Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegagalan pemain kita menjadi kampiun turnamen Indonesia Open Superseries pekan lalu di Jakarta menegaskan bahwa kemerosotan prestasi belum teratasi. Ini untuk ketiga kalinya di kandang sendiri Indonesia tak kebagian gelar juara. Artinya, belum ada usaha Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) untuk mengembalikan pamor olahraga yang menyumbangkan dua medali emas Olimpiade Barcelona pada 1992 itu.
Bahkan, yang membuat kita masygul, PBSI sudah terlalu lama gagal mencari ”obat” untuk mengatasi melorotnya prestasi ini. Performa pemain kita di All England, turnamen paling bergengsi di dunia, bisa menjadi bukti. Dalam 11 tahun terakhir di abad ke-21 ini, dalam turnamen yang setiap tahun menyediakan lima gelar itu, Indonesia hanya merebut dua gelar ganda putra pada 2001 dan 2003. Bahkan tak satu gelar pun direbut pemain tunggal putra atau putri. Cina, Korea, Denmark merajai nomor-nomor ganda. Di tunggal putra All England, sudah dua tahun ini pemain negeri jiran Malaysia, Lee Chong Wei, 28 tahun, merebut gelar juara.
Dalam kejuaraan beregu, Indonesia tak lebih baik. Tim Thomas Cup Indonesia terakhir kali juara sembilan tahun lalu. Tim Uber Cup Indonesia serupa. Susi Susanti dan kawan-kawan pada 1996 adalah tim yang terakhir kali merebut piala itu. Selebihnya tim putri Cina dan Korea yang merajalela di tingkat dunia.
PBSI belum mampu menutup ”jurang” antara pemain angkatan Ardi Wiranata, Taufik Hidayat, atau Susi Susanti dan pemain di lapisan bawahnya. Celakanya, tak terlihat ada kreativitas di antara pengurus PBSI untuk mengatasi masalah ini. Sangat mungkin karena PBSI tidak ditangani oleh orang bulu tangkis. Memasang pejabat atau jenderal sebagai pemimpin induk olahraga dulu dianggap berguna untuk mendapatkan dana dan sponsor. Sekarang cara ini sudah tak relevan. Bulu tangkis mesti diurus dengan cara profesional oleh orang yang tidak hanya mengerti, tapi juga menjiwai bulu tangkis. Banyak perusahaan tertarik menjadi sponsor karena atlet kita masih diperhitungkan di pentas dunia. Investasi besar perusahaan seperti Djarum, dengan membangun gelanggang bulu tangkis modern atau menyelenggarakan turnamen internasional, adalah salah satu bukti. Sejumlah klub di berbagai daerah juga menggeliat bangun beberapa tahun terakhir ini.
Yang diperlukan dari PBSI adalah konsep yang ampuh untuk menyelamatkan bulu tangkis kita. Pekerjaan itu bisa dimulai dari dalam tubuh PBSI sendiri, misalnya membereskan kontrak pelatih. Bila pelatih asing dilayani dengan kontrak yang jelas, semestinya hal yang sama diberlakukan untuk pelatih lokal agar mereka tidak ”berbondong-bondong” meninggalkan pelatnas.
Pemain kita, yang statusnya tak jelas, antara ”profesional dan amatir”, perlu dipikirkan masa depannya. Pemain Malaysia, Lee Chong Wei, ketika meraih medali perak Olimpiade 2008, umpamanya, mendapat hadiah Rp 850 juta. Sejak itu, setiap bulan selama seumur hidup, ia mendapat uang pensiun sekitar Rp 8,5 juta dari pemerintahnya. Taufik Hidayat mampu membangun Taufik Hidayat Arena, Candra Wijaya bisa mendirikan sekolah bulu tangkis internasional, tapi tak semua pemain nasional seberuntung dua pemain tersebut.
Bulu tangkis adalah satu dari sangat sedikit cabang di mana Indonesia masih bisa ”bicara” di pentas dunia. Maka mengurus cabang ini tak bisa dilakukan dengan cara ”menyambi” atau sembari mengurus organisasi lain. Tanpa fokus dan keseriusan penuh, kita akan terus memanen kalah dan kalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo