Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pintu untuk keraton

Tukang ukir disebut juga pengrajin, hasil karyanya tidak disimpan, dijual dan dihargai sama dengan hasil karya seniman. hasil karya seniman dinilai lebih tinggi, turis asing lebih menghargai pengrajin.

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA saja pengendara mobil pesiar itu menginjak abar. Padahal sebenarnya tak ada maksud untuk singgah di dusun ini. Ya siapa mengira bakal melihat kedai semeriah itu di sini. Maka turunlah pelancong-pelancong itu, lengkap dengan baju belangnya, kasut kikernya, tesmak taramnya, dan tentu saja juga alat jeprat-jepretnya. "Yak, pasang jurus Cikalong semua! . . ." Prat-pret. Mata-mata metropolitan itu belodok melihati pajangan benda-benda berukir di kedai. Alangkah eloknya semua. Dusun ini jelek-jelek kenapa bisa punya barang-barang seperti ini ya. Ada centong nasi, kelamdan, sandaran buku, bingkai gambar, dan daun pintu hias. Pembuatnya jelas mahir sekali. Rapi pekerjaannya, pelik dan muskil ukirannya. "Bagus juga nih buat diangkut ke rumah," bisik Gumenak Sigrong seraya membelai sang daun pintu. "Kalau ini dipasang di kamar tamu, kita pasti dikira kerabat keraton," menung Rukmi. Ya, dalam menungan Rukmi sudah terbayang satu sandiwara. Kalau kawan-kawannya berkunjung ke balai mentora Rukmi nanti, dia misalnya akan mendesus: "Pss .... pss ... nama asli saya sebetulnya Rukminingrat lho, tapi berhubung sekarang ini zaman pemerataan delapan dulur dan zaman kemanunggalan dulur-dulur, maka saya jadi Rukmi Parongpong. Mengerti? Tokoh-tokoh zaman dulu saja sudah mengambil nama-nama seperti Kebo Anabrang, Gajah Mada, Banyak Wide, Lembu Tal, Ular Sanca dan sebagainya." Dan kawan-kawan pasti akan bertambah takzim kepada Rukmi sekulawangsa. Maka dipikir-pikir, pintu dusun ini bisa menjadi jalan paling murah untuk mengangkat harkat ke perawangan. Ya, murah! Murah! Hurraaaaa ....! Soal-soal keratuan tak ada dalam kepala Jabung Tumalupung. Dia memang selalu bilang bahwa dia itu seniman pen-dekar rakyat. Dan kalau mau cari nama, gampang. Bikinlah kejutan, katanya selalu. Tentu saja pintu berukir ini sama sekali bukan kejutan. Mana ada orang dusun bikin kejutan, bukan? Tapi Jabung harus mengakui bahwa kawan-kawan akan melongo juga kalau melihat pintu ini nanti. -- Pak, siapa yang mengukir ini? -- Ya saya ini tukang ukirnya. Bung Jabung tergemap. Disimaknya pak Mulung Kuntung ini dari kepala ke kaki. Pengluas penunggu kedai ini ternyata cuma celana kotong yang lusuh-kumuh. Hmm . . . Dan orang seperti ini bisa mengukir gapura? Hmm . . . ! -- Berapa ini harganya pak? -- Seratus ribu. Kemarin juga ada bule yang bayar segitu. -- Huh bule . . . ! Mana dia tahu bahwa pak Kuntung ini tukang. -- Kata dia saya ini . . . eh . . . uh . . . artis. Apa itu sih mas? -- Artis itu ya seniman. Tapi bapak itu tukang, bukan seniman. -- Seniman itu apa mas? -- Wah, bapak ini bagaimana to. Seniman itu orang yang paling tinggi dan paling terkenal. Seniman itu cuma ada di kota besar. Di dusun tidak ada. Dan kerjanya juga bikin barang-barang bagus seperti pintu ini, cuma bukan pintu. -- Lha bedanya tukang dan seniman itu apa? -- Seniman itu tidak bikin ukiran dan tidak bikin pintu dan centong dan cerek dan barang pakai lainnya. Gengsi dong. Dan dia itu suka baca koran dan bisa baca buku. Tukang bisanya apa ....!? -- Oo, begitu . . . Baiklah. Ini pintu bagaimana? Mau beli? -- Ya mau tapi jangan seratus ribu dong. Itu kan harga karya seni. -- Lha pintu ini mesti pakai harga apa? -- Ya karena barang ini bukan bikinan seniman, tapi bikinan pengrajin, maka .... -- Pengrajin itu apa sih mas? -- Wah, bapak ini . . . Begini lho. Kalau kita di kota sih menyebut bapak ini 'pengrajin', soalnya bapak ini orang dusun, benar? Di sini bapak namanya 'tukang', benar? Ya pengrajin itu sama dengan tukang. Nah, jadi harga pintu ini tidak bisa harga seniman, tapi mesti harga tukang. Artinya, lima ribu rupiah, setuju? -- Wehh . . . kalau begitu enakan jadi seniman. -- Enak bagaimana! Dia itu mesti pameran dulu, dan pameran seni itu susah lho pak. Saya saja belum bisa. -- Lha ini semua ukiran saya saban hari kok bisa saya pamerkan, susahnya apa? -- Huss . . .! Yang namanya pameran itu mesti di galeri! Pameran kok di warung! Ini sih namanya jualan! -- Woo . . . jadi galeri itu bukan tempat jualan . . . Lantas kalau mau jual satu juta itu di mana? -- Ya harus di warung dong! Hehehehehe ! . . . Saya juga jualan di warung . . . ! Begini mas, bagaimana kalau pintu saya ini dipamerkan di galeri dulu, lantas dibawa ke warung. Siapa tahu nanti bisa laku satu juta .... -- Ooo tidak bissaa! Galeri itu cuma buat karya seni. Karya tukang dan pengrajin mesti langsung dibawa ke pasar Babatan dan kaki lima. Memang dalam hidup ini tiap orang punya nasibnya dan tempatnya sendiri-sendiri, jadi harus tahu diri, dan memang sudah nasib bahwa bapak itu namanya bukan seniman tapi tukang, jadi buat bapak nggak ada hadiah seni dan pameran seni dan macam-macam yang seni-seni, mengerti pak? Seniman tidak dagangan di dusun, jadi tukang jangan nangkring di galeri, mengerti pak? -- Mengerti, dan terima kasih atas wejangan mas, maka buat mas pintu ini cuma seratus ribu saja. -- Waddduuhh! ! . . . Bapak ini kenapa belum mengerti saja sih? Kalau bapak beli lukisan saya, itu seratus ribu. Kalau saya beli pintu bapak, itu mesti lima ribu, maka itu bapak jangan pasang harga bule, sebab kita ini bangsa Indonesia, dan bule-bule itu pengacau semua, pengacau!, penga .... Dotdolitdoot . . .! Dotdolitdoot . . .! "Hayo ei, Jabung berangkat! Percuma ngomong sama tukang! Dia ngimpi doang! Pengin jadi orang kaya! Pengin jadi seniman! Kita cari di toko lain saja!" Mesin menderam-deram. Kaki marah menancapi gas sampai melangsi-langsi. Penasaran Jabung belum habis. Masih sempat dia bertengking ke arah kedai: "Tambah seribu pak! Banyak tuh! Berani nggak?!" Bibir Mulung menyimpul senyum. Dodolitbret pun membingkas enyah dari desa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus