Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR dua bulan berlalu, Presiden Joko Widodo masih membiarkan kursi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi kosong dan berdebu. Jokowi tak kunjung menyodorkan nama pengganti Firli Bahuri yang dicopot setelah menjadi tersangka kasus pemerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang KPK jelas menyatakan, setiap kali terjadi kekosongan, kursi pimpinan lembaga itu harus segera diisi. Presiden seharusnya bergegas mengirimkan nama calon pengganti Firli ke Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi Jokowi tampaknya lebih asyik dengan urusan pemenangan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berdalih masih dalam proses “mengkonfirmasi” empat kandidat yang pernah diajukan tapi tak terpilih dalam proses seleksi pimpinan KPK terakhir. Mengapa butuh waktu begitu lama untuk mengkonfirmasi? Apa pula yang hendak dikonfirmasi? Sangat berbahaya bila pemerintah ingin memastikan bahwa Ketua KPK baru bisa ditaruh di bawah ketiak Presiden seperti halnya Firli Bahuri.
Sejak periode kedua pemerintahan Jokowi, pimpinan KPK lebih mirip anak asuh Presiden daripada figur independen yang memegang teguh prinsip antikorupsi. Lembaga antirasuah menjadi tidak independen dan rawan diintervensi kekuasaan setelah Presiden dan koalisi partai pendukung pemerintah di DPR merevisi Undang-Undang KPK pada akhir 2019. Sejak itu pula pemilihan pimpinan KPK di DPR lebih mirip opera sabun daripada proses seleksi tokoh pemberantas korupsi yang serius.
Bukan hanya itu, pemerintah membiarkan KPK—yang kini telah menjadi bagian dari rumpun eksekutif—kian tenggelam dalam masalahnya sendiri. Dewan Pengawas KPK belum lama ini menyatakan 90 pegawai KPK bersalah dalam kasus pungutan liar di dalam penjara. Sebanyak 90 persen tahanan KPK menjadi korban pemerasan petugas yang berulah seperti pagar makan tanaman.
Pimpinan KPK pun kian leluasa menari di arena politik dengan memainkan jurus tebang pilih dalam penanganan korupsi. Selama dipimpin Firli, KPK tercatat menghentikan penyidikan 36 kasus korupsi—hal yang tak pernah terjadi sebelumnya ketika KPK tak mengenal “gigi mundur” dalam pengusutan perkara. Jual-beli perkara pun meruyak. Misalnya kasus penyidik KPK, Ajun Komisaris Stepanus Robin Pattuju, yang divonis sebelas tahun bui pada 2022 lantaran menerima suap untuk mengakali lima perkara korupsi.
Kinerja KPK yang makin bobrok beriringan dengan penurunan peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia. Berdasarkan survei Transparency International terhadap 180 negara, peringkat IPK Indonesia pada 2023 melorot ke urutan 115 dari peringkat ke-110 pada tahun sebelumnya. Bila tidak ada perbaikan, Transparency International mungkin akan mengganti warna grafiknya menjadi merah darah untuk menunjukkan betapa negara ini kian tenggelam dalam lautan korupsi.
Ironisnya, ketika kinerja KPK memburuk, uang pembayar pajak yang dipakai membiayai lembaga itu terus membengkak. Pada 2023, pemerintah dan DPR mematok anggaran KPK sebesar Rp 1,277 triliun. Namun KPK meminta tambahan Rp 432 miliar sehingga anggaran totalnya menjadi Rp 1,709 triliun—naik dari Rp 1,304 triliun pada tahun sebelumnya.
Sudah boros anggaran, KPK kian busuk luar-dalam. Tampaknya, sudah waktunya masyarakat menuntut pembubaran lembaga antikorupsi yang pernah disegani itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berlarut-larut Mencari Pengganti Firli"