Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMUS Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima cetak (2018) mengartikan bantuan sebagai “barang yang dipakai untuk membantu, pertolongan, sokongan”. KBBI juga memberikan ragam bantuan, seperti bantuan humaniter, luar negeri, lunak, militer, modal, pangan, pengetahuan, dan teknik. Dari ragam ini, bisa dipahami bahwa bantuan sifatnya memang tidak abadi, temporal, dan bisa terputus kapan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam suasana Pemilihan Umum 2024, istilah bantuan mencuat sebagai senjata politik yang dianggap jitu secara harfiah ataupun kebahasaan. Istilah itu sering muncul dalam debat calon presiden, wawancara politikus, atau slogan di baliho kampanye. Pemerintah pun merasa sudah menunaikan tugasnya jika punya program kerja bercap “bantuan”, seperti bantuan sosial, bantuan pangan nontunai, bantuan kesehatan, hingga (mungkin) makan siang gratis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika persepsi pemerintah dan calon pejabat tentang bantuan atau membantu masih seperti itu, upaya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan akan terus menjadi janji kosong. Anda barangkali masih ingat debat calon presiden ihwal bantuan sosial di Komisi Pemilihan Umum pada 4 Februari 2024. Salah satu calon mengatakan, “Tugas negara itu menciptakan keadilan sosial, bukan menciptakan bantuan sosial.”
Pemerintah rupanya menganggap dirinya cukup “membantu” mengatasi alih-alih “menyelesaikan” masalah. Istilah “bantuan pemerintah” pun sebenarnya norak. Toh, Presiden Joko Widodo, misalnya, tidak benar-benar membantu dari kantong pribadinya, tapi momentum pemberian bantuan kerap dimanfaatkan. “Jadi tolong Ibu bicara 'terima kasih, Pak Jokowi',” kata Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, saat membagikan bantuan sosial pemerintah kepada warga Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Januari 2024. Nyatanya, semua bantuan itu bersumber dari pajak rakyat dan pemerintah wajib mengelolanya dengan benar dan bijaksana.
Bagi orang-orang biasa, sekecil apa pun nilai dan bentuknya, bantuan itu sangatlah berharga. Bantuan mewakili harapan sekaligus keputusasaan yang jaraknya begitu tipis. Jika bukan karena terpaksa, orang-orang biasanya malu mendapat bantuan karena ada konstruksi kesenjangan sosial bahwa penerima bantuan lebih lemah secara finansial ataupun status sosial. Sialnya, para politikus tahu benar cara memainkan kondisi psikologis harapan orang-orang biasa ini. Bantuan yang singkat dan tujuannya sering kali politis itu digunakan untuk seolah-olah menyelesaikan masalah (sosial) mendasar, padahal hanya jalan mengawetkan atau meraih kekuasaan.
Bantuan juga menunjukkan degradasi mental. Belum lama ini tersiar video di media sosial yang menggambarkan anak-anak usia sekolah dasar memparodikan kondisi perpolitikan mutakhir. Mereka tergabung dalam Partai Anak Seluruh Indonesia atau PASI dan mengaku belum berkoalisi dengan presiden mana pun tapi siap mendukung calon presiden yang “bisa menjanjikan bantuan untuk anak-anak Indonesia, minimal sebulan dua juta”. Ironisnya, bantuan ini bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, melainkan buat kesenangan seperti top up game, jajan, dan berfoya-foya. Parodi itu menunjukkan bahwa bantuan pada akhirnya begitu wajar dinegosiasikan antara kepentingan pemberi dan penerima.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bantuan"