Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Ironi Pertanian tanpa Petani

Upaya regenerasi petani masih berjalan setengah hati. Pertanian Indonesia terancam tanpa petani.

21 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGIAN hasil Sensus Pertanian 2023 (ST23) yang dirilis Badan Pusat Statistik menginformasikan banyak data dan hal-hal penting ihwal perkembangan pertanian Indonesia pada periode 2013-2023. Salah satunya isu regenerasi petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini, isu regenerasi petani dipandang sebelah mata. Akibatnya, upaya mengatasi persoalan tersebut masih setengah hati. Hasil ST23 membuka fakta bahwa pertanian Indonesia mengalami gerontokrasi akut. Tanpa upaya serius membalik kondisi ini, pertanian kita akan makin terpuruk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut ST23, jumlah petani tua makin besar, sebaliknya jumlah petani muda menurun. Dalam satu dekade terakhir, proporsi petani pengelola unit usaha perorangan berusia 55-64 tahun meningkat dari 20,01 persen menjadi 23,3 persen. Begitu juga petani berusia 65 tahun ke atas, proporsinya meningkat dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen.

Sebaliknya, pada periode yang sama, proporsi petani berusia 25-34 menurun dari 11,97 persen menjadi 10,24 persen. Begitu pula petani berusia 35-44 tahun yang proporsinya menurun dari 26,34 persen menjadi 22,08 persen.

Kecenderungan menurunnya jumlah generasi muda memasuki sektor pertanian dalam satu dekade terakhir ini berkebalikan dengan kondisi sepuluh tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari hasil Sensus Pertanian 2013 yang menyebutkan ada kenaikan jumlah generasi muda yang menekuni pertanian dibanding hasil sensus 2003.

Atas kondisi ini, muncullah sejumlah pertanyaan: mengapa generasi muda saat ini kian menjauh dari sektor pertanian? Apa saja faktor yang membuat mereka tak melirik sektor pertanian? Bukankah Kementerian Pertanian memiliki program khusus untuk menarik petani muda? Apa yang generasi muda butuhkan agar mau masuk ke sektor pertanian?

Sensus pertanian tidak menyediakan jawaban atas aneka pertanyaan itu. ST23 menghasilkan daftar lengkap data-data pokok dari setiap unit observasi. Baik direktori unit usaha pertanian, geospasial statistik pertanian dan potensi pertanian menurut wilayah, maupun struktur demografi pengelola usaha pertanian dan lahan pertanian.

Ada pula informasi detail per subsektor: tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan jasa pertanian. Dari data pokok itu, bisa saja dibuat penafsiran mengapa generasi muda kian tak tertarik menekuni pertanian.

Tak Menjanjikan Masa Depan

Bisa saja penurunan minat generasi muda ini dikaitkan dengan populasi petani gurem (mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektare) yang kian besar. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem bertambah dari 14,25 juta menjadi 16,89 juta rumah tangga.

Akibatnya, proporsi rumah tangga petani gurem terhadap total rumah tangga petani naik: dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023. Jumlah petani gurem yang membesar menandai barisan orang miskin di pertanian kian bejibun. Benarkah ini penyebabnya?

Secara spekulatif, generasi muda tidak mau bertani karena sektor ini tidak menjanjikan keuntungan memadai. Lihat saja hasil Survei Ongkos Usaha Tani Padi 2017. Dengan nilai produksi Rp 18,51 juta, ongkos produksi Rp 13,55 juta, dan pendapatan Rp 4,95 juta, keuntungan usaha tani padi sawah hanya 26,76 persen. Jumlah ini malah masih lebih besar dari usaha padi ladang (21,26 persen) dan kedelai (11,95 persen).

Ditilik dari rata-rata lahan yang diusahakan petani, mengacu pada Hasil Survei Pertanian Antar-Sensus/SUTAS (BPS 2018), setidaknya dari 13,1 juta rumah tangga petani padi, sekitar 9,8 juta (75 persen) menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare. Untuk Pulau Jawa, keadaannya lebih memprihatinkan: dari 7,99 juta rumah tangga petani padi, sekitar 6,88 juta (86 persen) menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare.

Artinya, dengan lahan 0,5 hektare, keuntungan petani maksimal hanya Rp 2,4 juta per musim atau Rp 600 ribu per bulan. Namun, menurut hasil SUTAS 2018, rata-rata penguasaan lahan sawah keluarga petani hanya 0,18 hektare. Artinya, pendapatan rata-rata keluarga petani padi hanya Rp 891 ribu per musim atau Rp 222 ribu per bulan.

Nilai ini jelas amat rendah dan dipastikan tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Bagi petani padi dengan luas lahan super-gurem ini, pendapatan dari luar usaha tani justru jauh lebih penting.

Akses terhadap penguasaan lahan yang sulit dan keuntungan ekonomi yang tidak menjanjikan ini bisa ditafsirkan sebagai dua faktor penting yang membuat generasi muda tidak tertarik masuk ke sektor pertanian.

Ketertarikan mereka pada sektor non-pertanian juga ditandai dengan rendahnya produktivitas pertanian per tenaga kerja dibanding non-pertanian. Ujung dari semua ini, pertanian bukan saja identik dengan tua, miskin, dan kumuh, tapi juga tidak menjanjikan alias masa depan suram.

Perlu Survei Lanjutan

Tapi benarkah dua faktor tersebut penyebab utamanya? Jangan-jangan karena centang perenangnya ekosistem hulu-hilir pertanian yang membuat harga bagai roller coaster? Atau akses permodalan yang sulit dan mahal? Karena itu, jika pemerintah dan pemangku kebijakan serius hendak membalik gelombang gerontokrasi petani ini, perlu ada survei lanjutan sebagai tindak lanjut atas hasil ST23.

Survei lanjutan—menggunakan data pokok ST23 yang kemudian menjadi kerangka sampel buat penentuan sampel—dengan kuesioner terinci dan lebih spesifik itu dimaksudkan untuk mencari jawaban atas aneka pertanyaan tersebut. Hasil survei lanjutan ini nantinya menjadi dasar untuk membuat kebijakan. Cara ini menandai praktik kebijakan berbasis bukti.

Langkah ini mendesak untuk dilaksanakan agar program yang tidak membumi serta tak menyentuh akar dan jantung masalah regenerasi petani, seperti program Youth Entrepreneurship and Employment Support Services Kementerian Pertanian, tidak terulang. Perlu solusi segera untuk masalah ini. Jika tidak, fenomena depeasantization ini bakal mengantarkan kita pada kiamat pertanian: petani akan habis. Jika kondisi itu terjadi, kita mesti siap-siap bergantung pada pangan impor.

Fenomena ini diikuti beralihnya lahan-lahan pangan ke tangan korporasi swasta. Dengan kekuatan modal, manajemen, dan jejaring, korporasi mempraktikkan pertanian terintegrasi, berbasis lahan luas, dan monokultur. Model produksi bersalin rupa.

Dengan jejaring luas, korporasi leluasa mengendalikan harga. Mereka mengeruk untung gede. Petani pun berubah status: dari pemilik menjadi buruh tani. Dengan upah murah, mereka bekerja di tanah yang semula miliknya. Ironis: pertanian tanpa petani.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Khudori

Khudori

Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan penulis buku Bulog dan Politik Perberasan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus