Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
Sejak nama Joko Widodo melejit, kata blusukan terasa bermakna penting. Bahkan, setelah ia menjadi presiden, sejumlah tokoh politik dan pejabat negeri bertindak layaknya kata kerja itu. Padahal sebelumnya, dalam khazanah Jawa, kata itu cuma ragam informal yang lazim digunakan dalam cakapan lisan. Pemakaiannya pun terbatas untuk memerikan perilaku yang dianggap "tak tertib" menurut takaran kelumrahan. Misalnya untuk mengatakan anak-anak desa yang gemar bermain menyuruk-nyuruk ke tengah tegalan bersemak hingga membuat ibunya waswas campur jengkel. "Dasar bocah mbethik, sudah tau mau magrib kok masih blusukan di kebon," begitu kira-kira ujar sang ibu meradang.
Pada contoh situasi tersebut, kata blusukan memantulkan ulah bocah yang menimbulkan kecemasan orang tuanya. Di dalamnya tersirat sifat mbeling pelakunya. Pada sisi lain, kata itu bisa digunakan untuk menggambarkan "militansi" suatu tindakan manusia dewasa yang patut dibanggakan. Kegiatan penelitian lapangan yang menjelajah jauh ke pedalaman, atau masuk-keluar hutan—misalnya dalam riset antropologi atau ekologi—dalam percakapan santai bisa disebut blusukan, yang melukiskan keuletan peneliti dan kekuatan metodologi. Butet Manurung bisa disebut blusukan dengan misi mulia saat ia membuka sokola rimba di tengah jantung pedalaman Kubu.
Terdengar mirip blusukan adalah kata bludusan, yang terasa tak nyaman di relung etika ataupun estetika. Bludusan atau bludas-bludus dalam bentuk pengulangan adalah tingkah yang minus kesopanan. Contohnya seseorang yang masuk-keluar rumah orang lain seenaknya walau saling kenal akrab—bahkan mungkin di rumah kerabat sendiri. Pada kata bludusan bisa terselip sifat nakal atau disiplin rendah pelakunya seperti mencomot sesuatu yang bukan miliknya secara diam-diam. Pernah terbetik kabar tentang orang tertentu yang leluasa masuk-keluar suatu kantor (pemerintah) padahal ia bukan pegawai kantor itu. Konon ia bludusan di kantor itu untuk mengurusi proyek.
Makna positif praktek blusukan beberapa pemimpin akhir-akhir ini, seperti mereka katakan, merupakan metode efektif untuk mengetahui langsung keinginan dan masalah rakyat banyak sekaligus berkomunikasi secara akrab. Jadi, dalam kadar paling tipis sekalipun, blusukan bisa dilihat semacam observasi atau istilah lain yang serupa itu. Manfaatnya untuk mengambil langkah kebijakan pemecahan setepat mungkin. Bahwa ada pemanfaatan yang berbeda, seperti pencitraan yang sering dituduhkan oleh sementara pihak, itu soal lain. Namun seyogianya tuduhan atau kecurigaan itu dihapus saja. Sejelek-jeleknya niat blusukan, bagaimanapun, masih memberi nilai tambah kepada yang bersedia melakukannya.
Spirit blusukan itu terekam dalam sejarah birokrasi di Nusantara lewat kata tournee (lihat lema dalam Verklarend handwordenboek der Nederlandse taal, 1983), yang berarti "rondreis van ambtenaren" alias perjalanan keliling para pegawai negeri. Memang ada nuansa berbeda: blusukan bersifat informal, spontan, kadang sebagai dadakan (ingat sidak, inspeksi mendadak), sedangkan tournee bersifat formal dan terstruktur. Para bupati zaman kolonial pada kala tertentu berkeliling ke wilayah wewengkon-nya. Begitu pula pejabat bawahannya dituntut terjun ke pelosok untuk melihat langsung kenyataan lapangan. Dirunut ke belakang, tournee merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang digagas Raffles ketika bertugas di Jawa sekitar awal abad ke-19.
Agar tournee tak dicurigai sekadar jalan-jalan cari angin segar, para pejabat yang melakukannya berkewajiban menuliskan temuan lapangannya dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur, disingkat TBB, majalah khusus pamong praja. Raden Tjokroamiprodjo, mantri di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, contohnya, pernah menulis dalam TBB (November 1902) bertajuk "Zijn de Javanen lui?"—apakah orang Jawa itu malas. Setelah melihat dengan mata-kepala sendiri orang-orang desa—bapak, emak, anak—seharian bergelut di sawah, tegalan, mencari kayu bakar, membuat barang kerajinan, berjualan di pasar, Pak Mantri menyimpulkan orang Jawa tidaklah malas, menyangkal anggapan Belanda kolonial waktu itu.
Kata tournee jadi antitesis ungkapan "di belakang meja" di ruang birokrasi. Seorang kontrolir Belanda di Sampit, Kalimantan Selatan, H.J. Koerts, banyak kerja di meja tulisnya. Tapi, ketika dimutasi ke Sulawesi Selatan pada 1940-an, ia melakukan "een maand achtereen op tournee", sebulan blusukan di pedalaman. Baginya, itulah cara nikmat untuk mengenal masyarakat di tempat tugasnya yang baru (risalah kenangannya sebagai pegawai kolonial di Hindia Belanda termuat dalam Besturen overzee, 1977). Tak lama setelah Indonesia merdeka, ungkapan turba, turun ke bawah, mewarnai semangat membangun negeri baru.
Jadi, meski tak selalu dengan sebutan blusukan, semangat seperti itu sejatinya bukan hal baru di negeri ini. Cuma, mengapa banyak di antara kita sekarang terkesan terkaget-kaget dengan kata itu? Salah satu jawabannya, barangkali, karena cukup lama pula kita kehilangan semangat blusukan yang genuine. Yang banyak terlihat, mungkin, bludusan tadi.
*Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo