Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perlu sensor budaya

Badan sensor film indonesia selain menyensor ade- gan porno, juga alur cerita dan dialog film agar sesuai dengan budaya bangsa, hukum dan undang-un- dang yang berlaku di indonesia.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film Indonesia: Perlu Sensor Budaya Menonton penayangan film cerita akhir pekan Idul Adha yang baru saja berlalu adalah sangat menarik. Karena penampilan figur Pak Guru Wing Ganda, yang patut dijadikan teladan, dan penampilan gadis penakluk, yang hampir sempurna dalam kebagusan akting. Namun sayang sekali, film cerita ini punya "cacat fatal" di mata hukum. Saya heran, Kantor Urusan Agama (KUA) mana yang berani mencatat perkawinan Pak Guru Wing dengan bekas mbak yu iparnya yang ditinggal mati oleh suaminya. Padahal, mbak yu-nya dalam keadaan hamil. Nampaknya, sang wali nikah pun terlalu goblok, yang tidak mengerti adanya "masa idah". Tadinya saya menduga bahwa perkawinan itu terjadi setelah selesai masa idah sang janda, tetapi ternyata tidak. Sebab, sang janda tampil menyatakan bahwa ia adalah istri Pak Guru kepada gadis penakluk, dan terlihat jelas "perutnya besar sekali". Ini berarti bahwa ia kawin dengan Pak Guru dalam masa idah. Inilah yang saya katakan sebagai film yang cacat fatal dalam hukum perkawinan Rl. TVRI juga pernah menampilkan sebuah episode serial film Dokter Sartika. Di sini pasangan dokter ideal ini menampilkan kemarahan besar dan kekesalan sangat kepada sang ibu, yang dengan semangat menggebu-gebu telah membelikan satu setel kursi tamu yang mahal. Sungguh suatu gambaran "ketinggian hati yang berlebihan". Rasanya kok tidak lazim di mata masyarakat Indonesia yang masih tinggi penghormatannya kepada orangtua. Untuk itu, barangkali perlu dipertanyakan sudah paskah penampilan semacam ini dalam budaya ketimuran bangsa kita. Adalah suatu tugas tambahan bagi Badan Sensor Film Nasional kita, bahwa hendaknya film-film nasional kita tidak hanya disensor dari sudut adegan-adegan pornonya. Tetapi sensor ini juga harus dilakukan dari sudut pandang alur cerita dan dialog film, agar sesuai dengan budaya bangsa, hukum, dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita Republik Indonesia ini. Dengan demikian, seperti harapan Menteri Penerangan Harmoko bahwa film nasional kita harus mempunyai misi yang tidak hanya dijadikan tontonan yang enak dilihat, tetapi lebih dari itu adalah juga sebagai tuntunan yang benar dan mendidik masyarakat. NASHRUDDIN SALIM Hakim pada Pengadilan Agama Pontianak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus