Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada pohon tersisa di sepetak lahan di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, Riau. Pandangan mata hanya menemui lahan gersang hingga ke batas sungai. Jika terlihat sisa pohon di sana-sini, itu yang tertinggal setelah digilas alat berat. Batang dan daun yang terserak tampak mulai mengering kecokelatan dipanggang kemarau, pertengahan Oktober lalu.
Jelas, kawasan yang semula hutan itu baru saja diratakan. Penggundulan dan perusakan hutan (deforestasi) itu dipergoki oleh rombongan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam yang tengah melintas. Saat itu terlihat juga delapan pria tengah bersantai di tepi lahan. Di samping mereka tampak puluhan bibit kelapa sawit—sebagian masih terbungkus plastik. Ya, hutan itu hendak mereka ganti dengan tanaman kelapa sawit.
Hal itu diakui oleh Sunaryo, salah seorang dari pria tersebut. "Tanah ini milik Haji Azis. Luasnya empat hektare untuk 400 bibit sawit," ujarnya. Sunaryo mengaku hanya disuruh menanam bibit sawit, dan bukan pelaku pengundulan hutan.
Pembabatan hutan yang terletak di kilometer 13 Lubuk Puali, Riau, itu terbilang cepat. Sekitar dua pekan sebelumnya, polisi hutan yang berpatroli di sana menyaksikan lahan itu masih lebat.
Kecepatan pembabatan hutan di negeri ini memang luar biasa. Apakah itu yang membikin sulit memastikan data laju penggundulan rimba ini setepatnya? Kepala Badan Pengelola Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (REDD+) Heru Prasetyo punya cerita betapa dunia internasional ragu terhadap kinerja Indonesia dalam mengukur laju deforestasi. "Karena datanya tidak jelas," kata Heru kepada Tempo, akhir Oktober lalu.
Keraguan itu sempat terungkap ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempresentasikan laju deforestasi dalam Konvensi tentang Perubahan Iklim di Doha, Qatar, dua tahun lalu. Tatkala disampaikan pembabatan hutan Indonesia mencapai 450 ribu hektare (angka dari Kementerian Kehutanan), tak ada peserta yang beraksi.
Di ruangan berbeda, perwakilan Brasil mendapat respons lebih baik ketika mempresentasikan laju deforestasi Hutan Amazon mencapai 480 ribu hektare. Data Brasil ini ternyata lebih dipercaya. Sebab, mereka sudah transparan sejak 13 tahun lalu. "Mereka mengajak lembaga swadaya masyarakat ikut mengukur hutan dan hasilnya diumumkan di website," ucap Heru. "Jika ada yang tidak benar, dikoreksi."
Sumber ketidakpercayaan terhadap Indonesia bisa jadi pula karena ada data pembanding dari kalangan nonpemerintah. Peneliti Belinda Arunarwati Margono dan koleganya dari Universitas Maryland, Amerika Serikat, misalnya, melakukan riset deforestasi dengan hasil mencengangkan. Pada 2012, menurut mereka, laju deforestasi mencapai 800 ribu hektare. Ini hampir dua kali lebih besar daripada data resmi pemerintah.
Laporan penelitian yang dimuat dalam jurnal Nature Climate Change pada akhir Juni lalu itu mengukur pembotakan hutan Indonesia dalam kurun 2000-2012. Hasilnya, enam juta hektare hutan telah pelontos! "Yang kami laporkan itu hanya hutan alam yang hilang," kata Belinda.
Data pembanding lain disampaikan Matthew Hansen, pakar geografi dari Universitas Maryland. Pada 2013, Hansen merilis peta global tentang deforestasi. Menurut dia, Indonesia adalah negara dengan laju pengundulan tercepat. Pada 2012, ada 900 ribu hektare hutan yang hilang di Bumi Pertiwi.
Riset dan peta interaktif berbasis data satelit yang dimuat jurnal Science itu menunjukkan ada 2,3 juta kilometer persegi hutan di negeri ini lenyap sepanjang 2000-2012. Hitung-hitungan Hansen cukup akurat karena memakai satelit dengan resolusi hingga 30 meter.
Selain deforestasi, peta yang dibuat tim Hansen memasukkan hutan yang tumbuh. Dalam rentang 12 tahun, ada sekitar 800 ribu kilometer persegi hutan baru yang tumbuh.
Apa yang membuat angka penggundulan alas itu bisa berbeda-beda? Menurut Belinda, sumbernya adalah perbedaan metodologi dan definisi hutan. Tim Belinda menggunakan metode pemetaan pengindraan jarak jauh untuk mempelajari tutupan hutan (forest cover). Kementerian Kehutanan juga menggunakan citra satelit. Namun tim Belinda melengkapi riset data satelitnya dengan proses digital otomatis.
Kawasan hutan yang diteliti Belinda pun lebih spesifik. "Kami cuma melaporkan hutan alam, sementara Kementerian Kehutanan juga melaporkan jenis-jenis hutan lainnya," kata Belinda, yang juga bekerja di Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan.
Sedangkan riset Hansen lebih bersifat global. Tim Hansen meneliti tutupan pohon (tree cover), yakni konsep yang mengakomodasi wilayah yang tak termasuk kategori hutan alam. "Semua pohon yang tingginya di atas lima meter, entah di hutan alam entah di kebun sawit, pun masuk," kata Belinda. Padahal, untuk negara tropis seperti Indonesia, hutan alam tidak bisa disamakan dengan kategori tutupan lahan lain.
Belinda mendefinisikan hutan adalah tutupan pohon dengan ketinggian minimal 5 meter dan tutupan tajuk 30 persen. Sedangkan hutan primer adalah rimba dengan luas minimal 5 hektare yang memiliki komposisi alami dan strukturnya tidak dirusak dalam rentang 30 tahun. Definisi hutan primer ini, menurut Belinda, bisa menggambarkan kondisi hutan alam.
Perbedaan angka laju deforestasi itu, menurut Heru Prasetyo, menandakan Indonesia harus terbuka soal data. Dia mengatakan Kementerian Kehutanan juga belum pasti dengan angka 450 ribu hektare itu. "Mereka yang benar-benar mengukur dan punya data yang lebih akurat punya angka sekitar 600 ribu hektare, tapi akhirnya 450 ribu itu yang dikeluarkan."
Selisih yang besar juga disebabkan oleh perbedaan konsep deforestasi. Deforestasi kotor (gross deforestation) hanya memperhitungkan berapa besar hutan alam yang hilang. Hal ini sulit terjadi di Indonesia karena wilayahnya yang subur. "Difoto sekali ada deforestasi, tiga bulan lagi sudah tumbuh baru, yang tampak dari satelit itu adalah kanopinya," kata Heru.
Adapun deforestasi bersih dinilai dengan memperhitungkan jenis hutannya. Hutan tanaman industri yang isinya akasia, pinus, dan eukaliptus sudah dianggap belantara. "Padahal dalam beberapa tahun itu pasti dibabat," ujar Heru. Ya, karena semua itu untuk bahan baku bubur kertas.
Heru mengakui teknologi yang dimiliki Kementerian Kehutanan untuk mengukur deforestasi tertinggal ketimbang peneliti lain. Data yang buram, masih diolah secara manual, dan perlu waktu tiga bulan. "Selama periode itu mungkin sudah terjadi deforestasi lagi," kata Heru. Sedangkan teknologi yang lebih bagus bisa meringkas waktu lebih cepat. Setelah melakukan perbaikan, Kementerian Kehutanan akhirnya merilis angka laju deforestasi baru sebesar 720 ribu hektare. Angka itu tidak jauh berbeda dengan riset Belinda dan Hansen.
Helmut Dotzauer, peneliti dari Forclime-GIZ, organisasi asal Jerman, menyebutkan data deforestasi akan dipakai dalam diskusi tentang perubahan iklim dan reduksi di tingkat dunia. Maka sungguh riskan jika angka yang disodorkan ternyata tidak akurat.
Bayangkan, proses penggundulan hutan itu, antara lain, menyebabkan emisi karbon. Bagaimana penanganannya jika data deforestasi tidak tepat? Menurut Forclime-GIZ, yang meneliti deforestasi di hutan Kalimantan, 85 persen emisi karbon itu berasal dari sektor kehutanan. Ini angka yang besar.
Maka jelas, semakin tepat data penggundulan hutan, kian cespleng pula resep penanggulangannya.
Gabriel Wahyu Titiyoga, Mahardika Satria Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo