Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehadiran kodok buduk adalah pertanda buruk. Ini bukan takhayul belaka. Menurut Ady Kristanto, Koordinator Riset dan Monitoring Jakarta Green Monster, bila di lingkungan Anda hanya binatang dengan nama Latin Bufo melanostictus itu yang mampu bertahan hidup, artinya telah terjadi penurunan kualitas lingkungan yang serius. ”Kodok buduk punya kemampuan tinggi menyesuaikan diri, seperti burung gereja,” tutur Ady, yang secara rutin bersama kelompoknya, Green Monster, melakukan audit lingkungan Jakarta dengan cara melihat binatang yang sudah hilang dan yang bertahan hidup.
Jakarta Green Monster adalah komunitas relawan peduli lahan basah di Jakarta. Awalnya menggarap Margasatwa Muara Angke dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, kemudian meluas ke seluruh Jakarta mencakup kawasan hulu-hilir sungai di Jakarta. Kegiatan komunitas bukan hanya mencari-cari kodok dan burung. Mereka juga memetakan kondisi lingkungan, untuk kemudian memperbaiki dan menjaganya.
Sebulan dua kali relawan Green Monster menyambangi masyarakat seputar bantaran Sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Cililitan, Jakarta Timur. ”Mengajak masyarakat tidak membuang sampah ke sungai, sebisa mungkin mengolahnya,” kata Ady. Sejak resmi berdiri pada 2006, kini sedikitnya 350 pegiat bergabung dalam kegiatan menjaga lingkungan Jakarta, terutama di lahan basah. ”Lingkungan Jakarta masih bisa diselamatkan, asal kita peduli bersama,” kata Ady optimistis.
Green Monster hanya satu dari sekitar 200 komunitas yang bergerak di berbagai bidang di Jakarta. Nirwono Yoga, arsitek lanskap yang juga koordinator Peta Hijau, bersama rekan-rekannya sedang mendata komunitas di Jakarta. ”Setengahnya bergerak untuk memperbaiki kota, setengahnya kumpulan orang dengan kesamaan hobi,” tutur Yoga.
Menurut dia, komunitas, jika disatukan, potensinya besar untuk memperbaiki kota. Sudah cukup banyak yang terbukti konsisten—tidak sekadar musiman—dalam menjalankan aktivitas mereka. Yang menarik, kemunculan komunitas ini bermula dari inisiatif publik. Warga yang gusar melihat keadaan di sekitarnya yang tak kunjung membaik memilih untuk bergerak. ”Kalau pemerintah mau menggandeng semuanya, bisa lumayan menjawab berbagai masalah,” katanya.
Gropesh atau Gerakan Orang Muda Peduli Sampah, misalnya. Kelompok yang punya slogan ”Taruh Sampah Menjadi Berkah” ini adalah kumpulan anak muda yang aktif berkampanye tentang pentingnya pemilahan sampah serta pengolahan sampah organik dan anorganik.
Relawan Gropesh rajin berkeliling dalam berbagai kegiatan di Jakarta untuk kampanye pengolahan sampah. Mereka mendatangi kantor-kantor dan sekolah. ”Kami mengolah sampah dan menebar virus peduli sampah mulai ke anak-anak,” kata Maya Maria, juru bicaranya.
Berkat kemudahan berkomunikasi, lewat mailing list hingga pembentukan jejaring sosial dunia maya seperti Facebook dan Twitter, ”merger” kegiatan antarkomunitas pun menjadi lebih mudah. Pertengahan tahun lalu, misalnya, sempat ada pertemuan antarkomunitas di acara Kumkum, Kumpul Yuk Kumpul, di kawasan Kota Tua. Slogannya: Berkumpul untuk Berbagi dan Bertindak. Mereka berbagi pemahaman dan pengalaman. ”Tujuannya untuk kolaborasi antarkomunitas,” kata Armely Meiviana, salah satu penggagas acara.
Tidak hanya bertemu dan mengobrol, kolaborasi kegiatan juga dilakukan, seperti survei penggunaan kantong plastik dalam kehidupan sehari-hari yang berlangsung sebulan. Beberapa komunitas terlibat, seperti Sahabat Lingkungan, Rumah Bersama, Rumah Belajar Semi Palar, Peta Hijau Jakarta, Jakarta Green Monster, dan Greeneration Indonesia. ”Sekaligus kampanye tentang bahaya dan mengurangi penggunaannya,” kata Armely, yang juga pegiat komunitas Greenlifestyle.
Komunitas hobi pun bisa berujung pada kepedulian terhadap kota. Bike to Work, misalnya, komunitas pekerja bersepeda yang berawal dari sekumpulan penggemar sepeda gunung. ”Lama-lama terpikir kenapa sepeda tidak dipakai untuk bekerja dan mengurangi polusi,” kata Toto Sugito, pentolan komunitas.
Kampanye bersepeda ke kantor dimulai pada 2004. Anggota komunitas kerap terlihat mengayuh sepeda di jalanan macet sepulang kerja, di antara mobil dan motor, selap-selip menerobos keruwetan. Pada tas atau di bawah sadel tertempel stiker latar kuning bertulisan Bike to Work (B2W).
Penggunaan sepeda kadang dikombinasikan dengan angkutan umum. Sepeda lipat ditenteng dalam angkutan umum, kemudian ditumpangi dari pemberhentian. Mula-mula, hanya terselip satu atau dua pesepeda saat pergi atau pulang kerja. Belakangan, pemandangan serombongan orang kantoran bersepeda menjadi jamak.
Ketika komunitas gowes makin solid, tujuan mereka pun berkembang, yaitu berkampanye tentang moda transportasi ramah lingkungan. Mereka menuntut pembangunan jalur khusus sepeda, area parkir, juga integrasi infrastruktur sepeda dengan moda angkutan umum. Kepentingan komunitas ini kemudian menjadi klop dengan Komunitas Pengguna Angkutan Umum, Komunitas Pencinta Busway, atau KRL Mania. Selain menjadi pengguna, mereka mengawasi kinerja fasilitas transportasi umum.
Meski terkesan sebagai langkah kecil, kegiatan yang dijalankan komunitas-komunitas peduli Jakarta itu semakin terasa kontribusinya untuk perbaikan kota. ”Daripada menggerutu dan tidak berbuat apa-apa, lebih baik berusaha memperbaiki keadaan secara mandiri, tak tergantung pemerintah,” kaya Nirwono Yoga.
Dengan sentuhan kegiatan berbagai komunitas inilah, Jakarta terasa berbeda: lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Bahkan aktivitas kecil untuk menunjukkan keberpihakan juga bisa dirasakan maknanya. Aksi komunitas Taman Suropati Chamber Orchestra, misalnya, yang telah menghidupkan Taman Suropati, Jakarta Pusat.
Setiap Ahad, di taman kawasan Menteng itu ada sekumpulan orang bermain orkestra di bawah rerimbunan pohon. Komunitas itu rutin bermusik di sana sejak dirintis pada 2007. ”Awalnya pengamen dan anak-anak jalanan, sekarang terbuka untuk umum,” kata Ages Dwiharso, pendirinya. Kini anggotanya mencapai 200-an orang.
Tujuannya bukan semata bermusik, tapi meningkatkan kesadaran akan perlunya ruang terbuka hijau. ”Pesannya agar masyarakat tidak hanya tahu belanja, tapi peduli taman,” kata Ages. Kegiatan di Taman Suropati menjadi proyek percontohan. Dia ingin memperluas kegiatan ke taman lain, bahkan daerah lain.
Ruang terbuka hijau memang menjadi masalah besar di Jakarta. Pihak pemerintah selalu saja defensif dalam hal penambahan ruang terbuka hijau. Ibu Kota hanya punya 9,6 persen dan hanya menargetkan 13,94 persen pada 2010 ini. Padahal Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengharuskan 30 persen.
Komunitas Jakarta Berkebun mencoba menjawab dengan penambahan ruang hijau melalui pemanfaatan lahan kosong. Konsep urban farming diterapkan pada lahan pengembang rekanan di Kemayoran, Jakarta Pusat. Sejak akhir tahun lalu, para relawan berkebun setiap Ahad sore. Setelah kebun percontohan Kemayoran berhasil, sasaran selanjutnya lahan kosong lain di Jakarta.
Kebun sebagai ruang terbuka hijau diharapkan menambah ruang bernapas warga Jakarta yang letih bergelut dengan macet dan keruwetan kota lainnya. ”Kota yang stres melahirkan jiwa yang stres,” kata arsitek Ridwan Kamil, penggagas Jakarta Berkebun. Gerakan berkebun ini sudah menular ke 11 kota besar lain.
Belakangan muncul gerakan Save Jakarta, yang mengakomodasi suara komunitas atau warga perseorangan yang peduli pada Jakarta. Melalui Twitter, semua orang bebas melontarkan masukan dengan kode #savejkt. ”Masih banyak kok yang mau berbuat untuk Jakarta lebih baik,” kata Reiza Patters, salah satu pegiatnya.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo