemanfaatan pasir laut, berbahaya. Berarti yang ada di pinggir pantai boleh dikeruk juga. Jika itu terjadi, ekosistem akan terganggu. Jangan curiga dan tendensius. Basisnya adalah sains dan asas manfaat untuk kepentingan negara. Saya berani pasang badan. Kalau misalnya sedimen mencukupi 20 miliar kubik dan dipungut Rp 500 ribu per kubik, negara bisa dapat Rp 1.000 triliun. Ini misalnya saja. Kami juga belum tahu nilainya sebesar apa.
Jadi belum dihitung?
Kami sedang mengatur ocean accounting. Nanti kami cek semacam balance sheet. Kalau pemanfaatan sedimen ini merusak lingkungan, berapa besar merusaknya? Kalau kerusakan lingkungan lebih tinggi dibanding manfaatnya, tentu tidak bisa dilakukan.
Berapa lama penghitungannya?
Kasih waktu para ilmuwan mengkaji. Kalaupun, misalnya, perlu satu tahun, ya tidak apa-apa. Yang penting tim kajian ini harus benar. Ini bukan masalah seseorang dapat alokasi atau apa. Tentukan dulu saja benar atau salahnya.
Mengapa aturan ini terbit sebelum ada kajian?
Justru peraturan pemerintah mengatur pembentukan tim kajian. Baca aturannya. Bagaimana kami membentuk tim kajian kalau tidak ada aturannya? Sedimentasi ini harus ditentukan oleh tim kajian. Mereka bisa terdiri atas ahli lingkungan atau pihak lain. Hal teknis tim kajian ini akan diatur melalui peraturan menteri.
Seperti apa aturan turunannya?
Kami harus melibatkan banyak pihak. Ada Kementerian Keuangan yang menetapkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga dilibatkan agar jika ada sedimen yang mengandung mineral berharga bisa dikecualikan. Tim kajian ini akan menentukan barang yang bisa digunakan untuk reklamasi. Ketika pakar mengatakan ini adalah pasir dan lumpur tanpa ada yang berharga, oke, pindahkan. Demikian pula jika sedimen ini menutupi terumbu karang atau jalur pelayaran. Tim kajian ini harus betul.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama (kiri ke kanan) Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Hubungan Luar Negeri Edy Putra Irawady, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Victor Gustaaf Manoppo dan Staf Khusus Bidang Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Publik Wahyu Muryadi memberikan keterangan kepada wartawan terkait Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 31 Mei 2023. Tempo/Tony Hartawan
Benarkah ada penolakan dari kementerian lain karena Anda dianggap mau mengatur semua….
Saya tidak pernah berpikir begitu. Saya hanya berpikir ada sedimen yang menutupi terumbu karang dan mengganggu ekosistem. Itu saja. Kalau ada orang mau menambang dan setelah kami cek ada gangguan lingkungan, saya tidak setuju. Akan saya larang.
Kami mendapat dokumen, ada lima perusahaan dredging yang sudah diundang dalam pembahasan aturan ini....
Berdasarkan pengetahuan, yang bisa ambil sedimen adalah yang punya alat ramah lingkungan. Ini nanti diturunkan dalam peraturan menteri. Ia tidak bisa sembarangan mengeruk, harus sedemikian rupa. Yang punya teknologi itu di dunia ada berapa? Selain perusahaan-perusahaan itu, siapa? Kami juga terima masukan. Kami tidak ada vested interest. Tidak ada tendensi. Kami hanya katakan, di seluruh dunia, dredger terbaik itu siapa. Saya mau ambil sedimen. Siapa yang ada pengalaman? Alatnya seperti apa?
Mengapa keputusan menteri tentang harga patokan pasir laut terbit sebelum PP ini ada?
Itu aturan lama, nanti direvisi. Begitu PP ini terbit, semua akan diubah. Saya maunya lebih mahal. Toh, semua untuk negara. Tentu saja ini tergantung Menteri Keuangan.
Berapa kira-kira PNBP dari pengelolaan sedimen laut ini?
Perkiraan kami saja, kebutuhan reklamasi dalam negeri lebih dari 20 miliar kubik. Itu saja nanti dikalikan dengan tarif PNBP. Dengan penerimaan itu, kami bisa membereskan banyak persoalan, seperti pelabuhan perikanan yang dangkal.
Berapa perbandingan sedimen lumpur dengan pasir laut?
Belum tahu. Bagi saya simpel saja, yang penting negara bisa kaya. Kalau banyak yang bisa dimonetisasi, apa salahnya?
Seberapa besar permintaan Singapura terhadap pasir laut?
Saya belum tahu, belum ada yang datang ke saya.
Presiden Joko Widodo bertemu dengan Perdana Menteri Singapura beberapa waktu lalu, benarkah ada pembicaraan soal ekspor pasir laut ini?
Saya tidak ikut waktu itu dan rasanya tidak ada pembicaraan soal ini. Kalaupun itu terjadi, kan skema ekspor pasir B2B, skema bisnis. Bukan G2G, kesepakatan antarpemerintah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Saya Berani Pasang Badan"