Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penjualan batik di Solo dan Cirebon belum kembali ke kondisi sebelum masa pandemi.
Perajin khawatir Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 memuluskan impor batik.
Pemerintah mengklaim aturan baru akan memperketat impor batik.
DUA perempuan asal Jepang berkunjung ke gerai Batik Mahkota Laweyan di Solo, Jawa Tengah, 20 Januari 2024. Pada Sabtu siang itu, keduanya melihat-lihat aneka kain batik sembari menyimak penjelasan tentang tahap pembuatan kerajinan tradisional tersebut dari seorang pemandu. Di sudut lain, tampak beberapa pengunjung memilih-milih blus, kemeja, kain, dan suvenir bermotif batik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keramaian Batik Mahkota menjadi tanda kembali menggeliatnya Kampung Batik Laweyan, sentra industri dan kerajinan batik di Solo. Kampung Batik Laweyan terpuruk pada masa pandemi Covid-19. Kala itu, menurut catatan Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, jumlah perajin batik turun dari 80 menjadi hanya 20 orang. Sejak akhir 2021, destinasi wisata itu bangkit dan para perajin yang sebelumnya berhenti membatik kembali berkarya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski mulai pulih, perdagangan batik di Laweyan belum menyamai kondisi sebelum masa pandemi. Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan Alpha Febela Priyatmono mengatakan angka transaksi perdagangan batik baru 70 persen jika dibanding sebelum datangnya pandemi. "Padahal sudah termasuk penjualan online," ujar pria yang juga pemilik Batik Mahkota Laweyan itu kepada Tempo.
Pengunjung di toko Batik Mahkota Laweyan, Solo, Jawa Tengah, 20 Januari 2024. Tempo/Septhia Ryanthie
Kondisi serupa terjadi di sentra batik Kauman, Solo. Para perajin berupaya memulihkan keuangan mereka setelah berdarah-darah di masa pandemi. Banyak yang kolaps, sementara sebagian bertahan dengan cara menjual aset atau berutang. Saat ini, menurut Paguyuban Kampung Batik Kauman, tingkat penjualan batik mulai naik hingga 70 persen.
Nasib berbeda dialami sentra batik Trusmi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sejak pertengahan 2023, satu per satu produsen batik skala kecil gulung tikar karena sepi pesanan. "Pesanan dari kota besar seperti Jakarta sudah sepi," kata Lutfiyah Handayani, pengusaha batik di Trusmi.
Di tengah kondisi itu, para perajin batik kian ketar-ketir setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Regulasi anyar itu memuat pengecualian pembatasan impor bagi produk batik dan motif batik untuk keperluan instansi pemerintah dan lembaga negara serta kepentingan umum.
Meski belum mengetahui penerapan aturan tersebut, Alpha mengaku khawatir pasar batik akan terus digempur produk impor. Apalagi, menurut dia, batik impor biasanya lebih murah dibanding buatan lokal.
Data Badan Pusat Statistik yang diolah Tempo menunjukkan nilai ekspor batik pada 2019-2021 mencapai US$ 23 per kilogram atau sekitar Rp 361 ribu. Sedangkan nilai batik impor pada periode yang sama US$ 7 atau sekitar Rp 110 ribu per kilogram. "Keluarnya aturan baru itu sudah menjadi pembicaraan di kalangan pelaku industri batik dan komunitas batik, sangat mengkhawatirkan," ucap Alpha.
•••
BUKAN hanya perajin batik, pengusaha tekstil juga dicekam kekhawatiran. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan telah mengusulkan semua produk tekstil, termasuk batik, masuk kategori barang yang tak bisa diimpor secara bebas dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023. Namun, ketika aturan itu terbit, batik impor untuk lembaga pemerintah malah dikecualikan dari barang yang dibatasi impornya. "Kami juga kaget," ujar Jemmy.
Menurut Jemmy, klausul tersebut semestinya tidak perlu ada. Apalagi, dia menambahkan, kebutuhan tekstil dan batik untuk kementerian dan lembaga negara bisa dipenuhi produsen lokal.
Aturan baru itu bakal membuat batik impor membanjir. Data Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perindustrian menunjukkan volume impor batik pada 2020 mencapai 13 ribu ton. Setahun kemudian, angka itu meningkat menjadi 15,7 juta ton. Jemmy mengungkapkan, berdasarkan pengamatan API, batik impor tersebut kebanyakan adalah batik print berbahan poliester dan rayon yang harganya murah. "Produk itu menyasar konsumen kelas bawah," tuturnya.
Hal itu juga diakui Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan Alpha Febela Priyatmono. Ia yakin produk batik tulis dan batik cap asli tidak akan bersaing langsung dengan produk impor itu. Yang bersaing dengan penjaja produk impor adalah produsen tekstil atau kain batik dan motif batik. Masalahnya, Alpha melanjutkan, konsumen awam tak begitu paham akan perbedaan produk-produk tersebut. "Mereka tahunya batik ya batik."
Karena itu, Alpha menambahkan, selain memproteksi pasar dari gempuran barang impor, pemerintah seharusnya mengalihkan bahan seragam batik dari mulanya kain tekstil batik menjadi batik cap. Kebijakan ini, menurut dia, sudah diterapkan pada seragam haji. Pemerintah juga diminta mendorong masyarakat agar memilih batik tulis, cap, ataupun kombinasi keduanya dalam memenuhi kebutuhan sandang.
Kebijakan lain yang dinilai penting oleh para perajin adalah mengenai pengenalan Batikmark—tanda atau lisensi yang menunjukkan identitas dan ciri batik buatan Indonesia. Alpha menilai pemerintah seharusnya memberi subsidi atau memangkas biaya untuk memperoleh lisensi tersebut.
Selain bisa menghidupkan kembali sentra-sentra produksi batik di berbagai daerah, kebijakan itu diyakini bisa membuat banyak tenaga kerja terserap di sektor batik. Perajin batik Cirebon, Lutfiyah Handayani, mengatakan pembuatan kain batik minimal melibatkan lima perajin dengan tugas berbeda-beda, dari menggambar, menutup dengan lilin, mewarnai, hingga melorot. Tanpa kebijakan yang berpihak kepada industri lokal, ia khawatir pekerjaan pembatik akan punah.
Direktur Impor Kementerian Perdagangan Arif Sulistiyo mengatakan peraturan baru ini justru akan memperketat impor barang konsumsi dan produk jadi. Pengetatan itu dilakukan dengan menambah mekanisme larangan dan pembatasan impor dari semula hanya berupa laporan surveyor menjadi persetujuan impor. Dari sebelumnya setelah melewati perbatasan, kini pengawasan dilakukan di perbatasan atau titik masuk barang.
Karena itu, Arif menambahkan, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tidak membuat tekstil batik dan motif batik bisa diimpor secara bebas. Ia pun menjelaskan bahwa selama ini ketentuan impor tekstil dan produk tekstil batik serta motif batik bagi pelaku usaha dan instansi pemerintah sudah ada dalam regulasi sebelumnya. "Selama ini belum pernah diterbitkan izin impornya," ucap Arif, seraya berjanji sangat selektif dalam memberi izin impor.
Sedangkan Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian Reni Yanita mengatakan akan meningkatkan sosialisasi mengenai pengertian kain batik dan perbedaannya dengan batik print. Dengan cara itu, konsumen bisa lebih selektif dalam membeli produk batik dan produsen dalam negeri akan untung.
Menurut Reni, Kementerian Perindustrian juga tengah merancang penerapan regulasi pintar untuk batik. Bentuknya antara lain fasilitas bagi produsen untuk memperoleh Batikmark atau sertifikat tanda batik. Tanda ini akan dicantumkan pada setiap helai kain yang dihasilkan di dalam negeri. "Ini semua untuk melindungi industri dari gempuran impor batik."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Septhia Ryanthie dari Solo dan Ivansyah dari Cirebon berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Was-was Digempur Produk Impor".