Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAU pergi, dan aku tak tahu bagaimana kau akan bisa tiba-tiba lenyap. Kau ada di antara kami, tiap kali kami berliku-liku mencari jawab tentang soal-soal hidup, urgen atau tak urgen. Kita telah ketularan melihat dunia sebagai pertanyaan, Tris—dan nekat ingin mengusutnya. Bukan untuk memuaskan kebutuhan praktis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita telah ketularan Don Quixote. Milan Kundera mengingatkan bahwa Don Quixote, tokoh utama novel Cervantes itu, dianggap sinting karena tak hendak bersikap praktis, tak menerima dunia sebagaimana umumnya orang menerimanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam umur 50-an hidalgo itu mengembara tanpa peta, di atas seekor kuda kerempeng yang tak meyakinkan, dengan kecenderungan melihat ada yang ajaib, yang fantastis, di seantero benda dan alat-alat. Kincir angin besar untuk pengairan di sebuah ladang dilihatnya sebagai gergasi yang mengancam, bukan bagian dari mesin untuk tujuan praktis sehari-hari.
Don Quixote cenderung menggugat hidup yang hanya diputar-putar tujuan praktis sehari-hari. Ia melawan dunia yang jadi banal. Ia tak hendak ikut lupa kolektif bahwa—untuk meminjam kata-kata Kundera—ada “kakilangit yang jauh”, yang “telah menghilang” dan “tamasya yang tak kelihatan lagi di balik bangunan modern, lembaga sosial, kepolisian, undang-undang, dunia keuangan dan kriminalitas, tentara, Negara”.
Kau, seperti Don Quixote, sang caballero errante, juga berkelana, Tris. Aku bayangkan di sepanjang rantau kau lihat dunia yang cakrawalanya dibentuk kalkulasi ekonomi dan kekuasaan. Maka kau cari jalan yang berbeda. Kau keluar-masuk belantara buku-buku. Kau praktis “kesatria-kelana-buku”. Bukan untuk memperkuat kepintaran dan erudisi. Bukan untuk meningkatkan prestasi.
Kau kuliah, tapi tak peduli kelak akan dipasangi gelar. Kau mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta dalam usia tak muda lagi. Seorang sahabatmu melihat, tujuan kau ke kampus sebenarnya hanya agar mendapat akses ke perpustakaan sekolah filsafat itu. “Kegiatan Trisno yang utama: memfotokopi buku-buku.”
Kau memperlakukan buku sebagai proses yang tak berakhir di bab penutup. Buku adalah pertanyaan-pertanyaan. Aku kira kau menyukai filsafat dan theologi karena kau sikapi bertanya, (bahkan tentang Tuhan), sebagai panggilan hidup. Kawan kita, F. Sitorus, membicarakanmu dan mengutip Heidegger: “Fragen ist die Frömmigkeit des Denkens”. Kau mengamalkan itu: bertanya itu tanda kesalehan berpikir.
Kata “kesalehan”, Frömmigkeit, mungkin terlalu angker. Tapi baiklah. Kita juga bisa melihat sikap bertanya sebagai interupsi yang mengambil jarak dari kepastian yang sudah tertib. Maka bertanya bisa sejajar dengan slengekan: ungkapan yang sedikit menyimpang, tak ketat mengikuti konsensus yang sudah dianggap mantap.
Slengekan melibatkan humor. Humormu, Tris, slengekan-mu.
Jengkol, misalnya, lalap kesukaanmu. Itu pasti bagian slengekan-mu. Kau bisa promosikan jengkol seraya berbicara tentang, misalnya, buku Reinhold Niebuhr. Aku tahu kenapa: jengkol adalah unsur kuliner yang tak dianggap “bermartabat” di masyarakat kita yang berkelas ini. Ia biasa dinikmati di tepi jalan, bukan untuk fine dining. Itu caramu menyatakan bahwa “kesalehan berpikir” bukanlah sesuatu yang mewah, tak sehari-hari.
Jengkol—itu bagian dari sikap Don Quixote-mu.
Aku tak bisa meremehkan kau sebagaimana aku tak bisa menyepelekan Don Quixote. Kesatria-kelana itu seorang militan. Ia tak pernah menyerah dan kembali pulang dari perjalanannya yang ia yakini penting untuk memperbaiki dunia.
Alain Badiou menggambarkan seorang militan sebagai subyek yang lahir dan bersikap melalui transformasi diri secara radikal. Pak Alonso Quijano yang hidup di kamar sendirian di Desa La Mancha, membaca dan membaca seperti mimpi, berubah jadi Don Quixote: manusia yang murung dan bermuram durja dan merasa harus menjadikan dunia lebih adil dan benar.
Don Quixote hidup dengan apa yang disebut Badiou sebagai l'éthique des vérités, etika kebenaran. Etika ini menggerakkan sang militan mengatasi sempitnya “kebenaran” yang partikular. Kebenaran bukan sekadar “opini”. Etika ini mengandung pra-anggapan bahwa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang universal.
Secara implisit, itu juga sikapmu dalam persoalan politik akhir-akhir ini. Kau tak mengikuti pandangan “pragmatis” yang tak mengakui kebenaran yang universal—dan menganggap soal “ethis” dan “tak ethis” akhirnya dibentuk kalkulasi kekuasaan. Khususnya selama pemilihan presiden 2024. Dengan masygul kau lihat “pragmatisme” itu berjangkit di antara teman-temanmu yang selama ini kau anggap sehati. Kesedihanmu menjelang meninggal, kata Evelyn, istrimu, adalah berpisah dengan mereka.
Mungkin kau pernah mengutip Reinhold Niebuhr, yang theologinya, sebagai orang Protestan, kau sambut: “Pada akhirnya kekejian (evil) tak dilakukan orang-orang yang keji, melainkan orang-orang baik yang... tak merenung, tak mencari, lebih dalam.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo