Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politik Pendidikan dan Masa Depan Indonesia

Reformasi 1998 belum mengubah kebijakan pendidikan untuk semua. Peta jalan pendidikan perlu didiskusikan secara intens.

16 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kebijakan politik yang lebih demokratis akan mempercepat pembangunan pendidikan.

  • Peta Jalan Pendidikan (PJP) 2020-2035 perlu didiskusikan secara masif.

  • Ada kekhawatiran PJP akan ditinggalkan karena pergantian menteri.

Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah reformasi 1998, kebijakan politik yang lebih demokratis diharapkan turut mempercepat pembangunan pendidikan. Sudah beberapa kali terjadi pergantian kepemimpinan dan dilakukan upaya-upaya struktural untuk membangun pendidikan yang lebih baik, tapi kebijakan pendidikan untuk semua belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh setiap anak di Indonesia. Pandemi Covid-19, misalnya, menjadi penanda betapa Indonesia masih menghadapi situasi yang problematik dalam memberikan ruang yang setara bagi setiap anak untuk menikmati pendidikan yang berkualitas. Untuk itu, perlu ada politik pendidikan yang berpihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana politik pendidikan yang berpihak itu? Pertama-tama, ada kesadaran mengenai kompleksitas negeri ini, seperti kondisi sosio-demografis, geografis, dan keragaman yang luar biasa, yang perlu menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan. Titik fokus pada kelompok marginal, seperti masyarakat adat, kelompok miskin kota, kaum difabel, penyintas bencana, dan daerah-daerah yang masih mengalami konflik, menjadi hal utama. Sebab, pendidikan bukan hanya untuk mereka yang dapat dengan mudah menjangkau akses, tapi juga yang terhambat karena berbagai kondisi.

Pembuat kebijakan juga perlu memiliki wawasan kesejarahan yang memadai tentang pendidikan di Indonesia agar mereka dapat membuat kebijakan yang memperhatikan kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan jati dirinya serta kekuatan untuk menghadapi masa kini dan masa depan. Pada titik ini, keberpihakan pembuat kebijakan pada apa yang menjadi aspirasi masyarakat menjadi hal utama.

Pandangan Farchan Bulkin dalam majalah Prisma edisi 2 pada 1986 masih sangat relevan. Farchan memaparkan bahwa filsafat dan kebijaksanaan pendidikan memerlukan kejelasan masa lalu, kebutuhan mendesak masa kini, dan harapan subyektif masa depan. Pendidikan, berdasarkan pandangan Bulkin, menjadi institusi yang sarat akan beban kesejarahan karena menjadi media untuk melestarikan nilai-nilai, etika, dan kekuatan spiritual yang tecerna dalam sejarah yang diharapkan akan melanggengkan masyarakat.

Dalam hal ini, perhatian pada filsafat pendidikan yang diutarakan oleh para pedagog Nusantara, dari Ki Hadjar Dewantara hingga H.A.R. Tilaar, perlu menjadi diskursus yang selalu dibicarakan di ruang pendidikan. Hal ini di samping isu-isu global aktual lainnya, seperti pemanasan global, perubahan iklim, dan kecerdasan buatan (AI).

Pembuat kebijakan juga perlu memiliki peta jalan jangka panjang yang berkelanjutan. Beberapa waktu lalu, misalnya, muncul dokumen Peta Jalan Pendidikan (PJP) 2020-2035 yang cukup ramai dibicarakan. Namun diskusi mengenai PJP tersebut tidak masif sebagai diskursus pendidikan yang menarik. Ada kekhawatiran PJP akan ditinggalkan ketika terjadi pergantian menteri atau pemerintahan. Agar tidak terjadi demikian, rumusan PJP tersebut harus dirancang secara partisipatif melalui dialog. Pembuatan PJP perlu melibatkan berbagai kalangan, termasuk organisasi masyarakat yang selama ini berjuang di ranah pendidikan.

Ketika PJP dirumuskan bersama semua pihak, akan ada rasa memiliki terhadap rumusan yang sudah disusun bersama sehingga ia menjadi agenda penting yang harus dijalankan secara konsekuen oleh siapa pun menterinya. Agar PJP dapat dipraktikkan, pemerintah juga harus membuat peta jalan itu untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.

Merumuskan kebijakan pendidikan dalam jangka panjang tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Selain bersifat visioner dalam melihat tantangan masa depan, PJP tetap perlu memperhatikan konteks historis, sosiokultural, dan geografis masyarakat.

Ada catatan menarik dari Tilaar (2005) dalam buku Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Posmodernisme Studi Kultural. Tilaar memaparkan lima bidang utama yang menjadi Manifesto Pendidikan Nasional (MPN), yaitu hakikat pendidikan, hak memperoleh pendidikan dan hak mendidik, proses pendidikan, ruang pendidikan, serta pedagogik libertarian.

MPN diusulkan Tilaar sebagai peta jalan pendidikan. Menurut dia, upaya mewujudkan tujuan pendidikan memerlukan rambu-rambu yang memudahkan seperti sistem pemosisi global (GPS) yang membantu menemukan arah dalam perjalanan.

Paparan Tilaar tentang MPN masih sangat relevan untuk membantu pembuat kebijakan membangun kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Pendidikan dalam perspektif Tilaar tidak hampa dari ruang politik, sosial, kultural, dan budaya. Misalnya, dalam konteks ruang pendidikan dipaparkan kelindan pendidikan dengan kebudayaan, hak asasi manusia, lingkungan, agama dan moral, kewarganegaraan, serta gender. Dalam konteks pedagogik libertarian, Tilaar memaparkan relasi pendidikan dengan ekonomi, politik, tenaga kerja, dan perdamaian dunia.

Basis utama MPN adalah membangun masyarakat Indonesia yang bersatu berdasarkan falsafah dan ideologi Pancasila. Posisinya juga dikondisikan untuk menghadapi kondisi yang berubah serta disesuaikan dengan inovasi-inovasi terbaru dan perkembangan di era global. Tilaar pun selalu menyebutkan bahwa pendidikan bermakna sebagai pembebasan manusia. Hakikat pendidikan, menurut dia, adalah proses memanusiakan manusia yang menjadikan mereka sadar untuk menjadi manusia merdeka.

Dengan demikian, peta jalan jangka panjang yang berkelanjutan memang perlu menjadi rambu-rambu utama pembangunan kebijakan pendidikan. Namun memang, dalam konteks saat ini, peta jalan tersebut sulit diimplementasikan secara berkelanjutan ketika terjadi perubahan kepemimpinan. Hal ini menjadi tantangan dalam implementasi kebijakan pendidikan. Sebab, ketika ada perubahan kepemimpinan, visi dan misi yang berbeda membuat kebijakan pendidikan yang dibangun berbeda pula.

Selain itu, diperlukan pengawasan dan evaluasi sistemis terhadap berbagai kebijakan. Saat ini pemerintah sudah meluncurkan 24 episode Merdeka Belajar. Dalam perspektif pemerintah, kebijakan ini diharapkan dapat menjadi bagian untuk mempercepat pencapaian tujuan pendidikan nasional. Kebijakan itu juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki keunggulan dan daya saing. Selain itu, Merdeka Belajar diharapkan mewujudkan siswa yang berkarakter mulia serta memiliki penalaran tingkat tinggi dalam literasi dan numerasi.

Untuk memastikan 24 episode Merdeka Belajar tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, perlu ada pengawasan dan evaluasi sistemis yang tidak hanya berbasis pada data kuantitatif, tapi juga memperhatikan data kualitatif. Misalnya, apakah kebijakan tersebut efektif dilakukan di berbagai wilayah; bagaimana perbedaan implementasi kebijakan antara wilayah desa dan kota atau pesisir dan pegunungan; bagaimana posisi guru, baik dari segi kesejahteraan maupun kapasitas akademik; serta bagaimana kesetaraan akses anak untuk menggapai program-program di semua episode. Bila semuanya dapat dipetakan serta dilihat keunggulan dan kelemahannya, hal tersebut menjadi catatan penting untuk perbaikan kualitas pendidikan.

Hal penting terakhir adalah apa kesepakatan bersama untuk membangun manusia Indonesia melalui ruang pendidikan dalam kerangka Indonesia masa depan dan jangka panjang. Perubahan kebijakan bukanlah sesuatu yang terlarang karena itu merupakan hal yang pasti terjadi. Hal yang paling penting adalah kesadaran para pemimpin bahwa wajah Indonesia di masa depan, salah satunya, sangat bergantung pada bagaimana tata kelola pendidikan dilakukan. Karena itu, politik pendidikan yang berpihak akan sangat berpengaruh dalam mewujudkan wajah Indonesia masa depan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anggi Afriansyah

Anggi Afriansyah

Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus