Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEERT Wilders, politikus ekstrem kanan Belanda, membuat negerinya seperti “kip zonder kop”, ayam tak berkepala. Lima bulan lamanya empat partai politik pemenang pemilihan umum November tahun lalu di Negeri Tulip berembuk dan berkelit, mereka tetap gagal membuahkan kabinet. Sebuah sikon gawat di kala dua prana, Ukraina dan Timur Tengah, mengancam Eropa. Juga jika kabinet baru terbentuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasalnya, Wilders dan sayap kanan sejenisnya tengah naik daun, dari Kopenhagen sampai Bratislava, dari London sampai Budapest. Wilders menjadi patokan. Pemimpin Partai untuk Kebebasan (Partij Voor de Vrijheid/PVV) itu adalah tokoh yang berani menerjang sendi-sendi tata negara dan kehidupan politik negerinya. Apa yang bersemi di masyarakat harus dapat diejawantahkan dalam tatanan negara dan kebijakan pemerintah. Negeri harus menjiwai Negara. Sebuah tekad, jika menukik mendalam ke naluri dan menyeluruh, populis, dapat meredam aneka ragam asas, identitas, dan pendapat. Sebutlah benih proto-fasis. Tapi ini juga sebuah arus kemasyarakatan yang dapat dimanfaatkan untuk menyetir negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wilders, 60 tahun, seorang keturunan keluarga yang lama bermukim di Hindia Belanda yang korup, lalu terusir. Akarnya tertanam selaku kaum Indisch, alias Indo-Belanda, yang martabatnya di bawah kelas penguasa kolonial. Berlatar pengalaman traumatik itu, Wilders menjauhi kaum Indo, jauh dari permukiman mereka di Den Haag, Belanda. Ia mengecat rambut hitamnya menjadi pirang (khas Kaukasia) ala bule Belanda dan memilih tinggal dengan Kibbutz, suatu kolektif warisan sosialis usang kaum Zionis, di Israel. Dari Israel pula kelak Wilders membangun partainya yang kini diminati sekitar 30 persen pemilih, menjadi partai politik terbesar di Belanda.
Dia bangkit di tengah perubahan di Eropa. Awal abad ke-21 ditandai serangan islamis ekstrem pada 11 September 2001 yang meruntuhkan dua menara World Trade Center di New York, Amerika Serikat. Ekornya: radikalisme Islam dan islamofobia membakar Eropa. Di Belanda, mantan guru besar sosiologi Marxis, Pim Fortuyn, memelopori arus fobia tersebut. Dengan karismanya, ia menggulirkan napas nasionalisme yang dulu redup di tengah semangat melawan fasisme. Sepeninggal Fortuyn yang dibunuh pada 2002, Wilders tumbuh menjadi “Trump” Belanda.
Grand theory setelah Perang Dingin, sejak tesis Fukuyama “Akhir Sejarah”, terutama tesis gurunya, Samuel Huntington, “Benturan Antar-Peradaban”, menyajikan “rumah” (konsep paradigma tak tepat di sini) bagi diskursus yang membumi. Bagi Wilders di Belanda, Marine Le Pen di Prancis dan sejenisnya di Eropa menjadi angin baru yang membangkitkan politik identitas, sekaligus menandingi arus politik kiri. Ketika Marine Le Pen mewarisi partai keluarganya, Rassemblement National, dan Giorgia Meloni mengkooptasi sayap kanan Italia, Wilders sudah lama mendirikan PVV, yaitu pada 2006, ketika dia tersulut oleh kebangkitan ekonomi Turki di bawah Recep Tayyip Erdoğan yang, dengan populis-islamisnya, melamar keanggotaan Uni Eropa.
Wilders seorang politikus piawai. Ironis, sekaligus tragisnya, kelemahannya terungkap saat dia meraih peluang emas untuk memimpin negaranya. Kemenangan PVV (27 dari 50 kursi parlemen) menempatkan ia, selaku calon perdana menteri, berkoalisi dengan tiga partai sayap kanan: partai kelas menengah VVD, partai pengusaha tani BBB, dan partai baru NSC, yang teknokratik. Ketiganya ogah-ogahan, rewel. Mereka menuntut Wilders menanggalkan segala seruannya—“larang Al-Quran”, “larang masjid dan sekolah Islam”, “kurangi jumlah orang Maroko”, “parlemen ini palsu”, dan lain-lain. Mereka menuntut Wilders menghormati sepenuhnya tata hukum (rechtstaat) Belanda.
Senjata makan tuan. Wilders terpaksa menyanggupi. Sekarang, ujar dia, semua pernyataan dan ejekan terhadap kaum muslim “aku simpan di lemari es”, tapi “itu tetap ada di DNA-ku”. Di situ, negara tak berkutik.
Geert Wilders. Reuters/Yves Herman
Wilders tak sendiri. Tatkala partai-partai sayap kiri ditinggalkan kelas buruh dan diisi warga berpendidikan (lebih) tinggi, secara ideologis mereka telah bergeser ke sentrum, terutama sejak arus neoliberalisme dua dasawarsa lalu melanggengkan penswastaan yang membuka peluang ekonomi bagi generasi baru. Rasisme personal ataupun institusional tak membahana secara terbuka. Para pengamat mencatat sebagian besar pendukung PVV berasal dari lapisan menengah-bawah yang tertinggal di kala ketersediaan perumahan langka. Sementara itu, generasi kedua dan ketiga migran asal Turki dan Maroko pun turut bersaing memasuki bisnis, birokrasi, dan media.
Ratusan ribu pengungsi asal Afrika Utara membanjir, terdampar di Yunani, Italia, atau berlanjut ke utara. Inggris hendak membuang mereka ke Rwanda, konon “Singapura”-nya Afrika. Adapun Belanda “kewalahan” menampung mereka. Di masa puncaknya, pada 2015, jumlah pengungsi di Belanda mencapai 60 ribu; tahun lalu 38 ribu. Dua lembaga bidang pengungsi menilai taraf itu “normal”. Tapi kini hal itu menjadi isu terpanas.
Kemacetan di meja runding membuat Wilders seolah-olah “mengalah” lagi. Bersama ketiga pemimpin partai tersebut, dia bersedia mundur dari kursi pemimpin kabinet mendatang. Ini ibarat melepas medali demi meraih sebalok emas, yaitu mengetatkan izin tinggal kaum suaka dan membatasi arus migran.
Walhasil, meski populisme ala Wilders macet di hadapan tata hukum, sikap dasarnya, menurut Direktur Lembaga Penelitian Sejarah Sosial atau IISG, Profesor Leo Lucassen, telah meluas secara laten. Status masalah pengungsi bisa saja ditingkatkan menjadi “krisis nasional” untuk memudahkan beleid pemerintah, tapi para pengamat memperingatkan ini bisa mengimpit pasal-pasal hukum Belanda ataupun Uni Eropa seputar hak suaka.
Sementara itu, tak satu pun dari ketiga perunding lawan Wilders bersedia meminta pendapat elektorat dengan menggelar pemilu baru. Sejumlah survei menunjukkan dukungan bagi PVV masih kuat. Wilders, dengan kata lain, telah menjadi niscaya: sebuah pelajaran bagi Eropa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo