Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politik Iuran Jaminan Kesehatan

Mulai 1 Januari 2020, iuran Jaminan Kesehatan Nasional naik, terutama bagi pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP).

2 Januari 2020 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Massa aksi yang tergabung dalam GSBI menggelar aksi di depan Kementerian Ketenagakerjaan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu, 20 November 2019. Mereka juga menuntut pemerintah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahlil Ruby
Pengamat Jaminan Kesehatan Nasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulai 1 Januari 2020, iuran Jaminan Kesehatan Nasional naik, terutama bagi pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Kenaikannya masing-masing sebesar 60,7 persen (dari Rp 25.500 ke Rp 42 ribu), 116 persen (Rp 51 ribu ke Rp 110 ribu), dan 100 persen (dari Rp 80 ribu ke Rp 160 ribu) berturut-turut untuk kelas III, II, dan I.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan ini telah menjadi ingar-bingar komunikasi politik antara Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Intinya, walaupun menyetujui kenaikan iuran, Dewan tidak menyetujui kenaikan iuran bagi PBPU kelas III karena memberatkan ekonomi mereka. Dewan meminta BPJS Kesehatan menambal selisih kenaikannya dari surplus klaim rasio peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Sebenarnya, iuran PBPU kelas III tidak perlu naik hingga dapat menggerogoti kesehatan Dana Jaminan Sosial Kesehatan (DJS). Pertama, BPJS Kesehatan berpotensi kehilangan pendapatan dari iuran PBPU dan BP kelas III saat ini (peserta aktif serta sebanyak 30 persen kelas II dan I turun ke kelas III) sebesar Rp 3,7-4 triliun. Padahal kenaikan iuran ini belum tentu dapat menutupi defisit pada 2020 sekalipun pemerintah telah menggelontorkan dana

Rp 14 triliun. BPJS Kesehatan masih membawa defisit pada 2019 sekitar

Rp 18 triliun ditambah hilangnya pendapatan dari PBPU kelas III, sehingga BPJS Kesehatan sudah memiliki pengeluaran tanpa pelayanan pada 2020 sekitar Rp 22 triliun.

Apabila penerimaan dan pengeluaran DJS sebagaimana diasumsikan oleh BPJS Watch berturut-turut Rp 137,3 triliun dan Rp 122,7 triliun dengan asumsi tarif naik rata-rata 15 persen dari pengeluaran 2019, DJS surplus sekitar Rp 14,6 triliun. Namun DJS akan tetap defisit sekitar Rp 7 triliun bila kenaikan iuran diberlakukan.

Kedua, asumsi bahwa peserta PBPU dan BP kelas III merupakan masyarakat kurang mampu tidak semuanya benar. Memang kelompok PBPU rawan menunggak karena mereka berpenghasilan tidak menentu. Namun banyak dari mereka yang lebih mampu tapi memilih kelas III untuk mengantisipasi kalau mereka terkena penyakit katastropik.

Karena itu, pemerintah dapat memperbaiki data PBI agar PBPU yang tidak mampu dapat hijrah ke PBI. PBPU yang tidak mampu ini umumnya merupakan kelompok usia lanjut dan pensiunan dari perusahaan swasta yang tidak memiliki jaminan pensiun dan kesehatan. Kelompok ini menjadi PBPU dan BP yang dituduh sangat banyak menggunakan fasilitas kesehatan dibandingkan dengan segmen penduduk lainnya. Di sisi lain, masyarakat usia lanjut ini sudah memberikan seluruh masa hidup produktifnya untuk negara dan sepantasnya negara menjamin masa senja mereka. Pemerintah menjamin iuran JKN kelas III seluruh rakyat usia 65 tahun ke atas sampai akhir hayatnya, kecuali pensiunan pegawai pemerintah. Kemudian pemerintah segera membenahi kebijakan program pensiun agar dapat menjamin kesehatan masyarakat pada usia pensiun.

Ada pula PBPU dan BP yang mampu tapi pada suatu waktu mengalami gagal bayar sementara. Pemerintah dapat memobilisasi pekerja sosial, perangkat desa, atau lainnya untuk memastikan ketidakmampuannya. Bila peserta terbukti tidak mampu sementara karena satu dan lain hal, pemerintah bersama pemerintah daerah membagi porsi dalam menalangi iuran sementara serta berkolaborasi dengan masyarakat dalam menggalang dana filantropi, tanggung jawab sosial perusahaan, dan dana lainnya. Namun untuk PBPU mampu tapi tidak mau bayar dengan berbagai alasan, BPJS Kesehatan bersama perangkat desa dan masyarakat memberikan edukasi dan dorongan untuk membayar iuran JKN serta menerapkan sanksi tidak memperoleh pelayanan publik. Pemerintah membuat juga kebijakan pemutihan sekali seumur hidup terhadap denda bagi PBPU dan BP yang menunggak agar mereka mampu melanjutkan lagi pembayaran iuran.

Ketiga, kata "surplus" klaim rasio bertentangan dengan prinsip asuransi sosial sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yaitu kegotongroyongan (solidaritas) antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang muda dan tua, serta yang berisiko rendah dan tinggi. Atas dasar itu, BPJS Kesehatan menyatukan iuran dan risiko kesehatan (pooling of revenue and risk) sebagai penyelenggara tunggal menurut Undang-Undang BPJS. Jadi, JKN bukan konsep pengelolaan segmentasi peserta. Seharusnya DPR menggunakan otoritas hak bujetnya untuk tetap mensubsidi PBPU kelas III kepada BPJS Kesehatan agar tarif pelayanan kesehatan naik tanpa defisit.

Keributan soal kenaikan iuran muncul karena pemerintah memposisikan JKN sebagai bagian dari politik pemerintah. Setiap kenaikan iuran, pemerintah yang menetapkannya. Ketika situasi politik dianggap tidak menguntungkan pemerintah, kenaikan iuran ditunda. Padahal, jika iuran naik secara bertahap sejak 2016, rakyat tidak terbebani seperti sekarang.

Segeralah DPR membahas amendemen Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS agar isu jaminan sosial pada umumnya dan JKN pada khususnya tidak "digoreng" menjadi bola politik. Kuatkan DJSN agar JKN bebas kepentingan politik walau tetap butuh dukungan politik.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus