Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Dampak Pengayaan Bahasa Indonesia

Pengayaan bahasa oleh Nadiem Makarim dengan mengambil kosakata bahasa daerah jangan sampai berujung pada kematian bahasa.

28 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENAMBAHAN kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), apalagi secara masif, perlu disoroti. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menargetkan KBBI pada akhir 2024 akan memiliki 200 ribu lema dari 120 ribu lema sekarang. Ini tampaknya akan membuat Badan Bahasa harus bekerja keras. Pengembangan bahasa juga berarti pengembangan kebudayaan, yang berujung pada pembangunan masyarakat. Bahasa Indonesia, yang berfungsi sebagai bahasa nasional, menjadikannya berfungsi juga sebagai media perencanaan dan pembangunan nasional, media perantara ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus media sosialisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tambahan itu akan diambil dari dua sumber utama, yakni istilah bidang ilmu dan bahasa daerah. Sementara istilah bidang ilmu terbilang lebih “stabil” lantaran makna tiap lema jarang mengalami perubahan atau pergeseran, tidak untuk kosakata bahasa lokal, yang maknanya bisa dipengaruhi oleh banyak faktor. Pengayaan dari bahasa daerah ditempuh dengan penugasan tiap balai dan kantor bahasa di tiap provinsi untuk mengusulkan minimal seribu kosakata bahasa daerah kepada redaksi KBBI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerja ini akan menghadapi sejumlah masalah kebahasaan. KBBI, yang menjadi rujukan dan acuan penggunaan bahasa nasional, akan menjadi “gemuk” dalam waktu relatif singkat tanpa perlu waktu pembuktian kelayakan sebuah lema; apakah penting, dapat bertahan lama, populer di telinga dan bibir masyarakat, serta maknanya tidak mengalami pergeseran. Proses yang terkesan terburu-buru ini jelas akan berbeda dengan proses alami yang memakan waktu, meskipun waktu jelas bukan variabel utama penentuan kelayakan penambahan lema baru.

Bahasa Indonesia menempati posisi sebagai, dalam istilah Charles A. Ferguson (1959), dialek tinggi atas sekian bahasa lokal, yang menempati posisi sebagai dialek rendah. Dalam situasi diglosia, ketika dua bahasa atau lebih digunakan oleh satu komunitas bahasa, yang “baik”, setiap bahasa memiliki ranah pemakaiannya masing-masing. Misalnya, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan komunikasi nasional, sementara bahasa daerah menjadi bahasa lokal dengan segala budaya lokalnya.

Kondisi asimetris antara dialek tinggi dan rendah dapat berujung pada kematian bahasa, ketika penutur bahasa hilang karena pergeseran bahasa, yakni kebocoran fungsi bahasa yang melintasi batas etnis yang juga merupakan batas kebahasaan (Jane H. Hill, 1983). Misalnya, bahasa lokal makin ditinggalkan dan tidak diwariskan ke generasi berikutnya. Kepunahan bahasa bisa dicegah dengan menjaga kestabilan diglosia sehingga tidak ada satu pun bahasa yang bergeser. Bagaimana tiap bahasa tetap hidup adalah pekerjaan rumah yang bergantung pada banyak faktor, seperti politik, demografi, dan ekonomi.

Kebocoran diglosia itu bisa kita endus melalui beberapa kasus kecil dan parsial yang sudah terjadi dalam penyerapan bahasa Jawa, seperti hilangnya strata kata (hierarkisme bahasa) lantaran sifat bahasa Indonesia yang menyejajarkan komunikan sehingga semua subyek di dalamnya punya kedudukan setara. Saya ambilkan contoh bojo dan omong. Dua kata ini memiliki versi tersendiri dalam bahasa Jawa ngoko, krama madya, dan krama inggil. Beberapa kata juga akan mengalami penyempitan makna, seperti kata manut yang kehilangan makna “sesuai dengan, sejalan, sepemikiran”.

Pengayaan bahasa nasional perlu dan bagus lantaran ia bisa mengisi ceruk-ceruk kosong yang tak dimilikinya. Contohnya dingklik, kursi kecil yang bentuknya khas yang tak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Tapi pengayaan itu harus dijalankan beriringan dengan usaha mempertahankan kehidupan bahasa lokal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pengayaan Bahasa"

Nur Hadi

Nur Hadi

Penulis cerita pendek dan puisi. Aktif di Akademi Menulis Jepara

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus