Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Perhelatan, Dihelat, Menghelat

20 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurniawan*

Akhir-akhir ini, ketika memberitakan acara kesenian hingga politik, media sering menggunakan kata "perhelatan", "menghelat", dan "dihelat". Istilah "perhelatan" pada mulanya lazim digunakan untuk menyebut acara perkawinan, kenduri, atau selamatan. Malah para sastrawan Balai Pustaka lebih lazim menggunakan kata "helat" saja. Nur Sutan Iskandar dalam novel Salah Pilih (1928), misalnya, menulis, "Sekalian helat dan jamu itu dilayani oleh Ibu Liah dan Asnah sekuasa-kuasanya."

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (KBBI III), 2005, memang memiliki lema "perhelatan", yang bermakna "pesta atau kenduri selamatan, pesta perkawinan". Adapun pesta adalah perjamuan makan-minum atau perayaan sesuatu dengan bersuka ria dalam sebuah keramaian.

Sebuah festival seni mungkin masih bisa dianggap sebuah pesta, tapi apakah pemutaran film atau diskusi adalah sebuah pesta? Contohnya, "Dalam perhelatan diskusi yang berlangsung selama lebih-kurang dua jam tersebut, Ibnu menyampaikan bahwa sastra di media massa semakin hari semakin berkurang" (Koran Jakarta, 23 Maret 2014). Berita itu hanya membicarakan sebuah acara diskusi. Sebuah acara dengan kegiatan tunggal (sebuah film, teater, tari, dan sebagainya) tak tepat disebut perhelatan. Sebuah perhelatan mengandaikan acara akbar dan ramai yang melibatkan banyak kegiatan, seperti Festival Film Indonesia atau Srawung Seni Segara Gunung.

Bagaimana dengan pemakaian "dihelat" dan "menghelat"? Pada 8 Mei 2014, Kompas.com membuat judul berita "Diskusi Bisnis Digital Kembali Dihelat di Yogyakarta". Pada 20 Oktober 2012, Warta Kota menulis, "Untuk memperingati Bulan Bahasa, Kompas menghelat seminar bertajuk 'Merumuskan Bahasa dalam Media Online dan Jurnalisme Warga'."

Dalam KBBI III, kata dasar "helat" punya dua lema. Pertama, "helat" yang bermakna "pesta perkawinan dsb" dan "tamu ". Tapi, sebagai kata sifat, "helat" artinya "asing, lain, bukan keluarga". KBBI III mencontohkan, "Di kota-kota besar banyak orang helat".

Kedua, lema "helat" yang dibaca sebagai "hélat" ("e" dibaca seperti "dekade"). Bentuknya adalah kata benda dan artinya "tipu muslihat, akal, dalih". Makna ini jelas jauh berbeda dengan lema pertama.

Namun lema pertama tak punya kata kerja turunan, sedangkan lema kedua justru punya dua: "berhelat" dan "menghelat". Yang pertama berarti "menggunakan tipu muslihat, berdalih" dan yang kedua bermakna "menipu". Tak ada kata turunan "dihelat" di situ. Kalaupun bisa diturunkan dari "menghelat", berarti artinya seharusnya menjadi "ditipu".

Bila kita merujuk pada KBBI III, penggunaan kata "menghelat" dan "dihelat" oleh banyak media jelas keliru. Berita Warta Kota di atas jadinya bermakna "…Kompas menipu seminar bertajuk...". Jelas bukan itu maksud penulisnya.

Pemuatan dua lema yang penulisannya sama ini jadi bermasalah. T.D. Asmadi, pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo, pernah mengecek makna "helat" dari beberapa sumber, seperti Kamus Dewan Edisi IV (2007) terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, Baoesastra Melajoe-Djawa karya Sastrasoeganda, dan Kamus Modern Bahasa Indonesia karya Sutan Mohammad Zain. Semua kamus itu merujuk makna "helat" sebagai "tipu muslihat".

Bila kita mau konsisten dengan makna "helat" dalam berbagai kamus tersebut, "menghelat" tetaplah berarti "menipu". Tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (KBBIPB IV), 2008, membuat masalah tambah rumit dengan menambahkan kata turunan "menghelat", yang berarti "menyelenggarakan", pada lema "helat" yang terkait dengan perhelatan.

Istilah "helat" dalam pengertian "tipu daya" ini tampaknya memungut kata Melayu "helat" (huruf Jawinya: ), yang merujuk pada "helah" (). Kata ini sudah muncul ratusan tahun lalu, misalnya dalam Maleisch-Nederduitsch Woordenboek (Kamus Melayu-Belanda) karya Jan Pijnappel Gzn., yang terbit pada 1863.

Kamus Dewan Edisi IV punya lema "helat", tapi memberi tanda agar merujuk pada lema "helah", yang artinya "tipu daya atau dalih". Kata turunan "helah" adalah "berhelah", yang berarti "menggunakan tipu daya, berdalih", dan "menghelah", yang berarti "memperdaya, menipu".

Ini berkebalikan dengan KBBIPB IV, yang punya lema "helah", tapi dengan tanda yang merujuk ke "helat". Jadi, penyusun KBBIPB IV menganggap "helah" adalah kata lama yang tak disarankan pemakaiannya, yang merupakan ragam kata "helat", yang ejaannya dianggap baku.

Bagaimana cara mengatasi masalah ini? Saya menyarankan Pusat Bahasa menghidupkan lema "helah", lalu makna lema "helat" (hélat) bisa dialihkan menjadi makna bagi "helah". Cara ini akan membuat jelas bahwa "menghelat" tetap berarti "menyelenggarakan (pesta)", "menghelah" berarti "menipu", dan "berhelah" bermakna "berdalih".

Sastrawan Nur Sutan Iskandar sudah memakai kata "berhelah" itu dalam novel Turun ke Desa (Balai Pustaka, 1982). Di situ dia menulis, "'Tin,' katanya dengan terengah-engah, 'Jangan berhelah jua. Berkata terus terang. Berapa banyaknya uang yang kau terima dari orang itu?'" Sang pengarang jelas merujuk kata "berhelah" dalam arti "berdalih".

Pembedaan lema "helah" dan "helat" ini akan membuat makna "helat" tidak bermakna ganda seperti sekarang. Para pengguna rumpun bahasa Melayu di Malaysia dan Brunei juga tak akan salah paham, karena di dua negara itu "helah" memang berarti "tipu daya". l

*) Wartawan Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus