Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mieske, saya butuh celana dalam. Juga sepasang piyama. Sekarang saya hanya punya dua setel, keduanya sudah usang pula. Selain itu, keduanya terlalu kasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
(Pesan Sutan Sjahrir dalam sepucuk surat dari pembuangan di Boven Digoel kepada Maria Duchateau, istrinya, di Belanda, 9 November 1935.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA pentingnya celana dalam, piyama, dan setelan dari Belanda untuk seorang tahanan yang menghabiskan hari-harinya dengan membaca buku di kamp pembuangan? Mrázek menulis: Di wilayah tropis Hindia, di tengah hutan New Guinea yang lembap dan panas, setiap potong busana modern, yang berarti Barat, terlihat demikian sublim dan mentereng. Sepasang sepatu dan sepotong jaket adalah pernyataan yang jauh lebih lantang daripada yang dikumandangkan di Eropa modern dan koloni modern (Mrázek, 2022).
Busana merupakan denominasi paling penting dari kultur orang buangan selain buku, musik, dan olahraga. Melalui busana, identitas diri diproyeksikan ke luar. Busana adalah senjata dalam berhadapan dengan dunia dan keterasingan. Sebagian orang menggunakan pakaian untuk menyatakan karakter dan keterikatan pada lingkungan, tapi sebagian yang lain menggunakan pakaian untuk menantang norma dominan di masyarakat.
Bagi Mrázek, busana juga dipakai sebagai teropong untuk melihat bagaimana modernitas menerobos alas dan sungai serta mengubah identitas orang Papua yang sebelumnya menampakkan diri sebagai “naked figure” menjadi pesolek. Namun, uniknya, perubahan itu bukanlah alur linear yang mekanistis. Memoar seorang penghuni kamp lain mengisahkan bagaimana pakaian diterima sekaligus ditolak oleh seorang pekerja orang asli Papua. Dikisahkan, selama berada di kamp, si pekerja diberi kemeja dan celana pendek, tapi tiap kali hendak pulang ke keluarganya di hutan: “...dia mengembalikan celana pendek dan kemeja itu, lalu lari sambil bertelanjang ria ke rumahnya seperti yang sudah-sudah”.
Dua dekade setelah surat Sjahrir, di tanah yang sama, seorang antropolog bernama J.W. Schoorl, yang meneliti suku Muyu di Boven Digoel, mencatat munculnya “Gerakan Keselamatan” yang dipimpin oleh seseorang bernama Kuram. Schoorl menulis: Permulaan gerakan itu terjadi karena pengalaman Kuram pada bulan April 1943, ketika arwah yang bernama Nelih mengunjunginya, dan berjanji akan menunjukkan jalan ke arah kemajuan, pengetahuan, dan kekayaan untuk daerah dan penduduk di Nugini Selatan. “Allah Yang Mahakuasa Sendiri” yang akan mengadakan peraturan baru. Orang-orang Muyu yang ikut dalam gerakan itu akan belajar bagaimana menghubungi arwah orang mati, khususnya orang Amerika (Schoorl, 1997). Kurang jelas apa persisnya yang hendak diperjuangkan si Kuram melalui gerakan ini. Yang menarik, ia mencampuradukkan elemen-elemen yang paling tak mungkin ke dalam satu pernyataan politik dengan enteng: mimpi, identitas, arwah nenek moyang, dan tiba-tiba arwah orang Amerika.
Nyaris satu abad sejak pembuangan Sjahrir, modernitas kembali menerobos Digoel, tapi bukan dalam rupa piyama, sepatu, dan buku, melainkan dalam bentuk industri, kebun, dan kekuatan negara modern. Berhadapan dengan kamp Belanda, piyama, jas, dan sepatu, orang-orang asli Digoel dulu masih bisa bersiasat. Berhadapan dengan negara, industri, dan deforestasi, mereka kelihatan tak kuat (Laksmi Adriani Savitri dkk, 2023). Di sini modernitas hadir bukan sebagai jembatan episodik, melainkan bencana. Mesin pencacah yang menceraikan manusia dari alam, mengklasifikasi sekaligus menyeragamkan secara kasar tujuan-tujuan hidup dan kebudayaan yang semestinya beragam.
Di dalam Sjahrir modernitas dilambangkan dalam piyama dan celana dalamnya yang dikirim dari Belanda: setahun-dua tahun robek, lusuh, dan diganti baru—sesuatu yang mentereng tapi dengan cepat usang oleh keadaan. Bagi orang Kaja-Kaja Boven Digoel yang ditulis Mrázek, modernitas dipakai hanya saat berhadapan dengan sang majikan, tapi ditanggalkan saat ia mesti kembali ke hutan dan keluarganya. Ini barangkali metafora yang paling pas untuk memahami sifat-sifat nasionalisme ganda di Papua. Modernitas juga nasionalisme selamanya adalah jembatan, bukan tujuan.
Di Papua, kini modernitas dipakai laksana diktat pelajaran yang kaku. Jangan-jangan kekerasan, kemiskinan, dan keterbelakangan di Papua lebih banyak disebabkan oleh cara pandang kita akan modernitas yang tak lentur, sehingga mengesampingkan variasi dan hibriditas dalam kehidupan.
Dari masa lalu, kita memahami denyut lain dari modernitas yang lebih lentur. Ia bukan gerak linear ke satu arah, melainkan gerak bolak-balik yang tak bisa diprediksi. Modernitas juga bukan klasifikasi yang rigid antara alam dan manusia, antara yang mati dan yang hidup, antara yang spiritual dan yang material, atau antara identitas satu nenek moyang suku Muyu dan “arwah orang Amerika” dan gending Jawa. “No one has ever been modern, there has never been a modern world,” kata Bruno Latour.
Kita harus memaknai nasionalisme secara lebih rileks, supaya republik tumbuh lebih kuat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Piyama dari Digoel"