Mari Pangestu
Selama beberapa bulan terakhir, debat lama mengenai pilihan antara pemerataan dan pertumbuhan berubah menjadi antara pemerataan dan pemulihan. Dari kacamata ilmu ekonomi dan analisis kebijakan yang tepat, sebenarnya kedua tujuan dapat dicapai tanpa harus memilih yang satu dan mencampakkan yang satu lagi. Pada masa lalu memang bias prioritas cenderung mengutamakan pertumbuhan. Tapi kini, ketika Indonesia dilanda krisis berkepanjangan, penting bagi kita untuk memprioritaskan kedua tujuan, yaitu pemulihan ekonomi yang tidak mengabaikan asas keadilan, transparansi, dan pemerataan.
Dari masa ke masa, masalah inti sebenarnya tidak berubah. Jika memang prioritas diletakkan pada kedua tujuan yaitu pemulihan dan pemerataan, isu pokok tetaplah efektivitas dan ketepatan kebijakan, tanpa mengabaikan realita yang harus dihadapi, dan dalam konteks Indonesia kini: realpolitik. Di sini pun ilmu ekonomi mengajarkan apa yang sering disebut sebagai second atau third best?atau kebijakan yang kurang sempurna karena harus mempertimbangan unsur politik atau kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Maka yang penting adalah kejelasan bahwa pilihan kebijakan yang diambil berkaitan dengan biaya tertentu yang harus ditanggung, serta adanya kemungkinan dampak samping atau distorsi. Dengan demikian pengambil keputusan dapat mempertimbangkan biaya dan dampak negatif dari suatu kebijakan dan memutuskan satu pilihan seraya menyadari akibat-akibatnya.
Mari kita ambil contoh silang pendapat seputar penggunaan dana rekapitalisasi perbankan. Estimasi pemerintah, biaya rekapitalisasi perbankan Rp 300 triliun, yang akan didanai melalui penerbitan obligasi. Jadi biaya yang harus ditanggung pemerintah adalah bunga obligasi tersebut, sebesar Rp 18 triliun. Pihak yang menolak program ini pada esensinya berkeberatan karena lagi-lagi dana pemerintah digunakan untuk "menyelamatkan" para konglomerat, yang telah menikmati banyak keuntungan sebelum krisis. Juga pilihan rekapitalisasi terkesan tidak adil karena alokasi dana untuk pemerataan atau untuk jaringan sosial jauh lebih kecil.
Mereka mungkin tidak memperhitungkan bahwa dana rekapitalisasi tidak untuk menyelamatkan pemilik bank, karena mereka ini justru akan kehilangan kepemilikan sampai 80 persen. Dana itu terutama untuk mengamankan para deposan, dan juga untuk mulai membangun kembali sektor perbankan, yang merupakan kunci pemulihan ekonomi. Tentu saja, dana itu lebih besar jika dibandingkan dengan dana untuk program jaringan sosial yang sekitar Rp 3 triliun. Tapi, demi pengeluaran pembangunan, dana Rp 18 triliun tidak bisa dianggap besar.
Kendati yang berkeberatan pada rekapitalisasi cukup vokal, tidak sedikit yang bisa menerima bahwa rekapitalisasi sebagai bagian dari restrukturisasi perbankan adalah mutlak. Tapi pada saat yang sama semua pihak juga sepakat bahwa jangan sampai dalam proses pemulihan, rakyat kian terpuruk sehingga memicu ketegangan sosial.
Dengan demikian seharusnya pertanyaan pertama terpusat kepada cara restrukturisasi perbankan yang diusulkan pemerintah. Yang penting bukan apakah dana yang diperlukan sebanding dengan Korea dan Thailand, tapi adakah cara restrukturisasi yang paling menghemat uang negara. Apakah pilihannya dan berapa biaya fiskal dari setiap pilihan. Misalnya, apakah kriteria rekapitalisasi yang digunakan sekarang tidak terlampau luas, dan apakah selain rasio kecukupan modal sebaiknya hal-hal kualitatif lain seperti track record pemilik bank dan manajemen dari bank perlu juga dinilai. Juga, jika kita pilih alternatif biaya fiskal yang rendah, apakah konsekuensinya berupa proses restrukturisasi yang lebih lama bisa diterima mengingat akibatnya adalah proses pemulihan yang juga lebih lama? Dan jika kita pilih restrukturisasi yang lebih cepat dengan dana pemerintah yang lebih besar, apa saja rambu dan syarat yang perlu ditetapkan supaya implementasi program tersebut efektif?
Jenis pertanyaan kedua terpusat kepada seberapa efektifnya program jaringan sosial dan program membantu usaha kecil dan koperasi. Pengalaman di masa lalu menunjukkan betapa sulitnya menjalankan program subsidi yang sering disalahgunakan; dana lalu mubazir atau hanya proforma karena tidak berdasarkan suatu kriteria kinerja yang jelas dan obyektif; dan tidak mencapai kelompok yang akan dibantu karena subsidi diberikan secara tidak langsung. Jika ditilik ulang, banyak program dan biaya yang dikeluarkan untuk usaha kecil dan koperasi tetapi hasilnya belum tampak. Contoh lain, subsidi minyak tanah belum tentu dinikmati oleh rakyat lapisan bawah dan malah sebaliknya dinikmati oleh industri.
Berdasarkan pengalaman kita sendiri serta program jaringan sosial di negara lain, sudah muncul semacam konsensus di lembaga internasional bahwa penggunaan dana untuk jaringan sosial bisa optimal jika diarahkan secara langsung kepada kelompok yang akan dibantu. Namun masalah lain muncul, yaitu apakah kapasitas pemerintah atau lembaga yang ditunjuk benar-benar cukup untuk menjalankan program tersebut. Pertanyaan ini penting karena implementasi program jaringan sosial sekarang ini ternyata bukan masalah kekurangan dana, tetapi justru masalah kapasitas pemerintah dan lembaga-lembaga nonpemerintah yang dilibatkan untuk menyukseskan program itu.
Di samping itu masalah yang lebih pelik adalah bahwa program-program populer atas nama rakyat akan meningkat dalam periode yang penuh ketidakpastian politik dan bisa berakibat jauh, terutama kalau dipertimbangkan betapa serius defisit kita. Karena itu para pembayar pajak seharusnya tidak menerima penghamburan uang negara maupun uang dari utang negara. Lebih dari itu mereka patut mempertanyakan berbagai program tersebut?karena penghamburan yang terjadi pada masa kini bukan saja menjadi beban Anda tapi juga beban bagi anak dan cucu Anda kelak kemudian hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini