Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALAN keluar dari kemelut akibat pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mungkin contoh bagaimana keputusan politik tak bisa menyenangkan semua pihak. Joko Widodo patut dipuji karena berani membatalkan pelantikan Budi—melawan kehendak oligarki partai pendukung Presiden.
Meski demikian, solusi dari Presiden Jokowi itu, yang diumumkan setelah kegaduhan lebih dari sebulan, tak bisa begitu saja dimaklumi. Jika dicermati, akan tampak betapa sesungguhnya keputusan itu tak bisa memperbaiki semua kerusakan yang telanjur timbul.
Tak melantik Budi Gunawan, yang pencalonannya telah dimufakati Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden Jokowi ingin menghentikan pro-kontra di masyarakat—demikian ia sampaikan dalam pidato pengumuman. Mereka yang risau terhadap profil mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu tentu lega. Budi adalah polisi yang punya kekayaan mencurigakan dan malah telah dijadikan tersangka kasus suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Masalahnya, alasan itu tak secara utuh menunjukkan pencalonan Budi lebih dari menimbulkan perbedaan pendapat. Publik marah; kepercayaan mereka terhadap niat baik Presiden untuk memberantas korupsi mengalami krisis. Yang lebih mencemaskan adalah kenyataan betapa KPK justru dilemahkan melalui upaya bertubi-tubi polisi untuk membidik pimpinan komisi antirasuah itu dengan kasus yang diada-adakan.
Sangat disayangkan, Presiden tak mengisyaratkan adanya keinginan menghentikan upaya kriminalisasi itu—meski dia berkali-kali meminta "agar jangan ada kriminalisasi". Alih-alih memerintahkan polisi menganulir kasus-kasus yang disangkakan kepada Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, juga penyidik KPK yang berasal dari Polri, Presiden malah memberhentikan kedua pemimpin KPK itu untuk sementara. Tindakan itu mudah ditafsirkan sebagai upaya Presiden "membersihkan" KPK dari para pemimpin yang dianggap "mengganggu".
Memang ada pengganti sementara bagi Bambang dan Samad, yakni Taufiequrachman Ruki dan Indriyanto Seno Adji. Ruki, mantan polisi, pernah menjadi Ketua KPK. Tapi Indriyanto adalah nama yang menggetarkan lonceng kewaspadaan. Sebagai pengacara, dia kerap membantu tersangka korupsi, malah beberapa kali berupaya mengurangi kewenangan dan lingkup yurisdiksi KPK. Kesan bahwa Ruki dan, terutama, Indriyanto merupakan hasil kompromi dari pergulatan antara Presiden dan kekuatan politik pendukungnya sangat sulit dienyahkan.
Penunjukan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon baru Kepala Polri makin menguatkan alasan untuk tak terlalu optimistis. Ia mungkin pilihan terbaik di antara yang buruk. Sepanjang kisruh, Wakil Kepala Polri itu tak menunjukkan performa yang membuat orang meyakini kapasitasnya. Ia disebut-sebut juga bagian dari kelompok jenderal pemilik rekening gendut.
Sudah selayaknya, setelah dilantik menjadi Kepala Polri, Badrodin dengan trengginas mengatasi keadaan: menghentikan kriminalisasi pimpinan KPK, menghukum mereka yang terlibat, serta memastikan Kepolisian berada dalam kendalinya. Ia harus mencopot Komisaris Jenderal Budi Waseso dari jabatannya sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal. Selanjutnya, dia mesti membersihkan Polri dari para pemegang lencana penegak hukum yang justru menjadi perongrong institusi.
Harus dikatakan, andai dibandingkan antara keadaan sebelum pencalonan Budi dan sesudah pembatalan pelantikannya, perubahan-perubahan berdasarkan keputusan Presiden itu justru menimbulkan keraguan, jika bukan kekhawatiran. Yang bisa segera tampak adalah bertambah tak jelasnya kelangsungan upaya pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, secara organisasi, makin terang-benderang betapa KPK merupakan superbodi yang kedigdayaannya hanya tersurat di atas kertas.
Semua indikator minus di "neraca" perjuangan melawan korupsi itu hanya bisa diperbaiki jika KPK sekurang-kurangnya melanjutkan semua hal yang sedang dikerjakan di masa pimpinan sebelumnya. Melampaui itu tentu akan lebih baik. Termasuk di dalamnya, kasus Budi Gunawan harus tetap dilanjutkan.
Hanya dengan begitulah kerusakan diperbaiki dan kekecewaan terhadap keputusan Presiden bisa dikompensasi. Bukan hal yang mudah terwujud, jika tak mau dibilang seperti mencari jejak di air. Kalau ingin yang lebih pasti, tentu saja, sejak awal semestinya Presiden memilih jalan yang lempang untuk keluar dari masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo