TIBA-TIBA saja pengendara mobil pesiar itu menginjak abar.
Padahal sebenarnya tak ada maksud untuk singgah di dusun ini. Ya
siapa mengira bakal melihat kedai semeriah itu di sini.
Maka turunlah pelancong-pelancong itu, lengkap dengan baju
belangnya, kasut kikernya, tesmak taramnya, dan tentu saja juga
alat jeprat-jepretnya. "Yak, pasang jurus Cikalong semua! . . ."
Prat-pret.
Mata-mata metropolitan itu belodok melihati pajangan benda-benda
berukir di kedai. Alangkah eloknya semua. Dusun ini jelek-jelek
kenapa bisa punya barang-barang seperti ini ya. Ada centong
nasi, kelamdan, sandaran buku, bingkai gambar, dan daun pintu
hias. Pembuatnya jelas mahir sekali. Rapi pekerjaannya, pelik
dan muskil ukirannya. "Bagus juga nih buat diangkut ke rumah,"
bisik Gumenak Sigrong seraya membelai sang daun pintu. "Kalau
ini dipasang di kamar tamu, kita pasti dikira kerabat keraton,"
menung Rukmi.
Ya, dalam menungan Rukmi sudah terbayang satu sandiwara. Kalau
kawan-kawannya berkunjung ke balai mentora Rukmi nanti, dia
misalnya akan mendesus: "Pss .... pss ... nama asli saya
sebetulnya Rukminingrat lho, tapi berhubung sekarang ini zaman
pemerataan delapan dulur dan zaman kemanunggalan dulur-dulur,
maka saya jadi Rukmi Parongpong. Mengerti? Tokoh-tokoh zaman
dulu saja sudah mengambil nama-nama seperti Kebo Anabrang, Gajah
Mada, Banyak Wide, Lembu Tal, Ular Sanca dan sebagainya." Dan
kawan-kawan pasti akan bertambah takzim kepada Rukmi
sekulawangsa. Maka dipikir-pikir, pintu dusun ini bisa menjadi
jalan paling murah untuk mengangkat harkat ke perawangan. Ya,
murah! Murah! Hurraaaaa ....!
Soal-soal keratuan tak ada dalam kepala Jabung Tumalupung. Dia
memang selalu bilang bahwa dia itu seniman pen-dekar rakyat. Dan
kalau mau cari nama, gampang. Bikinlah kejutan, katanya selalu.
Tentu saja pintu berukir ini sama sekali bukan kejutan. Mana ada
orang dusun bikin kejutan, bukan? Tapi Jabung harus mengakui
bahwa kawan-kawan akan melongo juga kalau melihat pintu ini
nanti.
-- Pak, siapa yang mengukir ini?
-- Ya saya ini tukang ukirnya.
Bung Jabung tergemap. Disimaknya pak Mulung Kuntung ini dari
kepala ke kaki. Pengluas penunggu kedai ini ternyata cuma celana
kotong yang lusuh-kumuh. Hmm . . . Dan orang seperti ini bisa
mengukir gapura? Hmm . . . !
-- Berapa ini harganya pak?
-- Seratus ribu. Kemarin juga ada bule yang bayar segitu.
-- Huh bule . . . ! Mana dia tahu bahwa pak Kuntung ini tukang.
-- Kata dia saya ini . . . eh . . . uh . . . artis. Apa itu sih
mas?
-- Artis itu ya seniman. Tapi bapak itu tukang, bukan seniman.
-- Seniman itu apa mas?
-- Wah, bapak ini bagaimana to. Seniman itu orang yang paling
tinggi dan paling terkenal. Seniman itu cuma ada di kota besar.
Di dusun tidak ada. Dan kerjanya juga bikin barang-barang bagus
seperti pintu ini, cuma bukan pintu.
-- Lha bedanya tukang dan seniman itu apa?
-- Seniman itu tidak bikin ukiran dan tidak bikin pintu dan
centong dan cerek dan barang pakai lainnya. Gengsi dong. Dan dia
itu suka baca koran dan bisa baca buku. Tukang bisanya apa
....!?
-- Oo, begitu . . . Baiklah. Ini pintu bagaimana? Mau beli?
-- Ya mau tapi jangan seratus ribu dong. Itu kan harga karya
seni.
-- Lha pintu ini mesti pakai harga apa?
-- Ya karena barang ini bukan bikinan seniman, tapi bikinan
pengrajin, maka ....
-- Pengrajin itu apa sih mas?
-- Wah, bapak ini . . . Begini lho. Kalau kita di kota sih
menyebut bapak ini 'pengrajin', soalnya bapak ini orang dusun,
benar? Di sini bapak namanya 'tukang', benar? Ya pengrajin itu
sama dengan tukang. Nah, jadi harga pintu ini tidak bisa harga
seniman, tapi mesti harga tukang. Artinya, lima ribu rupiah,
setuju?
-- Wehh . . . kalau begitu enakan jadi seniman.
-- Enak bagaimana! Dia itu mesti pameran dulu, dan pameran seni
itu susah lho pak. Saya saja belum bisa.
-- Lha ini semua ukiran saya saban hari kok bisa saya pamerkan,
susahnya apa?
-- Huss . . .! Yang namanya pameran itu mesti di galeri! Pameran
kok di warung! Ini sih namanya jualan!
-- Woo . . . jadi galeri itu bukan tempat jualan . . . Lantas
kalau mau jual satu juta itu di mana?
-- Ya harus di warung dong!
Hehehehehe ! . . . Saya juga jualan di warung . . . ! Begini
mas, bagaimana kalau pintu saya ini dipamerkan di galeri dulu,
lantas dibawa ke warung. Siapa tahu nanti bisa laku satu juta
....
-- Ooo tidak bissaa! Galeri itu cuma buat karya seni. Karya
tukang dan pengrajin mesti langsung dibawa ke pasar Babatan dan
kaki lima. Memang dalam hidup ini tiap orang punya nasibnya dan
tempatnya sendiri-sendiri, jadi harus tahu diri, dan memang
sudah nasib bahwa bapak itu namanya bukan seniman tapi tukang,
jadi buat bapak nggak ada hadiah seni dan pameran seni dan
macam-macam yang seni-seni, mengerti pak? Seniman tidak dagangan
di dusun, jadi tukang jangan nangkring di galeri, mengerti pak?
-- Mengerti, dan terima kasih atas wejangan mas, maka buat mas
pintu ini cuma seratus ribu saja.
-- Waddduuhh! ! . . . Bapak ini kenapa belum mengerti saja sih?
Kalau bapak beli lukisan saya, itu seratus ribu. Kalau saya beli
pintu bapak, itu mesti lima ribu, maka itu bapak jangan pasang
harga bule, sebab kita ini bangsa Indonesia, dan bule-bule itu
pengacau semua, pengacau!, penga ....
Dotdolitdoot . . .! Dotdolitdoot . . .! "Hayo ei, Jabung
berangkat! Percuma ngomong sama tukang! Dia ngimpi doang! Pengin
jadi orang kaya! Pengin jadi seniman! Kita cari di toko lain
saja!"
Mesin menderam-deram. Kaki marah menancapi gas sampai
melangsi-langsi. Penasaran Jabung belum habis. Masih sempat dia
bertengking ke arah kedai: "Tambah seribu pak! Banyak tuh!
Berani nggak?!"
Bibir Mulung menyimpul senyum. Dodolitbret pun membingkas enyah
dari desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini