Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sengketa di Antara Negeri Serumpun

Kasus pulau sipadan dan ligitan di laut sulawesi membuat hubungan indonesia dan malaysia terganggu. kedua pulau itu disepakati bersifat status quo. gpk dan pendatang haram aceh dipersoalkan.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus Pulau Sipadan bergaung di DPR. Soal GPK, dan pendatang haram, pun diam-diam dipersoalkan. Hubungan Indonesia-Malaysia terganggu? SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Nah, soal ini pula, antara lain, yang gaungnya sampai ke DPR pekan lalu. Soal ini bukan hanya memancing ketidaksenangan beberapa wakil rakyat, tapi juga Menhankam L.B. Moerdani. Dalam kesempatan rapat kerja dengan Komisi I, hari Rabu itu, Moerdani mengkritik Malaysia yang cenderung tidak mengindahkan kesepakatan status quo atas kedua pulau itu, bahkan ceroboh membiarkan daerah tersebut dijadikan obyek pariwisata. Namun, kasus dua pulau itu bukan satu-satunya soal yang akhir-akhir ini mengganggu hubungan dua negeri sesama rumpun Melayu itu. Beberapa anggota DPR menuding Malaysia bersikap kurang menjaga hubungan dengan Indonesia. Antara lain, mengambil sikap tidak simpatik dalam masalah GPK Aceh. "GPK Aceh yang minta suaka politik ke Malaysia itu kan diketahui membawa senjata. Tapi, pemerintah Malaysia malah melepaskan, padahal mereka punya hukum yang tegas untuk kasus seperti ini," ujar anggota dari F-ABRI, Sarifudin. Menlu Ali Alatas dan Kabakin Soedibjo, dalam rapat kerja dengan komisi yang sama esok harinya, mencoba membuat persoalan tidak memanas. Pelarian ke Malaysia itu, kata Alatas, tidak bisa disebut pengungsi, tapi juga bukan GPK. Mereka lebih tepat disebut pendatang tanpa izin yang disepakati akan diselesaikan oleh kedua pemerintah. "Saya belum mendengar seolah-olah Malaysia membebaskan mereka dan membolehkan pergi ke negara lain," tuturnya. Kabakin meyakinkan bahwa 44 pendatang haram ke Malaysia, baru-baru ini, walaupun ada yang membawa senjata M16, bukan GPK Aceh. Mereka, yang sebagian terdiri dari anak-anak dan wanita, adalah orang yang secara tradisional menganggap negara tetangga itu sebagai tempat mencari kehidupan. Sejak Maret lalu, sudah 212 orang Aceh masuk ke Pulau Pinang, Malaysia, dengan tongkang. Tapi yang mencari hidup di negeri semenanjung itu bukan hanya dari Aceh. Sudah lama pemerintah Malaysia sibuk memulangkan pekerja gelap yang datang dari berbagai daerah di Indonesia itu. Minggu lalu, misalnya, 120 tenaga kerja gelap dideportasikan, tapi kapal kayu yang ditumpanginya bertabrakan dengan tanker. Sampai Senin pekan ini, dikabarkan baru 71 yang selamat. Kasus Sipadan dan Ligitan sendiri, bukanlah luka baru dalam hubungan kedua negara. Perundingan penetapan landas kontinen tahun 1969 gagal menetapkan status pemilik kedua pulau tersebut. Indonesia berpendirian, bila garis batas lurus dibuat dari Pulau Sebatik, yang sudah dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu mestinya masuk wilayah Indonesia. Malaysia berpendapat, garis batas itu hanya sampai Pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa diklaim sebagai wilayah Sabah. Karena gagal dicapai kesepakatan, akhirnya, disepakati pulau itu bersifat status quo. Artinya, tidak ada kegiatan apa pun di sana sebelum ada penyelesaian. Namun, Desember 1979, Malaysia mengklaim dua pulau itu sebagai miliknya berdasar peta baru. Walau Indonesia sudah mengirim nota protes, negara tetangga itu menegaskan de facto dan de jure, kedua pulau itu miliknya, meski ada juga kesediaan mereka untuk berunding. Belum lagi perundingan dibuka, Indonesia sudah membuat nota peringatan kembali tahun 1988 karena adanya kegiatan di Sipadan. Perundingan berikutnya Juli 1990, dan Mei lalu, menekankan agar Malaysia tidak melakukan kegiatan di sana. Tampaknya, negara itu sudah memastikan pulau-pulau itu miliknya walaupun mereka masih bersedia membicarakannya lagi pada tingkat menlu, Juli mendatang. "Sepatutnya tak ada lagi persetujuan untuk pulau itu karena kami menganggapnya sudah jelas hak milik Malaysia," kata Menteri Luar Negeri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi kepada Ekram H. Attamimi dari TEMPO, bulan lalu. Badawi mengaku, "Yang berkaitan dengan kesepakatan status quo itu, saya sama sekali tak menemukan dokumennya. Tapi karena sudah berkali-kali dihebohkan, eloklah jika soal ini dibawa ke meja perundingan." Liston P. Siregar, Indrawan, dan Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus