Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politik Lokal

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vedi R. Hadiz Research Fellow, Asia Research Centre, Murdoch University, Perth, Australia. Selama puluhan tahun kita terbiasa untuk menjelaskan fenomena politik di Indonesia melalui kacamata yang amat Jakarta-sentris. Dengan kacamata ini, politik Indonesia tidak lain adalah politik Jakarta, dan politik daerah atau lokal hanyalah akibat sampingan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Ibu Kota. Terpusatnya kekuasaan ekonomi dan politik di Jakarta, dan begitu kokohnya kontrol pusat terhadap daerah memang menyumbang terhadap menguatnya perspektif semacam ini. Kini kekuasaan rezim Orde Baru yang sangat sentralistis sedang goyah setelah jatuhnya Soeharto. Akibatnya, kemampuan pusat kekuasaan untuk mengontrol secara ketat segala aspek kehidupan rakyat sampai ke pelosok-pelosok daerah juga menyusut. Hal ini tidak berarti bahwa kekuasaan pusat telah sirna, tetapi bahwa kendali yang dimilikinya barangkali tidaklah semutlak dulu. Dengan demikian, kita patut mencermati perkembangan politik di daerah—termasuk aneka ragam kerusuhan dan keresahan yang sering membawa pertumpahan darah akhir-akhir ini—tanpa selalu menganggapnya sebagai cerminan belaka dari apa yang sedang terjadi di Jakarta. Tiap daerah memiliki sejarah sosial, politik, dan ekonominya sendiri yang, meskipun bertalian erat dengan perkembangan di Jakarta, mewariskan bentuk-bentuk konflik sosialnya sendiri, lengkap dengan luka dan duka yang mungkin telah menahun tetapi luput dari perhatian pengamat. Barangkali kasus Banyuwangi, Kupang, Poso, dan lain sebagainya berhubungan dengan rekayasa politik kekuatan-kekuatan yang bertarung di Jakarta, sebagaimana disinyalir banyak pihak. Bahkan kemungkinannya cukup besar. Namun kita tidak bisa memahami kasus pembantaian seperti yang terjadi di Jawa Timur, misalnya, lengkap dengan segala histerianya, tanpa berusaha mengerti dinamika dan sejarah politik lokal di daerah itu. Dinamika lokal itu mencakup berbagai kecenderungan yang telah terpendam jauh di bawah permukaaan karena kontrol pusat yang represif selama puluhan tahun. Kontrol semacam ini telah menampilkan "stabilitas" seragam tetapi semu yang menutupi berbagai gejolak, amarah, dendam, kecemburuan, dan kepedihan yang hidup di masyarakat selama ini. Meskipun berbagai peristiwa kerusuhan di daerah belakangan ini mungkin saja berkaitan dengan rekayasa sekelompok elite politik, tetap ada "sesuatu" yang menjadi obyek rekayasa tersebut. "Sesuatu" tersebut sulit ditangkap dengan pengamatan yang terlampau Jakarta-sentris dan menyepelekan dinamika lokal. Menyusutnya kemampuan pusat untuk mengendalikan segala aspek kehidupan rakyat di kepulauan Nusantara, yang masyarakatnya amat kompleks dan majemuk, ini membawa beberapa konsekuensi. Pertama, rekayasa dari pusat pun bisa saja melahirkan akibat yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh yang melakukan rekayasa. Sehingga, rekayasa yang direncanakan dengan rapi pun memiliki risiko yang tak dapat diperkirakan sepenuhnya. Kedua, perkembangan di daerah-daerah di masa mendatang mungkin saja semakin lepas dari kendali mutlak elite politik di Jakarta, dengan berbagai akibat baik atau buruk. Sebagai analogi, kita dapat membayangkan keadaan yang ditemui, misalnya di Thailand atau Filipina dewasa ini, negeri-negeri yang ditandai oleh elite-elite politik, bisnis, bahkan militer lokal yang mempunyai kekuatan tawar-menawar tertentu dengan elite pusat. Dibandingkan dengan kedua negeri tetangga tersebut, kekuasaan di Indonesia memang jauh lebih sentralistis selama beberapa dekade terakhir ini. Sebagai gambaran, apabila kita pergi ke desa-desa yang terpencil di Indonesia, kita masih menemukan simbol-simbol negara, lambang Golkar, dan sebagainya. Tetapi apabila kita pergi ke desa-desa serupa di Thailand ataupun di Filipina, kita merasakan bahwa negara telah lenyap karena tidak ada tanda-tanda fisiknya. Perkembangan sebagaimana digambarkan di atas bisa berakibat baik ataupun buruk. Berkurangnya pemusatan kekuasaan adalah baik sepanjang animo untuk demokratisasi ekonomi dan politik dapat muncul di daerah dengan lebih kuat, seiring dengan agak menyusutnya kontrol yang represif. Lebih baik lagi kalau animo ini justru mempengaruhi peristiwa dan perkembangan di pusat ke arah yang positif. Misalnya, tuntutan masyarakat di Aceh atau Riau, yang kaya sumber daya alam, memaksa pemerintah pusat untuk lebih serius berpikir tentang otonomi daerah. Tetapi perkembangan semacam ini dapat juga berdampak buruk apabila yang terjadi adalah kemunculan elite-elite lokal yang selain lebih lepas dari kendali pusat juga masih lepas dari kendali masyarakat lokal. Bisa jadi, para bupati atau kepala desa menjadi orang-orang yang betul-betul mempunyai personal fiefdom, atau para komandan Koramil menjadi semacam warlord lokal, yang meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi lagi praktek penyalahgunaan kekuasaan yang selama ini juga berlangsung. Sebenarnya semua ini tidaklah baru sama sekali. Sebelum Orde Baru, situasi yang mirip juga kita temui di Indonesia, walaupun dalam konteks perkembangan sosial, politik, dan ekonomi yang sangat berbeda. Pada masa Orde Baru ini pun, kita mengetahui bahwa terdapat banyak kesenjangan antara kebijaksanaan di tingkat pusat dan kenyataan yang kita temui di daerah. Misalnya, ketika beberapa tahun yang lalu pemerintah pusat sedang giat berusaha menampilkan kesan terjadinya reformasi di bidang perburuhan dan hak asasi manusia, untuk menanggapi kritik luar negeri yang pedas, di Jawa Timur justru terjadi kasus Marsinah. Tetapi kemungkinan meningkatnya makna politik lokal tidak harus menyebabkan kita khawatir tentang disintegrasi nasional. Keduanya tidak harus berjalan seiring. Apakah penyusutan kemampuan pusat akan berdampak positif atau negatif amat tergantung pada berbagai perkembangan yang tengah berlangsung saat ini. Yang jelas, segala dendam, kecemburuan, amarah, dan sebagainya, yang hidup dalam masyarakat perlu ditangani dengan bijaksana. Untuk mencegah hal-hal yang terburuk, mungkin kita bisa mulai dengan pemilu yang benar-benar jujur dan adil. Setidaknya, dengan ini masyarakat dapat mulai belajar untuk mengembangkan budaya mengontrol dan menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang berkuasa, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dengan demikian, ekspresi kegelisahan tidak perlu selalu diidentikkan dengan kerusuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus