Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI sudah diduga, kereta cepat Jakarta-Bandung senilai Rp 108 triliun kini menjadi sumur tanpa dasar bagi Indonesia. PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang mendapat mandat pemerintah memimpin proyek strategis nasional ini, tenggelam dalam rentetan masalah tak berujung. Celakanya, setiap upaya penyelamatan perseroan itu kini justru menimbulkan petaka lebih besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manuver KAI memangkas layanan Argo Parahyangan pada akhir Januari 2024 menjadi contoh. Jadwal kereta api rute Stasiun Gambir-Stasiun Bandung itu tinggal enam perjalanan per hari dari 14 perjalanan. Manajemen KAI mengklaim keputusan itu mereka ambil karena penambahan dua kereta baru, yakni Papandayan (Jakarta-Garut) dan Pangandaran (Jakarta-Banjar). Tapi, sebenarnya, pemangkasan jadwal Argo Parahyangan dipicu kinerja Whoosh—nama kereta cepat Jakarta-Bandung—yang tak membaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak kereta cepat itu beroperasi komersial pada 17 Oktober 2023 sampai awal Februari 2024, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) hanya menjual 1,57 juta tiket. Artinya, Whoosh melayani rata-rata 15 ribu penumpang sehari, jauh dari target 30 ribu. Keuangan KAI pada akhirnya berdarah-darah karena menomboki biaya operasional konsorsium badan usaha milik negara Indonesia dan Cina yang menjadi anak usahanya tersebut. KAI juga harus menanggung pembayaran sebagian besar utang proyek kereta cepat.
Utak-atik jadwal kereta terlihat sebagai strategi yang masuk akal. Lenyapnya jadwal perjalanan Argo Parahyangan, terutama pada jam premium, akan mengalihkan penumpang ke layanan Whoosh. Namun skenario itu agaknya hanya ada di angan-angan manajemen KAI. Liputan majalah ini menemukan sebagian pengguna Argo Parahyangan beralih ke layanan mobil travel lintas jalan tol Cipularang. Misi meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan kereta api untuk mengurangi kepadatan jalan raya, yang boros emisi, terancam berantakan.
Argo Parahyangan, juga penumpang setianya, bukan satu-satunya korban jebakan Whoosh. Pada akhir Januari 2024, KAI memutuskan membeli tiga rangkaian kereta komuter senilai Rp 783 miliar buatan CRRC Qingdao Sifang Co Ltd untuk menggantikan unit tua kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek.
PT Kereta Commuter Indonesia, anak usaha KAI, berdalih memilih tawaran Cina karena lebih efisien dibanding proposal serupa dari Jepang dan Korea Selatan. Lagi-lagi kuat diduga keputusan ini bagian dari negosiasi agar KAI mendapatkan kepastian pinjaman dari Bank Pembangunan Cina (CDB) untuk membiayai cost overrun Whoosh.
Keputusan itu bisa menimbulkan problem baru. KAI akan kembali terbebani biaya pemeliharaan serta pengadaan peralatan anyar mengingat spesifikasi kereta komuter buatan Cina berbeda dengan rangkaian KRL selama ini. Bukan tidak mungkin gunungan beban keuangan ini berujung memburuknya kualitas layanan kereta yang sudah bagus.
Adakah jalan keluar dari sumur tanpa dasar yang digali Presiden Joko Widodo itu? Jawabannya lebih membuat cemas. Masalah utama Whoosh adalah keputusan serampangan membangun kereta cepat mahal dengan rute jarak pendek. Karena itu, pemerintah berancang-ancang memperpanjang trayek lewat proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. Kita tahu, proyek baru yang diincar Cina ini kelak menjadi kuburan bagi layanan perkeretaapian dan ekonomi Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sumur tanpa Dasar Kereta Cepat"