Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Virus dengue, biang penyebab demam berdarah, punya musuh baru. Namanya keren, Wolbachia. Ini adalah bakteri alami yang biasa hidup di sel serangga. Tapi, karena bakteri ini tak ditemukan di dalam nyamuk Aedes aegypti, digeberlah penelitian. Para peneliti memasukkan bakteri Wolbachia ke tubuh sang nyamuk, dengan harapan ia akan menumpas "anasir" virus yang jadi momok di mana-mana itu.
Gotcha! Ternyata benar! Bakteri ini bisa melumpuhkan virus dengue langsung di sarangnya-di tubuh Aedes aegypti. Secercah harapan untuk memberantas demam berdarah pun terbit. Sejumlah negara yang selama ini menjadi langganan wabah demam berdarah lalu menggelar riset. Mereka, antara lain, Australia, Vietnam, Cina, Singapura, Kolombia, dan Brasil.
Di Indonesia, penelitian dilakukan di Pusat Kedokteran Tropis, Universitas Gadjah Mada, dengan payung program Eliminate Dengue Project (EDP) Yogyakarta. "Temuan itu memunculkan teknologi baru pengendalian wabah demam berdarah di dunia," kata Riris Andono Ahmad, peneliti utama program ini, di kantornya, Rabu dua pekan lalu.
EDP Yogyakarta merupakan kerja sama Pusat Kedokteran Tropis UGM dengan Universitas Monash, Australia, dan Yayasan Tahija. Proyek riset yang dibentuk pada 2011 ini berfokus pada riset untuk menemukan cara baru pengendalian demam berdarah.
Menurut Riris, uji coba ini berpijak dari temuan sejumlah peneliti Australia pada awal 2000-an. Temuan menyimpulkan bahwa Wolbachia bisa menghambat pertumbuhan virus dengue di tubuh Aedes aegypti. Ia diwariskan turun-temurun melalui telur.
Selama ini Wolbachia ditemukan pada 60 persen spesies serangga yang kerap bersinggungan dengan manusia, termasuk kupu-kupu, lebah madu, ngengat, lalat buah, capung, kumbang, dan nyamuk yang mengigit manusia. Pengecualiannya adalah pada nyamuk penyebar demam berdarah dan malaria. Kemudian, para peneliti dari Negeri Kanguru menemukan cara menyuntikkan bakteri Wolbachia ke larva nyamuk dengan jarum supermungil.
Larva-larva pembawa agen pembasmi virus dengue itu kemudian didatangkan ke Indonesia. Mereka dikembangkan menjadi nyamuk dewasa di laboratorium sebelum dilepaskan ke permukiman penduduk yang selama ini dikenal rawan demam berdarah. Harapannya, nyamuk "impor" dari Australia itu akan kawin-mawin dengan nyamuk lokal dan menyebarkan bakteri Wolbachia.
Yogyakarta didapuk menjadi proyek percontohan. Lewat mekanisme kawin silang nyamuk, para peneliti EDP mengganti populasi Aedes aegypti lokal dengan serangga sejenis pembawa Wolbachia. Hasilnya, sejak ditebar pertama kali pada Januari lalu di permukiman warga di Pedukuhan Kronggahan di Desa Trihanggo dan sebagian permukiman di Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, terdapat peningkatan populasi nyamuk ber-Wolbachia hingga 60-80 persen.
Ini artinya bakteri Wolbachia terus menyebar dan menginfeksi populasi nyamuk setempat. "Pelepasan nyamuk akan kami lanjutkan hingga nantinya 100 persen nyamuk di sana memiliki Wolbachia," kata Riris.
Peneliti EDP Yogyakarta lainnya, Warsito Tantowijoyo, mengatakan cara kerja Wolbachia membasmi virus dengue terbilang sederhana. Bakteri ini lahap menyantap molekul kolesterol subselular di dalam tubuh nyamuk, yang merupakan makanan utama virus dengue. "Virus dengue selalu kalah berkompetisi dengan Wolbachia," katanyaihwal hasil percobaan di laboratorium.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita virus dengue dalam memperebutkan makanan membuatnya tidak mampu lagi mereplikasi diri. Perlahan tapi pasti, virus dengue pun lenyap dari dalam tubuh nyamuk sehingga nyamuk tidak lagi menjadi vektor demam berdarah. Nyamuk Aedes aegypti betina memang masih akan tetap mengisap darah manusia, tapi gigitannya tidak lagi berbahaya.
Infeksi Wolbachia tidak hanya melumpuhkan virus dengue. Bakteri ini rupanya juga mampu menghabisi sang vektor alias nyamuk itu sendiri. Berdasarkan pengamatan di laboratorium, umur nyamuk yang mengandung Wolbachia menjadi lebih pendek, nyaris separuhnya. "Sehingga periode replikasi virus dengue berubah lebih singkat," ujar Warsito.
Wolbachia hanya diwariskan ketika pejantan nyamuk lokal kawin dengan betina pembawa Wolbachia. Si betina akan memproduksi telur yang kelak menetas menjadi jentik pembawa bakteri. "Bakteri itu akan terus diturunkan hingga beberapa generasi," kata Riris.
Yang menarik, Wolbachia terbukti tidak hanya efektif mengendalikan virus dengue di tubuh Aedes aegypti. Bakteri ini juga mampu menghambat pertumbuhan virus yellow fever, west Nile, chikungunya, hingga plasmodium malaria. "Wolbachia juga bisa berkembang di nyamuk Culex atau Anopheles," kata Riris. Namun, untuk saat ini, fokus penelitian masih ke demam berdarah.
Para peneliti melepaskan ribuan nyamuk pengidap Wolbachia di permukiman yang ditempati 2.000-an rumah tangga yang menyetujui riset ini. Setiap empat rumah ditebari delapan nyamuk betina ber-Wolbachia. Semula, bibit nyamuk itu akan ditebar di sepuluh dusun di Desa Nogotirto, Kalitirto, dan Trihanggo. Namun tak semua warga bersedia menerima rencana itu.
Ahmad Makruf, warga Pedukuhan Karangtengah, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, termasuk yang menolak uji coba. Ia dan ratusan warga di desanya sempat memprotes rencana penebaran nyamuk pada awal 2014. Menurut mereka, EDP Yogyakarta tidak bisa menjamin penyebaran nyamuk itu tidak akan memicu penambahan kasus penularan demam berdarah. Buntutnya, uji coba di wilayah ini dibatalkan.
Kekhawatiran Makruf ditepis oleh Riris, yang mengklaim penyebaran nyamuk ber-Wolbachia aman. Alasannya, Wolbachia tidak hanya terbukti menghambat pertumbuhan virus, tapi juga tidak menular ke manusia. Wolbachia hanya bisa hidup di dalam sel serangga, bukan sel mamalia, termasuk manusia. Apalagi bakteri ini tidak bisa masuk ke peredaran darah manusia. "Diameternya lebih besar daripada proboscis (belalai) nyamuk," ujarnya.
Meski masih mendapat tentangan dari sebagian warga, Riris dan tim tetap berencana memperluas uji coba. Penebaran nyamuk ber-Wolbachia akan dilanjutkan hingga akhir 2015. Pada saat bersamaan, wilayah riset bakal dilebarkan ke lokasi lain yang rawan demam berdarah. "Saat ini kami juga menjajaki pelepasan nyamuk di dua wilayah di Bantul," katanya.
Mahardika Satria Hadi,Addi Mawahibun (Yogyakarta)
Bagaimana Wolbachia menyebar di populasi nyamuk?
Ketidakcocokan sitoplasma (cytoplasmic incompatibility) menentukan pewarisan bakteri Wolbachia pada nyamuk. Melepaskan sejumlah nyamuk ber-Wolbachia untuk berkembang biak dengan nyamuk liar akan menghasilkan seluruh populasi nyamuk ber-Wolbachia dalam beberapa generasi.
Ketika nyamuk jantan dengan Wolbachia kawin dengan nyamuk liar betina yang tidak memiliki Wolbachia, betina itu akan menghasilkan telur yang tidak akan menetas.
Ketika nyamuk jantan dengan Wolbachia kawin dengan betina yang sudah membawa Wolbachia, semua jentik keturunan mereka akan mewarisi Wolbachia.
Ketika nyamuk betina dengan Wolbachia kawin dengan pejantan tanpa Wolbachia, semua keturunannya akan memiliki Wolbachia.
Mahardika Satria Hadi
Demam Berdarah Dengue
Per September 2014
Jumlah kasus: 44.654
Jumlah kematian: 428 jiwa
Indeks rasio: 17,71 per 100.000 penduduk
Provinsi mengalami kenaikan pada 2014 dibanding 2013
1. Sumatera Utara
2. DKI Jakarta
3. Kalimantan Barat
4. Kalimantan Utara
Tahun 2013
Jumlah kasus: 112.511
Jumlah kematian: 871 jiwa
Indeks rasio: 45,85 per 100.000 penduduk
Provinsi merah (indeks rasio di atas batas nasional, 52 per 100.000 penduduk)
1. Bali (IR: 168,48)
2. DKI Jakarta (IR: 104,04)
3. DI Yogyakarta (IR: 95,99)
4. Kalimantan Timur (IR: 92,73)
5. Sulawesi Tengah (IR: 66,82)
6. Lampung (IR: 64,87)
7. Bangka-Belitung (IR: 58,51)
Chikungunya
Per September 2014
Jumlah kasus: 7.232
Indeks rasio: 2,87 per 100.000 penduduk
Jumlah provinsi terjangkit: 14 provinsi di 70 kabupaten/kota
1. Aceh
2. Sumatera Utara
3. Bengkulu
4. Lampung
5. DKI Jakarta
6. Jawa Barat
7. Jawa Timur
8. Kalimantan Tengah
9. Kalimantan Timur
10. Sulawesi Utara
11. Gorontalo
12. Sulawesi Tengah
13. Bali
14. Nusa Tenggara Barat
Tahun 2013
Jumlah kasus: 15.324
Indeks rasio: 6,35 per 100.000 penduduk
Jumlah provinsi terjangkit: 14 provinsi di 61 kabupaten/kota
1. Aceh
2. Jambi
3. Lampung
4. Banten
5. DKI Jakarta
6. Jawa Barat
7. Jawa Tengah
8. DI Yogyakarta
9. Jawa Timur
10. Gorontalo
11. Sulawesi Tengah
12. Sulawesi Selatan
13. Bali
14. Nusa Tenggara Barat
Menyebar Akibat Pemanasan Global
Fenomena pemanasan global rupanya tidak hanya berdampak pada terjadinya cuaca ekstrem. Direktur Indonesia Biodiversity Research Center I Gusti Ngurah Mahardika, mengatakan pemanasan global dapat memicu penyebaran penyakit yang ditularkan lewat nyamuk. Di antaranya, demam berdarah, malaria, yellow fever, Japanese encephalitis, rift valley fever virus, dan chikungunya.
"Akibat cuaca ekstrem, rentang geografis nyamuk pembawa penyakit makin meluas," kata Mahardika melalui surat elektronik, pekan lalu. Pakar biomedik dan biologi molekuler hewan di Universitas Udayana, Bali, ini menyatakan tren peningkatan penyebaran penyakit akibat nyamuk dijumpai pada chikungunya. "Kasusnya banyak ditemui di Bali dan Yogyakarta."
Berdasarkan data yang dilansir Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan, jumlah kabupaten/kota yang terjangkit chikungunya pada 2014 bertambah dibanding tahun sebelumnya. Pada 2013, terdapat 15.324 kasus di 61 kabupaten/kota, sedangkan per September 2014 sudah ada 7.232 kasus di 70 kabupaten kota, dan masih bisa terus bertambah.
Demam berdarah juga menunjukkan tren serupa. Tahun lalu terdapat 112.511 kasus, 871 kasus di antaranya berujung pada kematian. Adapun per September 2014 sudah terjadi 44.654 kasus dengan 428 kasus kematian. "Perlu ada penanganan signifikan untuk menanggulangi penyakit menular dari nyamuk ini," kata Sekretaris Direktorat Jenderal P2PL Kementerian Kesehatan Mohammad Subuh.
Amri Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo