SELAMA kampanye menjelang pemilu yang lalu, beberapa jurkam salah satu OPP berulang kali mengemukakan betapa pesatnya kemajuan yang dicapai pembangunan Indonesia selama 20 tahun ini. Apa yang dikemukakan para jurkam itu memang betul. Yang belum pernah dikemukakan, baik oleh para jurkam maupun yang lainnya, adalah keadaan yang bakal dihadapi Indonesia di tahuntahun mendatang ini tidak akan sama dengan 20 tahun yang lalu. Keadaan berubah, dan karena itu tidak ada jaminan bahwa keberhasilan yang sama akan terulang. Penerimaan minyak dan gas bumi, yang selama 20 tahun terakhir ini berperan besar dalam pembangunan Indonesia, akan berubah. Selama beberapa tahun ini tak ada penemuan sumur minyak baru yang berarti. Produksi minyak Indonesia statis, padahal konsumsi BBM di dalam negeri meningkat 15w20% setahun. Bila keadaan ini berlangsung terus, jangan kaget bila lima tahun mendatang Indonesia tak punya minyak lagi untuk diekspor. Kalau demikian, dari mana kita akan mencari dana US$ 11 milyar yang hilang karena kita tak bisa mengekspor minyak lagi? Sekarang pun, tandatanda kekurangan BBM ini sudah mulai terasa. Tahun lalu, kita harus mengeluarkan devisa US$ 400 juta lebih banyak untuk impor migas guna memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Impor migas tahun lalu meningkat 20% menjadi US$ 2,3 milyar. Neraca pembayaran kita, sekalipun sudah ditopang oleh keberhasilan ekspor di luar migas, ternyata masih rawan, dan bisa guncang hanya dengan pembangunan beberapa megaproyek seperti pabrik olefin PT Chandra Asri. Neraca pembayaran juga sudah dibebani oleh cicilan pembayaran utang dan bunga, yang jumlahnya sudah mendekati jumlah pinjaman baru yang diperoleh Pemerintah. Yang bisa menolong neraca pembayaran Indonesia hanya aliran modal yang cukup besar dari luar negeri, baik yang merupakan pinjaman pemerintah maupun sebagai aliran modal swasta. Sayangnya, negaranegara yang selama ini menjadi sumber modal luar negeri Indonesia masih menghadapi masalah yang akan menyita perhatian mereka. Dan ini akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam memberi pinjaman maupun penanaman modal. Kemampuan Jepang untuk memberi bantuan dan menanam modalnya ke luar negeri, terutama ke Asia, bukan tanpa batas. Rontoknya industri properti dan harga saham di bursa saham Tokyo tempo hari telah mengurangi keuntungan dan modal, dan dengan demikian kemampuan bankbank dan perusahaan Jepang untuk melakukan investasi di luar negeri. Kekhawatiran industri Jepang terhadap pembentukan blokblok ekonomi di Eropa Barat dan AS menyebabkan sebagian besar modal Jepang mengalir ke sana, karena industri Jepang merasa bahwa mendirikan pabrikpabriknya di sana lebih aman daripada mengekspor barangnya dari Jepang yang mengandung risiko akan dihadang dengan berbagai hambatan tarif dan nontarif. Membaiknya hubungan Jepang dan Rusia, setelah berakhirnya perang dingin, membuka peluang Jepang untuk masuk Siberia, satu daerah yang selama ini menggoda Jepang karena kekayaan sumber bahan mentahnya seperti minyak, kayu, dan berbagai barang tambang lainnya. Dan Rusia sendiri memang sangat menginginkan modal Jepang segera mengalir ke sana. Penyatuan kembali Korea Selatan dan Utara akan memberi prospek ekonomi yang cukup menarik, yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh industriindustri Jepang. Dengan keadaan ini, masih maukah Jepang memperhatikan negaranegara di Asia Tenggara? Bagi Indonesia, Jepang merupakan pemberi bantuan terbesar. Jepang merupakan penanam modal terbesar. Dan Jepang merupakan pembeli ekspor terbesar Indonesia. Jepang tanpa disadari merupakan penggerak utama mesin perekonomian Indonesia selama ini. AS dan Eropa Barat akan lebih sibuk membenahi rumah tangganya sendiri. Mereka akan disibukkan oleh masalah pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial, imigran, golongan minoritas, dan pelayanan sosial dan pendidikan yang semakin merosot. Eropa Barat masih akan sibuk membereskan urusan pembentukan pasar tunggal Eropa. Jerman Barat masih bergulat dengan penyatuan Jerman Timur yang sangat mahal itu. Tetangganya, Rusia dan negara Eropa Timur lainnya, memerlukan US$ 30 milyar untuk membangun kembali perekonomiannya yang porakporanda, satu tuntutan yang tidak akan dapat diabaikan begitu saja oleh Eropa Barat. Mereka, seperti juga Jepang, tidak dapat diharapkan akan terus mau mengucurkan modal dan bantuan luar negeri seperti yang mereka lakukan selama ini. Sedangkan modal yang akan masuk pun kini sudah bersikap jual mahal. Para negara donor, sebelum memberi komitmen pinjaman, akan melakukan "interogasi" negara penerima tentang halhal yang dulunya tak pernah ditanyakan, seperti lingkungan hidup dan hakhak asasi manusia. Modal swastanya akan menuntut perlakuan yang lebih istimewa lagi. Dan memang sebaiknya Indonesia bersedia memenuhi tuntutan mereka ini. Soalnya, taruhannya tidak kecil. Dengan defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran yang sudah melewati US$ 4 milyar itu, dan di mana pinjaman baru Pemerintah akan habis untuk membayar kembali cicilan utang, nasib neraca pembayaran Indonesia akan berada di tangan PMA. Peraturan Pemerintah Nomor 17/1992, yang membuka pintu lebih lebar kepada PMA, menunjukkan betapa Pemerintah telah memandang dengan serius masalah penanaman modal asing di sini. Namun, PP tersebut mengandung risiko too little too late. Soalnya, saingan yang dihadapi Indonesia untuk memperebutkan PMA makin keras. Saingan tidak berasal dari anggota ASEAN lainnya, tapi juga berasal dari negara lain seperti Vietnam dan Bangladesh, yang sudah mempromosikan kekuatan mereka. India pun bertahuntahun sangat phobie terhadap PMA. Belum lagi menghadapi saingan Guang Dong, dan Fujian di RRC, yang merupakan magnet PMA yang sulit ditandingi. Semua ini mengisyaratkan, betapa makin kerasnya persaingan memperebutkan PMA. Selama kampanye belum banyak yang mengingatkan bahwa situasi internasional yang bakal dihadapi Indonesia makin keras. Dan pesta demokrasi itu sudah berakhir. Dan akan berakhir pula pesta uang minyak dan pesta utang luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini