JARINGAN media massa internasional bisa membuat seseorang menjadi populer dengan sangat mudah. Ini yang dialami Edwin Bayron, seorang perawat homoseksual berusia 32 tahun asal Malaybalay, Provinsi Bukidnon 840 km di selatan Manila, Filipina. Beberapa pekan lalu, gambar Carlo panggilan akrab Bayron terpampang di hampir semua media massa dunia. Ia terkenal dalam sekejap sebagai "pria yang bisa hamil". Berita kehamilan Carlo ini berhasil mengalihkan perhatian dunia dari pemilu Filipina yang sedang ramairamainya. Siapa yang tak heran mendengar kabar ada lakilaki hamil enam bulan? Secara rinci Carlo menceritakan riwayat medisnya terhadap setiap wartawan yang datang mewawancarainya. Dikatakannya, janin yang dikandungnya buah hubungan kumpul kebo selama dua tahun dengan lelaki pasangannya yang berusia 21 tahun. Keterangan hamilnya itu diperkuat hasil pemeriksaan ultrasonografi, yang menemukan janin lakilaki di dalam perutnya. Disebutkan pula, Carlo seorang hermafrodit lahir dengan kelamin ganda. Tahun 1988, setelah perawatan hormonal, ia menjalani operasi kelamin untuk membuka saluran vaginanya. Begitu kabar ini tersiar, media internasional mengarahkan liputannya ke situ. Gambar Carlo terpampang di televisi, dan dari sini menyebar ke suratsurat kabar terkemuka. Sejumlah media pun berebut membeli peliputan eksklusif "pria melahirkan" yang diperkirakan jatuh pada 17 Agustus 1992. Kanehan itu pekan lalu berbalik menjadi "drama" penyebaran kebohongan ketika terungkap kehamilan Carlo ternyata tidak benar. Carlo sengaja berbohong dengan tujuan menggolkan permohonannya mengubah status jenis kelaminnya di pengadilan setempat. Dokter Clarita Paggao, direktur rumah sakit Bukidnon tempat Carlo bekerja menyebutkan, penipuan Carlo dirancang dengan rapi. Carlo yang perawat memang menguasai selukbeluk medis. Paggao menduga, Carlo menggunakan air seni orang lain untuk keperluan pemeriksaan kehamilannya. Soal hasil penginderaan ultra sound, Paggao mengatakan, penyuntikanpenyuntikan hormon dan kontrol otot memang bisa menimbulkan gerakan yang ada dalam perut Carlo. Dan berdasarkan pemeriksaan fisik, Paggao yakin Carlo seorang lakilaki, tidak hermafrodit dan tak punya sejarah operasi ganti kelamin. "Ia telah menipu dunia untuk kepentingan diri sendiri," komentar Paggao. Namun, yang lebih dramatis dari sekadar penipuan Carlo, peristiwanya menunjukkan betapa dahsyatnya arus globalisasi informasi saat ini. Dunia terasa menjadi sebuah kesatuan kecil. Catatan menunjukkan, tak kurang dari 118 satelit komunikasi kini bertengger di sekitar geostationary orbit. Dasar laut pun sarat oleh serat optik penghubung komunikasi antarnegara. Maka jarak dan waktu menjadi nisbi. Secara teknologis, jarak JakartawWashington, misalnya, tak berbeda dengan jarak JakartawBandung. Jadi, tak mengherankan jika kita ikutikutan terkejut ketika Magic Johnson, yang berada nun jauh di Amerika, terkena AIDS. Atau ikut resah mendengar kerusuhan rasial Los Angeles. Globalisasi informasi tanpa kita sadari telah menjadi kenyataan seharihari. Dunia kepedulian kita tibatiba menjadi sangat luas. Kejadian di lobang semut di sesuatu tempat kini bisa diketahui serentak ke seluruh dunia. Kita baru menyadari betapa jaringan pemberitaan itu mahaluas bila ada kebohongan masuk ke jalur komunikasi ini. Berita sensasi, yang sebenarnya tak ada gunanya, telah tersebar sangat luas dan sebuah kebohongan menjadi terasa sangat besar. Siapakah yang harus disalahkan? Menurut ahli komunikasi massa Universitas Padjadjaran Dr. Jalaluddin Rakhmat, dalam kasus Carlo, media massanya tak bisa sertamerta disalahkan. "Saya kira itu sebuah kekeliruan jurnalistik yang wajar karena yang disiarkan adalah fakta. Di sini sumbernya yang menipu, bukan medianya," katanya kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Namun, Jalaluddin mengakui tidak semua berita berasal dari fakta murni. Ada berita yang faktanya dimanipulasi. Ini beritaberita yang "dipoles" sesuai dengan suatu tujuan. Contoh terakhir, Jalal menunjuk beritaberita kampanye yang disiarkan televisi menjelang pemilu lalu. Ada yang disorot secara close up sehingga terlihat pengunjung membludak, tapi ada juga yang disorot dari jauh sehingga terlihat lapangan kosong. Menurut Jalal, kemungkinan besar kasus seperti Carlo akan bermunculan. Ini karena ada kecenderungan umum di dunia, orang ingin terkenal dengan memanfaatkan kecanggihan media massa. Dalam ilmu komunikasi disebut gimmicks, peristiwa buatan untuk menarik perhatian orang. Di sisi lain, media massa juga tidak selalu cermat, dan juga suka pada berita ringan yang sensasional. Jadi mudah terpancing. Untuk yang telanjur menyiarkan berita bohong, kolumnis itu menyarankan agar media itu menyiarkan ralatnya. Sebab ini prinsip kode etik jurnalistik yang berlaku universal. "Saya lihat jaringan televisi CNN sudah melakukan itu. Kita memang harus bersikap fair dan jujur," katanya. Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini