Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA despot yang ingin membajak demokrasi bisa belajar kepada Presiden Joko Widodo. Ia mendesain kecurangan secara terstruktur dan sistematis dalam pemilihan presiden 14 Februari 2024. Di tangannya pula konstitusi ditekuk untuk melegitimasi kecurangan. Langkah-langkahnya bahkan didesain jauh sebelum tahapan pemilihan umum berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga Sabtu siang, 17 Februari 2024, Prabowo Subianto, yang berpasangan dengan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, unggul dalam penghitungan suara versi Komisi Pemilihan Umum. Pasangan nomor urut dua ini memperoleh 57,48 persen suara, disusul Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 24,61 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. 17,91 persen. Meski penghitungan belum selesai, Prabowo-Gibran hampir pasti akan memenangi kontestasi.
Kemenangan Prabowo-Gibran tak lepas dari politik kekuasaan untuk mempengaruhi pemilih. Jokowi memanfaatkan kekuasaannya untuk mengerahkan aparat hukum dan penyelenggara negara demi kepentingan pemenangan pasangan itu. Di Jawa Tengah, seorang wali kota meminta para camat dan lurah mengerahkan dukungan untuk pasangan Prabowo-Gibran. Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya telah memeriksa anak buahnya dengan tuduhan melakukan korupsi.
Aparat juga menekan pejabat daerah agar memerintahkan kepala desa mengarahkan warganya memenangkan Prabowo-Gibran. Warga yang memilih kandidat nomor urut dua diberi amplop berisi uang. Kepala desa yang membangkang diancam dengan proses hukum atas dugaan korupsi dana desa.
Ancang-ancang mengerahkan penyelenggara negara diambil sejak pemerintah melantik 20 penjabat gubernur serta 178 penjabat bupati dan wali kota secara bertahap pada akhir 2022 hingga November 2023. Seleksi penjabat kepala daerah itu tidak mempertimbangkan usulan dewan perwakilan rakyat daerah. Lewat penjabat kepala daerah, rezim Jokowi menginstruksikan kepala dinas membantu pemenangan Prabowo-Gibran.
Cawe-cawe penjabat daerah dan intimidasi aparat membuat perolehan suara Ganjar Pranowo-Mahfud Md. gembos di kandang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Apalagi Jokowi juga rajin membagikan bantuan sosial di daerah yang menjadi basis suara partai banteng. Pada saat yang sama PDIP terlambat memanaskan mesin partai yang, kebanyakan, lebih sibuk dengan usaha mendapatkan kursi badan legislatif.
Apa yang terjadi di Indonesia sejalan dengan studi Dov H. Levin (2016), ilmuwan politik asal Amerika Serikat, yang menyebutkan paksaan dan pengaruh kekuasaan dapat berdampak pada hasil pemilu secara signifikan. Intimidasi yang berlangsung secara sistematis meningkatkan peluang terpilihnya calon yang didukung penguasa.
Itu sebabnya sistem pemilu—berisi seperangkat aturan yang menentukan siapa yang dapat menjadi kandidat dan bagaimana proses pemilu dilaksanakan—berperan dalam menyeimbangkan politik kekuasaan. Di Indonesia, sistem pemilu diobrak-abrik untuk kepentingan penguasa. Pada Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi mengakali hukum agar Gibran yang belum cukup umur bisa menjadi calon wakil presiden.
Dengan sistem yang didesain sedemikian rupa hanya untuk memenangkan kandidat yang disokong penguasa, Pemilu 2024 adalah pemilu yang paling mirip dengan pemilu Orde Baru yang selalu memenangkan Soeharto. Sementara Soeharto menggunakan jalur ABG—ABRI, birokrasi, dan Golkar—kini Jokowi memakai jalur aparat, birokrasi, dan partai politik.
Masalahnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak pernah serius mengusut kecurangan berjenjang itu. Boleh dipastikan Mahkamah Konstitusi juga akan menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan dengan dalih perbedaan suara yang dipersoalkan tidak signifikan.
Dengan aneka tindakan politik kekuasaan untuk merekayasa hasil pemilu itu, sistem pemungutan suara perlu dibongkar. Masyarakat sipil semestinya terus berkonsolidasi untuk mendesak para politikus yang berwenang menyusun kebijakan agar mereformasi desain pemilihan umum. Sebab, kualitas demokrasi tidak semata-mata diukur dari deretan angka pemilih, juga dari prosesnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kekuasaan yang Menentukan Kemenangan Prabowo"