Dalam Laporan Utama TEMPO, 25 September, disebutkan, menurut sensus tahun 1990, 2,4 juta anak usia 10-14 tahun bekerja. Jumlah itu belum termasuk mereka yang bekerja di sektor informal. Keadaan itu sungguh memprihatinkan. Masa-masa yang seharusnya mereka nikmati di bangku sekolah terpaksa mereka jalani di pabrik, perkebunan, atau di jermal yang terasing di tengah lautan. Itu lebih mengenaskan dengan adanya pihak-pihak tertentu yang mengeksploitasi tenaga kerja murah ini tanpa perlindungan hukum yang jelas dan tegas. Kasus yang mirip ''perbudakan'' bocah ini mengingatkan kita pada masa penjajahan Jepang dan Belanda yang terkenal dengan kerja rodi dan romushanya. Bedanya, mungkin, buruh anak ini tak dipaksa, tapi terpaksa. Buruh anak tak dapat dielakkan karena tuntutan ekonomi, kemiskinan, dan rendahnya tingkat pendidikan dan keahlian. Mereka terpaksa bekerja di sektor-sektor kasar dan kadang- kadang berbahaya. Kasus ini menjadi menarik karena saat ini kita sedang menggalakkan program peningkatan kualitas sumber daya manusia yang tentunya tak lepas dari sektor pendidikan. Terlepas dari itu, ada hal yang lebih penting, yakni menyangkut pengaturan buruh anak. Memang hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 tahun 1987. Tapi sejauh mana kesungguhan dan ketegasan pemerintah dalam merealisasikan konsep itu? Tampaknya, masih banyak pelanggaran yang sangat merugikan buruh anak, sementara majikannya terus mendapat keuntungan yang berlimpah. Terakhir, bagaimanapun juga, anak adalah harapan masa depan yang meneruskan estafet perjuangan bangsa. Peningkatan sumber daya manusia bukan hanya diperuntukkan bagi anak-anak golongan ekonomi menengah ke atas, tapi bagi seluruh anak Indonesia. Juga bagi mereka yang terpaksa terdampar di pabrik, perkebunan, atau di jermal yang terasing di tengah laut. AGUS MAULANA Jalan Kaliurang Km 5,3 No. 12 Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini