Empat warga negeri ini tewas di ujung peluru tentara bangsanya sendiri. Menurut keterangan resmi, 300-500 warga desa unjuk rasa menentang pembangunan Waduk Nipah, Sampang, Madura. Mereka mengacungkan senjata tajam melawan petugas, maka para petugas terpaksa menembak. Secara kultural, rakyat Madura paling takut pada tentara. Beda bila mereka harus melawan sesama pemegang senjata, dikeroyok pun mereka mau melawan. Soalnya, tentara bisa melumpuhkan mereka bahkan menewaskan siapa pun sebelum didekati karena mereka punya senjata api. Silakan tanya kepada pejabat yang pernah bertugas di Madura, khususnya dari lingkungan keamanan dan ketertiban masyarakat, lembaga peradilan atau institusi kemasyarakatan lainnya, niscaya hal ini dibenarkan. Umumnya, mereka patuh kepada pemerintah, apalagi pada kiai-kiai setempat. Informasi dari pihak ABRI dan Pemda Ja-Tim berkesan ahistoris. Keraguan ini disokong oleh hasil investigasi Fraksi Persatuan Pembangunan Sampang dan LBH Surabaya. Versi kedua lembaga ini: rakyat tak bersenjata, jarak rakyat ''pengunjuk rasa'' dengan petugas 200 meter (FPP) atau 125 meter (LBH Surabaya). Keterangan FPP Sampang, saat terjadi insiden, antara rakyat dan petugas dibatasi sungai yang lebarnya 10 meter. Bahkan, konon, pada saat tembakan menyalak, rakyat berteriak nyo'on odi-nyo'on odi minta hidup berkali-kali sambil mengangkat tangan sambil membubarkan diri, namun tetap dikejar. Korban yang meninggal setelah dirawat di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, ternyata ditembus peluru dari punggung ke dada. Itu berarti mereka ditembak dari belakang. Apakah ini fakta ''perlawanan''? Sayangnya, di sini, terjadi kontroversi keterangan, yakni antara pemerintah dan LSM, FPP, dan pers. Untuk tim investigasi dan pencari kerja, juga Bakorstanasda, teruslah menelusuri peristiwa ini dengan tuntas. IR. EDWIN ALDRIANTO Mantan Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Madura Bogor Jalan Banteng 101 - Bogor Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini