Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politik Pangan Pasca-Fragmentasi

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata fragmentasi mungkin lebih tepat untuk mencerminkan tahap perkembangan atau perubahan dalam hubungan pusat-daerah seperti yang kita saksikan sekarang. Alasannya adalah karena tindakan dan keputusan yang diambil oleh pejabat di daerah akhir-akhir ini lebih merupakan pengalihan wewenang oleh strata pemerintahan yang lebih rendah, tanpa perencanaan ataupun persetujuan dari strata pemerintahan yang lebih tinggi.

Faktor utama yang menyebabkan perubahan sikap itu adalah ketidakberdayaan pusat mengatasi krisis. Beberapa faktor lainnya adalah pola tindakan pemerintahan Habibie, kelumpuhan dunia usaha, dan merosotnya citra ABRI. Krisis bujeter turut membatasi kemampuan pusat untuk mengalirkan dana sehingga daerah terpaksa mengambil inisiatif agar dapat bertahan. Bahkan revisi APBN 1998/1999 telah ikut memudarkan citra Bappenas di mata daerah.

Dalam pada itu, merosotnya nilai riil pendapatan resmi pegawai negeri sipil tidak memberikan pilihan lain kepada petugas di daerah kecuali meneruskan pola kerjanya yang lama. Jadi, tidaklah mengherankan apabila dana jaringan pengaman yang dirancang untuk meringankan penderitaan kelompok rakyat yang paling miskin tidak seluruhnya mencapai sasaran. Pada sisi lain, gelombang reformasi juga menimbulkan kekhawatiran pada aparat yang terbiasa menyiapkan pertanggungjawaban untuk pemakaian dana fiktif. Ada yang memilih tidak berbuat sama sekali daripada menanggung risiko ditangkap. Dalam ketidakpastian seperti ini, ketika pusat tidak lagi melindungi bawahannya di daerah, orang pusat di daerah cenderung menuruti kehendak kepala daerah daripada instansi di pusat.

Lagi pula cara kerja pemerintahan Habibie ternyata belum berhasil memulihkan kredibilitas pusat. Kesan bahwa pusat ingin mereformasi kehidupan bernegara secara hakiki tidak terlihat, justru keinginan untuk melaksanakan business-as-usual yang muncul. Selain itu, keputusan-keputusan pusat tidak lagi utuh, bahkan terfragmentasi, bersifat ad-hoc, dan sangat jangka-pendek.

Lihatlah kebijakan kebutuhan bahan pokok. Pusat mengubah kebijakan minyak goreng berulang kali seraya mengorbankan petani kelapa sawit untuk kepentingan distributor di kota-kota. Harga gula, kedelai, dan terigu dinaikkan terus, lebih awal dari jadwal yang sudah disepakati. Kini harga beras malah distabilkan pada tingkat yang tinggi, bertentangan dengan peringatan IMF dalam letter of intent 25 Juni 1998, yakni menjamin penyaluran pangan bagi kelompok rakyat miskin melalui Bulog. Dengan membebaskan impor beras, sistem ketahanan pangan melalui cadangan-penyangga Bulog ditinggalkan begitu saja tanpa merakit instrumen stabilisasi yang lebih canggih.

Kendati sektor pangan semrawut, kegiatan yang paling menguntungkan tetaplah investasi di bidang pertanian, sebagaimana dibuktikan oleh petani kakao belum lama ini. Tambahan pula, gagalnya kebijakan pertanian selama lima tahun terakhir, dan kekurangmampuan antisipatif, memaksa kita mengimpor sekitar 1 juta ton gula dan 700 ribu ton kedele senilai US$ 570 juta dalam tahun ini, selain sekitar 4 juta ton terigu dan 4,5 juta ton beras.

Serentak dengan menciutnya peran ketiga penyangga--birokrasi, dunia usaha, dan militer--kapasitas pusat mengelola pembangunan berdasarkan pola command-and-control turut merosot tajam. Kini inflasi yang tinggi telah dan akan mengubah sikap petani. Bagi mereka, komoditi ekspor yang harganya melambung jauh lebih menarik ketimbang padi, yang dulu memberikan penghasilan memadai.

Kini sukar diharapkan bahwa petani, yang selama ini dianggap lugu, mau diperintah agar terus menanam padi. Apalagi kalau disadari bahwa perlawanan atas ketidakadilan tidak berhenti pada amok sesaat, tapi masih terus berlanjut. Di berbagai tempat warga desa beramai-ramai menduduki lahan yang dulu diambil atau terpaksa mereka jual dengan harga murah. Peternakan Tapos milik mantan Presiden Soeharto pun turut dipatok oleh petani setempat.

Dalam masa krisis ini juga, kemampuan pusat untuk menanggung kebutuhan petani rupanya terbatas hanya pada subsidi pupuk. Keterbatasan ini menimbulkan kevakuman dalam pelayanan kebutuhan petani lainnya, seperti kredit, bibit, penyuluhan teknologi dan kelembagaan yang efektif, infrastruktur yang memadai, dan pasar yang lebih adil. Kevakuman ini kelak mungkin akan diisi oleh pihak swasta pasca-fragmentasi.

Tak banyak yang bisa dilakukan pemerintah pusat kecuali bersikap proaktif menghadapi perubahan itu dengan mengambil langkah seperti 1) membagikan lahan perkebunan besar kepada buruh perkebunan dan petani setempat, 2) menderegulasi semua sarana pendukung pertanian tanpa melepaskan kemampuan regulasi dan sertifikasi, 3) memberikan keleluasan bagi petani untuk membangun, mengelola, dan mengawasai koperasinya secara mandiri, termasuk mengelola lumbung desa, dan 4) menugasi koperasi petani untuk turut menyusun dan mengawasi program-kerja balai-balai penelitian dan penyuluhan setempat agar lebih menjamin keberhasilan pertanian yang berkelanjutan di daerahnya.

Dalam situasi seperti sekarang, ternyata kekuatan ekonomilah yang lebih menentukan pola hubungan pusat dan daerah. Karena itu, profil pertanian pascafragmentasi tidak akan sama dengan sosok pertanian di masa prakrisis.

Tapi akan bagaimana nasib pertanian di republik ini kelak, sulit diperkirakan. Hanya, ada beberapa pertanyaan yang sangat memerlukan jawaban, sebelum kita merancang kebijakan pertanian dan pangan yang efektif. Setidaknya ada tiga pertanyaan, yaitu: 1) Bagaimana lembaga yang didesain dan dikelola secara terpusat selama ini akan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang jauh lebih terdesentralisasi? 2) Lembaga baru seperti apa yang akan muncul kelak? 3) Bagaimana memadukan desentralisasi dengan kemampuan untuk meraih tingkat perekonomian yang mampu menopang pertanian masa depan? Andaikata pemerintahan Habibie dapat lebih bijak menangani tiga masalah tersebut, sikap itu saja sudah merupakan permulaan yang baik. Tapi, kalau dari awal sudah memandang enteng sektor pertanian, cepat atau lambat perekonomian kita akan porak-poranda.

H.S. Dillon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus