Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhsan Yosarie
Peneliti Setara Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika ada anggapan masuknya purnawirawan jenderal ke struktur pemerintahan akan merusak sistem demokrasi, tentu itu wajar-wajar saja. Persoalan budaya, watak, pengalaman dwifungsi ABRI, dan latar belakang mereka menjadi alasan utamanya. Mereka dididik dengan cara-cara militer atau cara-cara yang relevan dengan statusnya sebagai alat negara dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Mereka juga dididik dengan kultur komando yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan dalam kehidupan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara khusus, dalam konteks reformasi militer, posisi purnawirawan jenderal di lingkar kekuasaan atau pemerintah seakan-akan menjadi dua sisi yang bertolak belakang, yakni menjadi benteng untuk memperkuat reformasi militer atau justru merekalah yang nantinya berperan dalam memundurkan reformasi militer tersebut. Misalnya dengan membuatkan celah-celah tertentu di jabatan sipil agar para perwira tinggi dan menengah bisa menduduki jabatan tersebut. Peran yang kedua ini tentu patut kita cemaskan. Indikasi yang muncul itu cukup masuk akal. Pangkat jenderal yang mereka sandang sebelum pensiun memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap institusi. Belum lagi dengan melihat jabatan terakhir mereka, misalnya sebagai kepala staf angkatan ataupun panglima.
Anggapan tersebut juga dapat kita cerna dengan menimbang bahwa sampai kapan pun militer tetaplah militer karena dari sanalah jati diri mereka ditempa dan terbentuk. Sebuah adagium menyebut old soldiers never die, they just fade away. Rasa saling menghormati, kepangkatan, senioritas (tahun masuk), jiwa militer, dan esprit de corps menjadi nilai dasar yang muncul dalam relasi ini. Hal inilah yang menghubungkan purnawirawan dengan prajurit aktif. Meskipun telah pensiun, cara pandang dan jiwa mereka tetaplah militer. Mereka yang berada di luar korps ini tentu tidak akan bisa menghayati kehidupan, pelaksanaan tugas, semangat, dan perasaan dalam kesatuan korps tersebut.
Namun pada dasarnya keberadaan purnawirawan jenderal di lingkar kekuasaan dapat berimplikasi positif apabila mereka melindungi reformasi militer dari upaya infiltrasi politik elite sipil. Mereka juga bisa meredam upaya masuknya jenderal aktif ke lingkar politik praktis. Mereka bahkan dapat menjadi perpanjangan aspirasi para prajurit kepada pemerintah terkait dengan kesejahteraan prajurit, anggaran, dan peralatan persenjataan.
Dalam pola relasi sipil-militer, indikasi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa terhadap penggunaan alat negara tetap ada. Relasi yang tidak tepat tentu akan merusak tataran norma dan nilai dalam sistem demokrasi, mengingat salah satu relasi berkaitan dengan alat negara yang memiliki persenjataan lengkap. Samuel Huntington kemudian mengemukakan dua relasi yang mencerminkan hubungan sipil-militer dalam suatu negara.
Pertama, objective civilian control atau militarizing the military. Relasi ini merupakan pengendalian sipil obyektif. Caranya dengan memberikan semacam otonomi kepada militer. Pemberian otonomi kepada institusi militer ini penting karena ada banyak hal di dalam tubuh militer yang tidak diketahui sipil. Menyerahkan sepenuhnya hal ini kepada pihak militer adalah pilihan terbaik.
Kekuasaan militer perlu diminimalkan tanpa menghilangkan kekuatannya. Hal ini dilakukan untuk memperbesar profesionalisme militer. Suatu korps perwira yang profesional, seperti halnya di Barat, selalu siap melaksanakan kehendak golongan sipil mana pun yang berkuasa atau pemerintahan yang sah di suatu negara (Nugroho Notosusanto, 1995).
Kedua, subjective civilian control atau civilianizing the military. Relasi ini merupakan keadaan ketika satu dari sejumlah kekuatan yang berkompetisi di masyarakat berhasil mengendalikan tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan mereka. Pola ini juga memungkinkan militer dikendalikan oleh korporasi, yang terjadi melalui perantara kelompok yang berkuasa. Tipe relasi ini dapat merusak sistem demokrasi sekaligus internal institusi yang bersangkutan, misalnya menimbulkan fraksi perwira di dalam tubuh TNI dan Polri.
Dalam relasi kedua ini, kelompok penguasa tentu dapat dengan leluasa melakukan infiltrasi politik ke dalam tubuh TNI. Campur tangan dalam birokrasi internal atau bahkan sampai pada persoalan kenaikan pangkat bisa menjadi salah satu target yang diincar penguasa untuk menciptakan utang politik perwira. Dalam hal ini, masuknya purnawirawan jenderal ke politik praktis dan struktur pemerintahan memiliki potensi untuk mengantisipasi terciptanya relasi yang negatif tersebut dan terutama menjaga supremasi sipil.
Relasi subjective civilian control dapat ditekan dengan jiwa militer dan esprit de corps para purnawirawan yang akan muncul demi memagari netralitas, profesionalitas, dan harga diri korps. Ketika alat negara berubah menjadi alat penguasa dan dijadikan pilar penopang pemerintahan layaknya militer di zaman Orde Baru, menurut mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Soemitro, kondisi seperti ini mencerminkan TNI-Polri (dahulu ABRI) mengalami proses penurunan derajat, dari alat negara menjadi alat kekuasaan politik (Salim Said, 2006).
Purnawirawan jenderal juga dapat berperan dalam menjaga supremasi sipil. Ini mungkin terjadi bila mereka tidak berpikir pragmatis terhadap jabatan. Jiwa militer yang senantiasa setia untuk melindungi negara dan bangsa tidak boleh terkikis hanya karena jabatan dan materi.