Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usul Tim Independen Reformasi Birokrasi agar pemerintah menghentikan sementara penerimaan pegawai negeri sipil layak dipertimbangkan. Moratorium, pensiun dini, dan perampingan jumlah pegawai negeri yang diusulkan Tim Independen bisa mengurangi beban anggaran negara.
Jumlah pegawai negeri kini mencapai 4,7 juta orang. Jumlah ini jelas terlalu banyak. Tengok saja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011. Total belanja pegawai pusat dan daerah menembus Rp 180,8 triliun. Belanja pegawai ini jauh kelewat besar ketimbang belanja infrastruktur, yang cuma Rp 67,4 triliun.
Dari sisi politik anggaran, postur belanja pemerintah ini tak sehat. Padahal APBN merupakan motor penting perekonomian nasional. Bila penggeraknya lemah, kondisi makroekonomi juga akan buruk. Buntutnya, lapangan kerja berkurang, angka pengangguran meningkat, dan stabilitas nasional terancam.
Membengkaknya jumlah pegawai negeri, baik di pusat maupun daerah, jelas semakin membebani anggaran. Pengelolaan bujet juga tak leluasa. Akibatnya, program penting lain buat masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan kemiskinan, cuma akan mendapat anggaran sisa.
Hanya, moratorium ini kudu diterapkan secara fleksibel. Rekrutmen baru tetap bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Kementerian yang sudah punya pegawai cukup dan berkualitas sebaiknya menyetop rekrutmen. Instansi atau lembaga negara lainnya bisa tetap menerima pegawai baru berdasarkan audit komprehensif kebutuhan sumber daya manusia.
Model perekrutannya juga perlu diperbaiki. Seleksi penerimaan pegawai harus berbasis kompetensi dan kudu dilakukan secara transparan. Selama ini penerimaan pegawai negeri tak terencana dan prosesnya begitu longgar. Koordinasi pemerintah pusat dan daerah juga minim. Di beberapa instansi bahkan kerap terjadi pengangkatan pegawai atas dasar nepotisme.
Kini saatnya berubah. Pemerintah pusat dan daerah harus berjalan seiring. Pengangkatan pegawai atau kenaikan gaji yang sering dipakai sebagai alat politik untuk pencitraan harus diakhiri. Selain dapat menghemat anggaran, momentum ini sekaligus bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang lebih strategis: reformasi birokrasi.
Kondisi birokrasi kita masih buruk. Masyarakat sering mengeluhkan kapasitas dan akuntabilitasnya. Berdasarkan penilaian efektivitas pemerintahan oleh Bank Dunia, Indonesia mendapat skor jelek, minus 0,43—minus 2,5 menunjukkan skor terburuk dan 2,5 skor terbaik—pada 2004. Meskipun pada 2008 membaik, kapasitas efektivitas birokrat di Indonesia tetap tertinggal.
Produktivitas pegawai negeri juga masih rendah. Tak sedikit yang melakukan ”korupsi” waktu, bahkan uang. Pelayanan terhadap publik pun rendah. Salah satu indikatornya, rasio jumlah pegawai negeri dengan jumlah penduduk baru 1 : 52 (1 pegawai melayani 52 penduduk). Mestinya rasio bisa digenjot jadi 1 : 80, seperti di negara-negara maju.
Pemerintah pusat dan daerah tak ada salahnya meniru model pengelolaan pegawai di perusahaan swasta. Sistem reward and punishment ketat diterapkan. Jangan ada lagi ada istilah PGPS alias ”pintar goblok pendapatan sama”. Pegawai negeri berkinerja baik layak memperoleh remunerasi besar. Sebaliknya, pegawai yang kinerjanya buruk patut diberi sanksi atau ditawari pensiun saja.
Dengan reformasi birokrasi, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme bisa terwujud. Pelayanan publik juga lambat-laun akan sesuai dengan harapan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo