Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pendidikan Vokasi dalam Bingkai Kurikulum Merdeka

Ada dua hal penting yang harus diprioritaskan agar lulusan pendidikan vokasi kita dapat berpartisipasi aktif dalam dunia industri sampai di tingkat regional ASEAN dan internasional sebagaimana yang dikehendaki Kurikulum Merdeka.

13 Mei 2022 | 13.54 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini pendidikan vokasi menjadi sorotan di berbagai negara, terutama berkaitan dengan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kesejahteraan penduduknya. Harapannya, melalui pendidikan vokasi yang berkualitas, sektor industri mengalami percepatan dalam kemajuan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada periode 2016 – 2021, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengembangkan berbagai strategi untuk Pendidikan dan Pelatihan Teknik dan Vokasi (Technical and Vocational Educational Training/TVET) sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 4 dan Kerangka Aksi Pendidikan 2030. Yaitu memperkuat sistem vokasi negara-negara anggota UNESCO. Di samping itu juga untuk memajukan terbukanya lapangan kerja bagi kaum muda, akses ke pekerjaan yang layak, kewirausahaan, dan kesempatan belajar sepanjang hayat secara spesifik konteks nasional. Berbagai inovasi ditawarkan untuk pengembangan pendidikan vokasi. 

Pendidikan vokasi adalah mempersiapkan siswa atau mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan praktis yang biasanya dirancang untuk mengarah pada jenis pekerjaan atau profesi tertentu (OECD, 2009). Oleh sebab perancangan pendidikan vokasi seharusnya terkait erat dengan jenis pekerjaan yang sedang diperlukan dalam industri baik di dalam maupun di luar negeri.  Kurikulum yang dikembangkan oleh sekolah dan perguruan tinggi vokasi seharusnya berbasis pada tuntutan industri, baik jenisnya maupun keterampilan dan sikap kerja yang diminta. 

Selama ini ada kesan bahwa permintaan harus beradaptasi untuk lulusan sekolah ini dan bukan sebaliknya. Sebagian besar sekolah kurang cepat dan belum tanggap terhadap industri yang telah berubah cepat dan berkembang dari waktu ke waktu. Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memajukan pendidikan vokasi melalui antara lain pembangungan Sekolah Menengah Kejuruan, pembelajaran berbasis link and match, program guru keahlian ganda, dan keterlibatan industry. Namun tampaknya proses pembelajaran siswa masih perlu terus ditingkatkan.

Suharno, et al (2020) menyatakan bahwa saat ini terdapat kesenjangan antara tingkat kematangan lulusan dan tuntutan pekerjaan. Situasi ini juga terjadi di Prancis tentang ketidaksesuaian lulusan kejuruan (Béduwéa & Giret, 2011:78). Jumlah lulusan bisa mencapai hampir 100 persen, namun sayangnya kompetensi mereka seringkali tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang ada. Hal tersebut terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh materi ajar yang disampaikan, tetapi juga dipengaruhi oleh bagaimana guru melakukan proses pembelajaran guna mengasah keterampilan dan sikap kerja siswa. Bagaimana sekolah menyediakan perangkat berat maupun lunak sebagai pendukung untuk melatih hard skills maupun soft skills.  Pembelajaran berbasis pekerjaan/proyek masih belum dapat diterapkan dalam kenyataan. Padahal, sebenarnya metode tersebut cocok untuk kejuruan pembelajaran (Heaviside, Manley, & Hudson, 2018).

Program Merdeka Belajar yang dilansir oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tampaknya memberi angin segar terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan vokasi. Melalui Kurikulum Merdeka dan Profil Pelajar Pancasila diharapkan pendidikan vokasi melalui Sekolah Menengah Kejuruan akan lebih cepat bertransformasi. Selain itu ikatan kusut ujian nasional juga sudah bukan lagi menjadi alasan bagi sekolah-sekolah kejuruan untuk tidak melaju lebih cepat membangun kompetensi siswanya agar dapat berpartisipasi dalam industri saat ini.

Kurikulum Merdeka yang dikembangkan saat ini berfokus pada pengembangan kompetensi siswa melalui Capaian Pembelajaran (CP) yang disusun dengan melibatkan dunia kerja. Berangkat dari CP yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, kemudian sekolah memiliki kemerdekaan untuk mengembangkan Kurikulum Operasional Sekolah (KOS). 

Dalam menyusun KOS, sekolah dapat menyesuaikan dengan konteks yang dimiliki, termasuk latar belakang siswa, sarana dan prasarana yang dimiliki maupun kompetensi gurunya. Untuk penguatan soft skills dan karakter siswa, pemerintah pusat mengembangkan Profil Pelajar Pancasila yang terdiri dari 6 dimensi yaitu, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong royong; kreatif; bernalar kritis; dan mandiri. 

Keenam dimensi tersebut dicapai dalam pembelajaran lintas mata pelajaran berbasis projek, kontekstual, dan di luar jam pelajaran.  Terdapat 8 (delapan) tema yang ditentukan berdasarkan prioritas yang dinyatakan dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Lalu tema ini perlu dikembangkan menjadi topik yang lebih spesifik dan kontekstual di tingkat sekolah. Tema ini dapat berubah setiap tahun. Tema- tersebut adalah Gaya Hidup Berkelanjutan; Kearifan Lokal; Bhinneka Tunggal Ika; Bangunlah Jiwa dan Raganya; Suara Demokrasi; Berekayasa dan Berteknologi untuk Membangun NKRI; dan Kewirausahaan. Tema ke delapan adalah Kebekerjaan yang merupakan tema wajib bagi SMK. 

Dari tema di atas siswa menghubungkan berbagai pengetahuan yang telah dipahami dengan pengalaman nyata di keseharian dan dunia kerja. Siswa membangun pemahaman terhadap ketenagakerjaan, peluang kerja, serta kesiapan kerja untuk meningkatkan kapabilitas yang sesuai dengan keahliannya, mengacu pada kebutuhan dunia kerja terkini. Dalam projeknya, siswa juga akan mengasah kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan standar yang dibutuhkan di dunia kerja. 

Secara teoritis perubahan yang dikembangkan tampak menjanjikan karena sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Nomor 4 dari UNESCO. Selain itu sekolah juga memiliki kebebasan untuk menentukan cara pengelolaan pendidikan dan pengajaran yang akan diterapkan di sekolah masing-masing. Pertanyaan yang muncul kemudian apakah dengan diberikan kebebasan, sekolah akan serta merta mampu menyelenggarakan Pendidikan vokasi yang berkualitas? 

Untuk mencapai kompetensi siswa yang diharapkan diperlukan proses pembelajaran yang memadai. Peran kepala sekolah dan guru dalam mewujudkan kompetensi siswa memegang peran vital. Bagi guru tidak hanya dituntut memiliki latar belakang keahlian, tetapi juga kompetensi dalam membangun keahlian tersebut kepada siswa.  Proses pembelajaran dan bahan ajar harus menjadi ramuan yang seimbang untuk mencapai kompetensi siswa yang dideskripsikan melalui CP. 

Lalu bagaimana dengan para guru non-keahlian seperti sejarah, agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dan sebagainya seyogianya  mengajar mata pelajaran tersebut untuk memperkuat kompetensi dalam keahlian yang dipilih oleh siswa. Misalnya, bagaimana melalui pelajaran agama siswa diajak untuk mengembangkan spiritualitas dalam bekerja, termasuk menjaga kualitas kerja. Pelajaran olah raga diajarkan mengembangkan kedisiplinan, ketaatan pada aturan, serta konsekuensi dan integritas. Begitu juga pelajaran seni, matematika, dan lain sebagainya. 

Ada dua hal penting yang harus diprioritaskan agar lulusan pendidikan vokasi kita dapat berpartisipasi aktif dalam dunia industri sampai di tingkat regional ASEAN dan internasional sebagaimana yang dikehendaki Kurikulum Merdeka. Yang pertama adalah perubahan pola pelatihan dan sertifikasi guru-guru vokasi  baik yang produktif maupun guru normatif. Yang kedua penguatan kolaborasi antara Kemendikbudristek dan dinas pendidikan di daerah dengan dunia industri. 

Dalam melatih kompetensi guru keahlian Kemendikbudristek dan pemerintah daerah  bekerja sama dengan dunia industri secara konsisten dan terstruktur.  Guru-guru diberi kesempatan magang di perusahaan-perusahaan dan mendapatkan angka kredit sebagai bagian dari penilaian kinerja mereka. Dalam pelatihan bagi guru, keahlian narasumber yang menfasilitasi adalah para pelaku industri dan tidak didominasi oleh perguruan tinggi. Bila perlu para guru keahlian tersebut mendapat pengakuan sertifikasi dari Kemendikbud melalui pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti di perusahaan-perusahaan.  Sedangkan untuk guru normatif pengembangan dirinya diarahkan pada pengembangan soft skills yang diperlukan oleh dunia kerja dan tidak terfokus pada pengetahuan semata. 

Dengan azas gotong royong, Kemedikbudristek maupun pemerintah daerah menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan dan lembaga pemerintah maupun swasta untuk pengembangan kepala sekolah dan guru bukan hanya untuk siswa. Dengan demikian kepala sekolah dan guru yang berhubungan secara intensif dengan siswa akan mampu menjadi role model dalam perilaku kerjanya. 

Kurikulum Merdeka adalah pintu utama untuk transformasi pendidikan vokasi dan keberhasilannya akan ditentukan oleh kualitas pengembangan kepala sekolah, dan gurunya. Jika pendidikan formal diumpamakan sebagai sebuah perjalanan, Kurikulum Merdeka adalah peta jalan untuk mencapai destinasi yang dituju. Namun, apakah perjalanan tersebut akan sampai di tujuan dengan selamat dan tepat yang menentukan adalah pengendara alias guru. Kepiawaian pengendara dalam memilih kendaraan dan rute yang tepat menjadi andalan utama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

---

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Artikel ini merupakan konten kerja sama Tempo dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus