Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arif Satria*
Gebrakan Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan cukup menggemparkan. Mengawali tugasnya, Susi langsung terjun membenahi perikanan tangkap. Ia tidak rela praktek perikanan ilegal masih berkeliaran dan kontribusi Kementerian terhadap pendapatan negara bukan pajak hanya Rp 300 miliar. Publik pun lalu diberi akses untuk melihat data detail tentang kapal perikanan yang mendapat izin untuk turut mengawasi. Mengapa masalah perikanan ilegal masih saja seolah-olah abadi? Lalu agenda apa yang semestinya dilakukan lagi untuk mengatasi komplikasi masalah ini?
Praktek perikanan ilegal umumnya dilakukan oleh pengusaha asing, pengusaha nasional, ataupun kerja sama keduanya. Di Arafura saja, menurut pemerintah, kerugian kita mencapai Rp 11,8 triliun per tahun. Modusnya, (1) melakukan penangkapan ikan tanpa dokumen izin, (2) pemalsuan dokumen atau satu izin untuk beberapa kapal, (3) memiliki izin tapi melanggar ketentuan alat tangkap, wilayah tangkap, pengisian log-book, dan pelabuhan, (4) bongkar-muat (transshipment) di laut lepas, dan (5) berbendera ganda.
Saat ini semakin marak adanya sejumlah kapal yang dilaporkan dimiliki perusahaan Indonesia yang secara de facto dimiliki asing. Modus awalnya seolah-olah terjadi transaksi impor kapal oleh pengusaha nasional. Jumlah kapal impor atau eks asing saat ini 1.224 unit dari 5.329 kapal di atas 30 GT. Dari jumlah tersebut, berapa yang fiktif dan bukan memang perlu dikaji secara lebih cermat. Ciri berikutnya adalah adanya anak buah kapal (ABK) asing di kapal tersebut, yang secara undang-undang sebenarnya dilarang. Dengan menggunakan ABK asing, kita dianggap tidak mampu mengoperasikan kapal-kapal eks impor tersebut. Separah itukah sumber daya manusia Indonesia di bidang perikanan, yang seolah-olah hanya bisa mengoperasikan kapal-kapal kecil?
Langkah Menteri melakukan moratorium izin kapal sangat tepat. Pada saat yang sama diperlukan langkah lanjutan sebagai berikut.
Pertama, melakukan audit terhadap sejumlah perusahaan perikanan untuk mengetahui berapa jumlah tangkapan riil dan di mana ikan didaratkan serta dipasarkan. Ada indikasi ikan hasil tangkapan sebagian kapal eks impor itu langsung dilarikan ke negeri tempat asal kapal tersebut. Bila 100 persen kapal ikan di atas 30 GT dan semuanya mendaratkan ikan dan melaporkannya ke pelabuhan nasional, tentu volume produksi kita lebih besar dari 5,46 juta ton.
Kedua, pembenahan sistem perizinan secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, saat ini untuk melaut setiap kapal memerlukan 11 dokumen yang didapatkan dari 8 instansi dalam 3 kementerian: Kementerian Kelautan, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Karena itu, pelayanan izin satu atap penting untuk efisiensi serta kontrol yang semakin mudah. Secara vertikal, izin juga dikeluarkan oleh daerah, yakni untuk kapal di bawah 30 GT, yang masih terjadi penyimpangan. Beberapa daerah mengeluarkan izin untuk kapal di atas 30 GT dengan manipulasi data kapal. Karena itu, perlu juga integrasi sistem perizinan pusat-daerah secara online sehingga terpantau perkembangan izin di daerah.
Ketiga, adanya petugas pemantau (observer) yang wajib ada di setiap kapal. Ini adalah ketentuan internasional untuk menjamin kesahihan data yang ditulis dalam log-book. Dengan jumlah pemantau yang saat ini belum memadai, perlu dilakukan secara bertahap berdasarkan ukuran kapal terbesar. Ini sekaligus tantangan pemerintah untuk mendidik calon petugas pemantau.
Keempat, mengatasi mutual distrust sesama lembaga pengawasan di laut. Dengan adanya 12 kementerian dan lembaga yang berwenang mengawasi laut, tentu saja tumpah-tindih sulit dihindari. Masalahnya, mereka kadang saling tidak percaya. Meskipun ada operasi gabungan, masih saja ada kecurigaan terhadap pihak-pihak yang dianggap membocorkan. Nah, semestinya Badan Keamanan Laut (Bakamla), yang harus dibentuk paling lambat enam bulan sejak disahkannya Undang-Undang Kelautan pada September 2014, bisa mengatasi masalah ini. Namun hadirnya Bakamla ternyata belum menghapus peran 12 lembaga tersebut, sehingga potensi tumpang-tindih masih bisa terjadi, kecuali tiap pihak punya kerelaan untuk mengurangi perannya dan memberikan peran lebih besar kepada Bakamla.
Kelima, pemanfaatan teknologi pengawasan, seperti INDESO, harus dimaksimalkan sehingga pergerakan kapal bisa terus terpantau. Yang penting bagaimana menindaklanjuti temuan di lapangan sehingga pelanggaran yang terpantau teknologi bisa diteruskan ke wilayah hukum. Di sinilah profesionalitas dan integritas penyidik, penuntut, dan hakim dipertaruhkan.
Keenam agenda tersebut tidak mungkin terwujud kalau tidak ada komitmen kuat dari Presiden. Nah, pernyataan Joko Widodo untuk memberantas praktek perikanan ilegal merupakan angin segar bagi upaya kita untuk menyelamatkan aset bangsa guna membangun bangsa bahari yang tangguh.
*) Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo